Seorang pria lebih dari separuh abad itu masih terbujur lemas di kasur. Sudah beberapa hari ini ia hanya ditemani oleh selang infus dan alat bantu pernafasan. Beberapa ahli dokter dan perawat berusaha menjaganya secara intensif. Tidak hanya itu, beberapa pria paruh baya berpakaian jas rapi juga berdiri menjaganya di pintu luar kamar rumah sakit.
Di antara mereka, ada seorang pria yang berjalan mendekat perlahan. Penampilannya tampak acak-acakkan, tidak seperti biasanya. Orang-orang tadi yang menoleh, terperanjat seketika dan membungkukkan badannya, memberi hormat. Di antara sekumpulan pria berjas tadi, ada seseorang yang berjalan ke arahnya.
“Tuan Muda?” Pria itu memberi hormat.
“Dimana Kakek?”
“Tuan sampai saat ini belum sadarkan diri.” Pria itu memberitahu seraya menunduk.
Mendengar penjelasan singkat tersebut, pria tadi merapatkan dirinya ke pintu dan membukanya secara perlahan. Ia melihat seorang pria tua tidak berdaya di sana. Jika melihatnya dalam kondisi demikian, ia bahkan sampai tidak bisa mengenalinya kalau pria itu adalah salah satu pria yang dihormati di perusahaannya, karena gerakan dan otaknya yang lincah. Tidak hanya itu, pria tua itu juga memiliki anak buah yang jumlahnya tidak sedikit.
Langkah pria muda tadi berjalan agak tersendat. Seolah ada energi besar yang mengambil nyawanya sejak ia dikabarkan bahwa kakeknya masuk rumah sakit karena jantungnya kambuh. Ia bahkan langsung terbang ke Indonesia dari Singapura menggunakan pesawat jet pribadinya dan lupa untuk menyisir rambutnya. Penampilannya sangat berantakan, ia hanya tidak ingin meninggalkan sebuah kata penyesalan untuk kedua kalinya jika terjadi sesuatu dengan kakeknya, orang yang paling ia cintai.
“Kakek.” Pria tadi langsung bersimpuh di dekat ranjang tempat kakeknya terbaring. Suara tangis pecah memilukan. Ada seorang pria paruh baya di dekatnya, dia adalah ayahnya. Pria itu menepukkan telapak tangannya di atas bahu anaknya, seolah memberi kekuatan.
“Dia akan baik-baik saja, Juan.”
“Bagaimana Ayah bisa berkata begitu! Apa yang sebenarnya terjadi padanya??!”
Ayahnya masih terasa berat untuk menjelaskan apa yang terjadi pada pria setengah abad lebih itu. Garis keriput di wajahnya terasa menyayat hatinya. Juan amat menyesal karena sebelumnya ia berada di Singapura untuk menyelesaikan kontrak kerjasama hotel yang dipimpinnya dan tidak bersama kakeknya.
“Kakekmu terkena serangan jantung saat sedang menghadiri upacara pemakaman sahabatnya.”
“Apa?” Juan menyeka air matanya dan menatap ayahnya yang berdiri di sebelahnya.
“Kamu pasti masih ingat kan, bagaimana perjuangan kakekmu mencapai di titik ini saat muda? Secara tidak langsung semua itu diperolehnya dari dukungan sahabatnya, tapi karena suatu hal mereka tidak lagi berkomunikasi untuk waktu yang sangat lama. Kakek selama ini mencari dimana sahabatnya itu, tapi ternyata dia sudah meninggal. Itulah yang membuat kakekmu sangat syok dan jantungnya kambuh.”
“Ada hal yang selama ini belum dilakukan oleh kakekmu dan sahabatnya. Itulah yang paling disesali oleh kakekmu.”
“Apa itu, Ayah?”
Namun Ayahnya tiba-tiba tidak melanjutkan kalimatnya dan tergantikan dengan tangisan. Ia menangis tersedu-sedu. Sebenarnya ini adalah kali kedua Juan melihat ayahnya menangis, pertama, ketika mendiang almarhum ibunya meninggal saat ia kecil, dan saat ini. Hanya saja ada yang berbeda dari tangisan ayahnya sekarang. Tapi Juan tidak ingin mempertanyakan keanehan itu.
“Kakekmu, dan sahabatnya pernah mengikat janji untuk mempersatukan keluarga mereka. Kebetulan anak mereka saat lahir sama-sama perempuan, yaitu Ibumu sehingga rencana itu belum terlaksana. Dan saat ini ternyata cucu kakek adalah laki-laki, dan cucu sahabat kakekmu adalah perempuan. Bukankah ini anugerah dan jawaban dari Tuhan?”
Waktu terdiam untuk beberapa saat. Hanya ada suara detak jarum jam yang bergerak dan suara AC yang menyala. Juan menatap ayahnya dan berusaha mencernanya. Ia mencium ada makna lain dari kalimatnya tersebut.
“Jadi maksud Ayah?”
“Menikahlah, Juan. Menikahlah dengan cucu sahabat kakekmu. Ini semua demi kakekmu. Ya?!” Ayahnya kini sudah berlutut dan menangkup kedua tangan anaknya. Tangisnya mulai terdengar lagi.
“Ayah, Ayah tahu kan, aku tidak akan menikah dalam waktu dekat. Apalagi dengan jalan perjodohan. Ini tidak masuk akal.”
“Ayah tahu Juan. Ini berat untukmu. Tapi semua ini demi kakekmu. Ayah juga cukup menyesal ketika ada satu permintaan mendiang Ibumu yang belum sempat ayah wujudkan ketika ia masih hidup. Itu cukup membuat ayah menyesal sampai sekarang. Apa kau ingin itu terulang lagi di keluarga kita jika nanti kakek meninggal?”
Cukup lama Juan menimang hal itu. Memorinya membawa pada luka masa lalu saat permintaan mendiang ibunya belum sempat ia wujudkan, yaitu dengan menunjukkan bahwa ia berhasil masuk ke Harvard University. Karena saat ibunya meninggal, ia masih berusia 15 tahun, dan ibunya meninggalkannya terlalu cepat. Benar kata ayahnya, walau ia telah mencapai apa yang diinginkan oleh ibunya, namun rasa penyesalan masih tetaplah ada, rasa kesedihan dan sesak masih tersisa jika mengingat bahwa mungkin saat itu ia bisa melakukan yang terbaik untuk ibunya. Jika saja Tuhan tidak mengambilnya terlalu cepat. Ah, lupakan. Itu hanya akan membuat Juan seolah menyalahkan takdir Tuhan.
“Baiklah.”