Not A Fairy Tale

Aisy Permata
Chapter #1

Red Chandelier Bag.1

Kenalin, aku Olla. Sekarang sudah menginjak hari kelima aku bersekolah di SMA. Dan ini sudah kelima kalinya aku menjadi korban pem-bully-an. Aku murid baru di sini dan hari-hariku terasa seperti di neraka!

Mereka—geng senior kelas sebelas—selalu mem-bully-ku kapan saja. Mereka merupakan sekumpulan cowok-cowok yang sangat ditakuti sekaligus digandrungi cewek-cewek. Apalagi ketua geng itu, Logan. Ketua geng, juga kakak kelasku, yang paling tampan seantero sekolah.

Dia selalu mengenakan jaket baseball warna merah. Rambutnya dicat pirang dan tubuhnya sangat ideal. Sekilas mirip seperti Keenan Tracey. Sedangkan menurutku, teman geng yang lainnya juga tak kalah tampan. Tetapi yang paling tampan tetap di tangan Kak Logan.

Hampir di setiap saat Kak Logan selalu menemuiku, tetapi bukan seperti itu. Dia hanya menemuiku untuk mengacaukan hidupku. Sebenarnya aku tidak di-bully sendirian. Ada Benji, cowok cupu yang selalu ingusan itu. Tetapi berkat kehadiranku di SMA ini, Benji bisa merasakan kebebasannya. Aku menjadi sosok malaikat bagi Benji, alias geng itu beralih padaku, bukan lagi kepada Benji. Sialan!

"Hei Olaf!"

Aku tersentak kaget. Kertas-kertas yang baru saja kuambil dari loker terjatuh berceceran di lantai. Semua anak di lorong loker ini memandang kami. Aku hanya mampu menunduk tanpa berani menatap Kak Logan di depanku.

"Ah, kasian banget, ya, kertasnya berantakan. Duh, jangan nangis."

Kak Logan berjalan semakin dekat ke arahku. Menginjak semua kertas-kertas putihku yang beterbaran. Aku meremas jari-jariku takut. Keringat dingin perlahan mengucur di pelipisku.

"Lo! Lari sepuluh putaran di lapangan! Pulang sekolah! Awas sampe lo ketahuan kabur. Habis lo!"

Dengan cepat aku mengangguk. Aku dapat melihat Kak Logan berjalan melewatiku begitu saja. Aku masih menunduk sambil memunguti kertas-kertas puisiku yang berceceran. Cowok itu benar-benar berengsek! Lihat saja nanti! Seseorang akan membalas semua perbuatannya.

Aku sangat berharap ada kedatangan murid baru lagi di sini, sehingga Kak Logan dan gengnya beralih dariku.

"Lo nggak pa-pa? Mereka siapa? Lo punya kesalahan sama mereka?"

Aku tersentak kaget begitu kertas-kertas itu dipungutnya. Seorang cowok dengan rambut yang ditata menjulang ke atas seperti band rock itu menatapku dengan mata sipit. Baju seragamnya berantakan, tidak dimasukkan ke dalam celana. Tidak ada dasi dan name-tag di seragamnya. Seragamnya bersih dari berbagai atribut.

Sepertinya dia murid baru. Aku tidak pernah melihatnya.

"Gue Franky. Anak baru di sini. Lo?"

Aku tidak berani menjabat tangannya. Aku takut. Penampilannya seperti anak berandalan. Jangan-jangan dia merupakan anak buah Kak Logan untuk mem-bully-ku.

"Gue nggak kayak mereka. Walaupun penampilan gue ini berandalan keren tapi sebenernya gue baik, kok. Yaudah, deh, lo tau kelas X-5, nggak?"

Aku terperanjat. Cowok-berandalan-yang-katanya-tadi-keren-itu sekelas denganku. Aku mengangguk. Jariku menunjuk pada kelas di lantai dua dekat toilet. Cowok yang tadi bernama Franky itu tersenyum.

"Yaudah gue cabut, dah!"

Cowok itu melangkah cepat ke lantai dua. Sepertinya dia memang baik. Terlebih saat matanya memandangku tadi. Tapi aku tidak mau secepat ini percaya pada orang yang baru kukenal. Siapa tau ada maksud tersembunyi.

Aku memasuki kelas yang sudah seperti kapal pecah. Meja berantakan dan beberapa kursi yang raib entah ke mana. Tempat dudukku berada di paling pojok belakang. Sampai sekarang tidak ada yang berani menggeser mejaku sesenti pun. Mereka tidak ingin berhubungan denganku yang menjadi bahan pem-bully-an senior.

Aku seperti dianggap parasit di sini. Tidak ada yang menginginkan keberadaanku.

Pak Davi—guru yang paling tampan dan muda itu—memasuki kelas dengan cowok-berandalan-yang-katanya-tadi-keren-itu. Wajahnya tersenyum sinis dan gayanya sok-sokan sekali. Mungkin harus kuakui, jika cowok itu dipandang lama-lama memang tak kalah tampan dari Kak Logan.

Pada akhirnya, ada seseorang yang dapat mengalahkan ketampanan Kak Logan. Dan aku yakin, Kak Logan pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mungkin sebentar lagi aku tidak akan di-bully­. Mereka akan beralih pada cowok-berandalan-yang-katanya-tadi-keren-itu.

"Yo! Nama gue Franky. Terserah lo mau manggil apa. Tapi gue saranin panggil gue pangeran keren atau pangeran kece. Gue pindahan dari Jakarta," jelasnya masih dengan gaya sok-kerennya itu. "Gue membuka antrean bagi lo yang mau minta nomer hape gue. Jam istirahat aja ya,"

Pak Davi menggeleng-gelengkan kepala. "Ke mana atribut kamu? Bukannya kemarin sudah saya berikan?"

Dia menyeringai pada Pak Davi. "Maaf, Pak, gue kira, eh, aku kira—maksudnya saya—eh, halah, terserahlah, atributnya nggak sengaja kebuang ke got, Pak."

Kami semua tercengang mendengar tuturannya. Dari gayanya sudah kelihatan dia tidak memiliki sopan santun kepada yang lebih tua. Yang pasti dia bukan cowok baik-baik.

"Bagaimana bisa?"

Lihat selengkapnya