Entah sudah berapa kali kemarahan, kutukan, dan umpatan melayang dari bibir kami. Si bodoh Cozzy itu… bagaimana bisa dia melakukan ini, mati mengenaskan di toilet sekolah?!
Petugas medis bilang bahwa gadis bernetra teduh itu menggantung dirinya sendiri. Oh, ayolah, apakah kalian bisa mempercayai hal tersebut? Maksudku, ia tak punya alasan untuk membunuh diri sendiri. Gadis itu memiliki cukup uang untuk bersenang-senang. Pakaian mewah, rumah nyaman, serta sekantung makanan hangat.
Amy, gadis bersurai kemerahan itu bangkit, berjalan menuju altar guna memberi penghormatan terakhir. Ia membungkuk pada keluarga Cozzy cukup lama hingga setelahnya ia kembali maju selangkah dan membungkuk lebih dalam ke hadapan altar, lantas berjalan perlahan sembari mempersembahkan dupa. Sesekali gadis berkaki jenjang itu tampak menyeka sudut mata, ia mengatupkan ke dua tangan, berdoa penuh takzim.
Di sebelahku, Flora terlihat sama kacaunya, mata gadis yang sudah sipit ini semakin tertutup rapat karena bengkak setelah semalaman menangis. Di rumah, saat kami memutuskan untuk tidur bersama selama beberapa waktu terakhir, Amy dan Flora terus saja meracau tentang betapa menyesal mereka meninggalkan Cozzy. Menganggap bahwa gadis idiot itu sudah pulang terlebih dahulu setelah tergesa-gesa berjalan kembali ke sekolah. Sedangkan Selena, gadis penggila sains itu tak lebih baik. Untuk kali pertama, ia terlalu banyak mengigau lalu terbangun dalam keadaan histeris.
Namun, bukan berarti keadaanku baik sendiri. Hanya saja dari semua, aku yang paling berkepala dingin. Kalau kau bisa melihat, maka dapat dipastikan kalau diri ini sama berantakannya. Kutepuk-tepuk jemari Amy sesaat setelah ia kembali duduk ke kursi. Tidak ada percakapan di antara kami, upacara kremasi berjalan khidmat. Lepas beberapa kerumunan berangsur pergi, kami menyambangi keluarga Cozzy sekali lagi, berbagi pelukan hangat sebagai penguat. Aku tahu betul kedua orang tua Cozzy tampak terlalu syok dengan kejadian mendadak dua hari lalu. Gadis itu merupakan putri semata wayang di keluarga Arnold.
Dalam mobil, sepanjang perjalanan, Amy dan Flora memaksa agar datang berkunjung ke pemakamaman Ameera. Mereka bilang pasti ruh gadis itu menuntut balas atas perlakuan kami selama ini. Kedua gadis yang terlihat semakin bodoh ini menjadi terlalu gelisah, bahkan Selena juga ikut membujuk, raut wajah mereka tak menyemburatkan semu kemerahan sedikitpun, sepucat pualam mirip vampir di serial Twilight yang sering diputar berulang di televisi.
Mendapati itu, aku mengiyakan tanpa berdebat panjang lebar, tahu kalau kondisinya semakin buruk. Jujur saja, kegelisahan mereka sudah ikut merambat, naik merasuk ke kepala. Perihal lagu sialan itu yang akhir-akhir ini entah bagaimana sering terdengar, menambah tak tenang hati.
Apa gadis cupu yang sering sekali mengenakan kacamata tersebut adalah anak dari seorang penyihir? Dukun? Ada banyak rumor mengelilingi Ameera, menggelikan! Harusnya sejak rumor tidak baik itu berembus kami tidak perlu berhubungan dengannya.
Aku mengacak rambut kasar, menggeleng keras seraya mengeyahkan bayangan berkelebat silih berganti saat kami membuat gadis itu dipermalukan. Berlari pergi dengan hujan di pelupuk matanya. Cih!
***
Aku bergidik, berjinjit guna menghindari tanah lumpur serta genangan air. Berusaha sesedikit mungkin mengotori sepatu dan gaun hitamku. Bau menyengat amis ikan, sayuran busuk, juga kotoran ayam menguar menusuk indra penciuman, menambah pening kepala yang sudah pusing tujuh keliling. Sekeras mungkin menahan diri untuk berlari kembali ke dalam mobil di ujung jalan. Kami tiba di rumah Ameera berbekal alamat dari pihak sekolah, melewati gang-gang sempit, pasar kumuh, untuk sampai di perkampungan kecil pinggir kota Seattle. Di sini, warga yang melintas atau sekadar duduk di depan rumah terus-menerus menatap aneh ke arah kami.
Selena berkali-kali mengetuk rumah kecil berbatu bata merah dengan gradasi dinding bercat putih di bagian bawah yang sudah mengelupas di berbagai sisi sedang atapnya berbatu granit hitam.
Belum ada jawaban sampai kami nekat membuka pintu barangkali ibu dari gadis haram ini ketiduran, beruntung tidak terkunci. Amy lebih dulu nyelonong masuk, terus ke belakang sembari menyeret lengan Flora, aku mengerling meminta penjelasan pada Selena.
“Kebelet pipis, katanya,” jelas Selena mengklarifikasi perbuatan ceroboh Flora dan Amy.
Aku mengedarkan netra ke sekeliling, berjaga-jaga takut kalau ada hal buruk terjadi. Well, sebetulnya tidak ada yang istimewa dari rumah ini. Bangunan ini terdiri dari tiga ruangan. Teras kecil di depan, ruang televisi serta tamu tanpa sekat digabung jadi satu. Hanya ada tape recorder dan satu meja cukup besar di sudut dinding dengan tumpukan buku tertata rapih, juga cerobong asap penuh debu. Di tengah kuperkirakan adalah kamar dengan pintu lapuk kecokelatan, lalu di bagian akhir adalah dapur dan kamar mandi.
Ah, ya, kami memutuskan untuk ke rumah ibu Ameera dahulu kemudian ke pemakaman, yang alasan sebenarnya adalah karena kami tidak tahu lokasi gadis tersebut dikebumikan.
Tiba-tiba suara jeritan menggema di telinga, terdengar nyaring. Sesaat aku dan Selena hanya melempar pandang, agaknya sepaham apa yang harus dilakukan. Kami berjalan tergesa menuju dapur, asal sumber suara.