Iremia

Hora
Chapter #1

Segel Pertama - Aku Hanya Ingin Bebas

Katanya, selalu ada alasan kenapa manusia dilahirkan ke dunia. Ada bermacam-macam tujuan pun sebab sesuatu bisa terjadi. Barangkali aku adalah salah satunya.

Malam ini udara begitu mengigit, jalanan becek setelah dua hari diguyur hujan terus menerus. Pintu-pintu rumah yang biasa terbuka sudah ditutup rapat selepas maghrib. Aku ingat betul sore tadi, tubuh ini masih terbaring di ranjang, terlelap, setelah menangis sesenggukan.

Jalanan yang sudah remang kini semakin suram sebab lampu jalan banyak mati dan belum diganti petugas distrik. Langkahku terseok menyusuri gang-gang sempit, pasar kumuh, menaiki bus menuju kota untuk sampai di depan sekolah. Tanah lumpung memenuhi sela kaki, membuat lengket, agaknya baru sadar sedari tadi tak mengenakan alas. Berbekal jalan rahasia di belakang gedung yang biasa dilalui anak nakal saat terlambat atau ketika bolos, aku berjalan, terus naik melewati tangga menuju lantai teratas. Mata ini terpejam seraya menyanyikan lagu yang beberapa waktu belakangan ini menjadi teman pengantar tidur di kala sepi.

Dearest the shadow

I live with are numberless

Little white flowers will

Never awaken you

Not where the black taken you

Angels have no thought of

Ever returning you

Would they be angry

If I thought of joining you

“Kak Ameera.” Aku tersentak, mengerjap beberapa kali sebelum terbiasa dengan kegelapan seraya mencari sumber suara. Seringan kapas, entah bagaimana caranya gadis itu sudah berdiri di hadapanku. Diri ini yakin betul kalau tidak akan ada siswi lain terlebih pada hari minggu malam begini, tapi siapa peduli.

Ia tersenyum menampakkan deretan gigi. “Mau bermain denganku?” 

Lama memerhatikan, di wajah gadis kecil itu terdapat bekas luka, memanjang dari sudut alis luar hinga ke pipi. Ia menggenggam tanganku erat. Kami melakukan besutan, semacam memilih siapa yang akan berjaga sedang yang lain bersembunyi.

"Yeay, Kakak yang jaga. Jangan mengintip, loh!" Nada riangnya begitu menggema di telinga. Ia secerah mentari siang, menebarkan kegembiraan, menetap lama di dalam hati.

Aku menghitung sambil membalik tubuh menghadap dinding. Rongga dada mengembang penuh haru, senang sebab sebelumnya tidak pernah ada yang mau dekat-dekat denganku.

“Sembunyilah dalam senyap atau kau akan kutemukan,” teriakku seraya melepaskan luapan haru yang seakan ingin meledak bila sedetik lebih lama.

Lihat selengkapnya