Sisa hari dilalui Ayasa dengan terdiam membisu. Meskipun sebisa mungkin dia bersikap ceria seperti biasanya di depan dua sahabatnya, tetapi ketika sudah berada di dalam kamar apartemen, dia hanya bisa terpaku.
Dia sebenarnya tidak ingin berurusan dengan Hajime Grey, satu-satunya kerabat yang tersisa dari keluarga Grey, seorang paman jauh yang bisa ditelusuri dari keluarga almarhum ayah Ayasa.
Keluarga Ayasa meninggal karena kecelakaan saat Ayasa kecil. Dan setelah itu hak asuh Ayasa berganti-ganti. Dari neneknya, yang lalu meninggal dunia karena usia tua, pindah ke bibinya, yang kala itu cerai dan kabur keluar negeri, pindah ke adik kakeknya, yang lalu meninggal, dan berakhir ke paman Hajime ini.
Terakhir Ayasa menjenguknya saat Natal tahun lalu, ketika si paman sendiri yang menghubunginya dan dia sendiri membutuhkan dana itu untuk biaya sekolah. Saat itu mereka makan bersama di apartemen sang paman.
Dana itu sendiri sebenarnya tersisa sedikit setelah digunakan untuk membayar biaya pendidikan. Harusnya dana itu juga untuk biaya hidup. Tetapi karena mengingat kurs Kekaisaran yang terus berinflasi, Ayasa masih saja kekurangan. Tetapi kala itu Ayasa lebih memilih bekerja paruh waktu sebagai karyawan sebuah restoran keluarga untuk menutupinya daripada harus berinteraksi dengan paman itu.
Dia berharap sekarang dia bisa melakukan hal yang sama daripada harus menghubungi paman Hajime.
Dia mencoba menghitung seandainya dia menambah kuota kerja paruh waktunya, misal di bagian kontruksi atau pabrik yang menjanjikan dana yang lebih besar, tapi itu tidak sebanding dengan mengorbankan waktu belajarnya yang sekarang sudah banyak terpakai untuk kerja paruh waktu saat ini.
Dia berfikir seandainya mencoba kerja paruh waktu sebagai trainer olahraga misalnya. Tetapi gaji sebagai trainer tidak lebih banyak daripada kerja paruh waktunya sekarang.
Di sisa hari dia memilah-milah pekerjaan mana yang sekiranya cocok. Tetapi tidak ada satupun yang memenuhi syarat dengan kondisi Ayasa saat ini. Pekerjaan yang cocok tidak bisa menyediakan jumlah dana yang cukup untuk dibayarkan di tenggat waktu dua minggu ini.
Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah Paman Hajime.
Mengingat orang itu, menyebut namanya saja, membuatnya serasa ingin muntah.
Dia sangat membenci pria lajang tua itu. Dia sangat tidak ingin bertemu dengan pria mesum itu. Dia telah membuat Ayasa mengalami pengalaman traumatis yang sangat membekas. Hal yang sangat melukai kewanitaannya. Hal yang membuat dia tidak ingin lagi menatap wajah cabul pria itu, selama-lamanya.
Saat itu malam natal, setahun yang lalu. Ayasa sedang makan bersama sang paman di apartemennya. Setelah makan itu, pamannya menunjukkan segepok amplop berisi uang tunai cash untuk biaya pendidikan selama setengah tahun ke depan.
“Tetapi untuk mendapatkannya,” kata sang paman saat itu, “Kau harus melepas bajumu. Semuanya. Dan kamu harus biarkan aku onani sambil melihat tubuhmu yang sudah tumbuh itu.”
Di akhir hari itu, Ayasa muntah-muntah. Dia lalu mengubur tubuhnya dalam rendaman air dalam bathtub dan tidak keluar-keluar sampai beberapa jam lamanya.
Haruskah dia memilih jalan itu lagi? Bertemu untuk, mungkin saja, dilecehkan lagi? Demi memenuhi kebutuhan hidupnya?
Dia akhirnya memilih untuk menerima semua risiko dan bertemu dengan sang paman.