L O V A L E S H A

maretha ramadani
Chapter #5

#4 Dia

“Ckckck, awas saja ya kalau kamu berniat menggagalkannya! Biar Kakek yang akan menikahkan dia dengan ayahmu nanti!”

=======================

Suara dentuman musik DJ masih menggema ruangan. Lampu temeraman, baru rokok dan alkohol bercampur menjadi satu. Orang-orang telah terhipnotis dengan alunan lagu dari Ciara yang mampu melenggak-lenggokkan tubuh mereka di dance floor. Mungkin hanya satu orang yang merasa terdampar disana. Seorang gadis berambut panjang yang saat itu mahkotanya sengaja digerai namun sialnya membuatnya terlihat dewasa.

Alesha duduk di atas kursi bundar di meja bar. Dilihat dari manapun, bahasa tubuhnya menyampaikan jika ia sangat tidak nyaman berada disana. Seseorang yang bersamanya tengah mengobrol di meja lain di depannya. Mata Alesha tak sedetikpun berpindah dari sosok yang tadi bersamanya. Pria itu tertawa dan telah menghabiskan beberapa gelas alkohol—entah jenis wine, wiski, atau anggur—atau jenis lainnya, Alesha tidak tahu! Ia hanya mengamati dan berargumen dengan batinnya sendiri—jadi sejak kapan kekasihnya ini kuat minum?

Sialnya, pria itu sesekali memandang ke arahnya dan tersenyum, seolah menjawab kegelisahan yang ia rasakan. Sungguh, Alesha hanya takut dengan hanya ia mengedipkan matanya, sosok itu hilang dan ia tersesat di tempat yang sangat asing ini.

Lihat saja, mata-mata liar disana sudah mulai mengawasi dirinya. Beberapa pria terus menatap dirinya seolah tak memberikan ruang baginya untuk bernafas. Alesha benar-benar merasa sesak disana. Akhirnya ia beranjak dan mendekat pada sosok kekasihnya yang masih asyik mengobrol dengan orang-orang yang tak ia kenal sama sekali.

Kekasihnya menatapnya dengan tatapannya yang sayu.

“Kenapa Say?” Oh, kekasihnya sudah mulai mabuk, perfect!

“Mas Brian, ayok pulang! Katamu hanya sebentar. Ini sudah sejam!” Alesha setengah berteriak, karena harus mengalahkan suara dentuman musik yang keras.

Namun yang tidak Alesha mengerti, pria yang bernama Brian itu hanya tertawa, diikuti dengan orang-orang di sampingnya. Tanpa jeda untuk menolak, pria itu menarik tangan Alesha untuk duduk di sebelahnya.

“Ini masih sore, Say.” Brian setengah berbisik di telinga Alesha. Namun sialnya, tangan jahilnya mengabsen lekuk lehernya dengan ujung jemarinya. Itu sangat membuat Alesha sangat risih. Gadis itu menepis tangan Brian dengan kasar. “What the fuck with you!”

“Kamu mabuk, Mas! Ale mau pulang!” seru Alesha dengan geram. Namun orang-orang yang bersama Brian makin tertawa keras. Alesha tidak mengerti, ia merasa takut dengan semua tatapan yang kini memandangnya seolah memiliki tujuan tertentu dengannya. Ia jadi teringat akan wejangan kakek dan ayahnya untuk menjauhi tempat terlarang ini.

Awalnya ia hanya menemani Brian yang katanya akan bertemu dengan partner kerjanya, namun situasi macam apa ini? Alesha merasa harga dirinya diinjak-injak. Kelakuan liar Brian makin menjadi. Ia mencoba mengambil kesempatan pada Alesha dan gadis itu semakin terpojok. Percuma dia meminta tolong, disana tidak akan ada yang peduli.

Alesha harus mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Ia menolak dengan sekuat tenaganya dan melawan kekuatan Brian yang mencoba untuk bermain liar dengannya. Kondisi Brian yang mulai mabuk, memudahkan Alesha untuk kabur. Tubuh Brian tersungkur disana. Sebelum orang-orang yang bersama Brian mengejarnya, Alesha menyeruak dan melarikan diri.

* * *

“Kringgg!!!”

Sang Arunika telah pergi beberapa jam yang lalu. Namun sebuah jam masih berdering menghantam keras gendang telinga seorang gadis berselimut tebal itu. Alesha, si gadis berambut hitam masih enggan untuk membuka matanya, apalagi hanya sekedar mematikan jam bekernya. Badannya terasa pegal dan ia masih menganggap kalau hari ini adalah hari Minggu. Baiklah, baiklah, kemarin hari Minggunya telah ia gunakan untuk sebuah pertandingan konyol tak seimbang.

“Astagaaaaa, anak ini! Ale bangun, Ale!!” Itu bukan suara mak lampir, bukan juga suara ibu tiri yang jahat, tapi itu suara lembut ibu kandung Alesha yang masih dengan sabarnya berusaha membangunkan anak gadis satu-satunya. Ini sudah ketiga kalinya ia bolak balik ke kamar sang gadis, namun belum juga sang empu membuka bola matanya.

Tepat ketika sang Ibu hendak menarik paksa selimut hangat Alesha, anak gadisnya telah terbangun dalam kondisi yang kepayahan. Ia terduduk dengan nafas yang tersengal. Keringat dinginnya membasahi keningnya. Matanya yang polos menatap sosok ibunya, namun ibunya seolah maklum bahwa mungkin anak gadisnya lupa membaca doa sebelum tidur sampai mimpi buruk lagi.

“Cepat mandi Alesha! Apa kamu lupa kalau ban motormu bocor!”

Kalimat itu sangat ajaib bagi Alesha karena tingkat kesadarannya pulih seutuhnya. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak gadisnya yang jauh dari normal kefeminiman yang ia inginkan. “Tidur udah kaya anak bujang saja! Kamu itu gadis, bersikaplah seperti layaknya seorang gadis. Paham kan?”

“BRAK!!” Suara bantingan pintu kamar Alesha menceritakan betapa getirnya ia di pagi hari itu.

Gadis itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bernafas dengan susah payah dan penuh tekanan. Mimpi itu lagi. Padahal sudah setahun yang lalu sejak kejadian di klub waktu itu. Kenapa mimpi buruk itu datang lagi? Ia sempat mengira jika ia telah sembuh dari teror mimpi buruknya sendiri. Ah, sial.

Alesha mengusap wajahnya frustasi. Bayang-bayang akan sosok pria yang ia temui semalam seolah kini tengah bermain di memorinya. Ia mengusap kedua bibirnya yang telah menjadi sasaran empuk atas kecelakaan semalam. Tidak! Apa karena insiden dengan pria itu sampai akhirnya ia bermimpi hal itu lagi? Alesha mendekap kedua lututnya yang ditekuk. Rambut panjangnya terurai berantakan. Nafasnya kembali memburu. Memikirkan setiap deru trauma masa lalu akan pria dewasa.

Tidak ada yang tahu. Alesha sangat menutup rapat insiden ia nyaris jadi korban keliaran kekasihnya sendiri yang usianya terpaut 7 tahun di atasnya.

Lihat selengkapnya