Tampaknya ia akan menghentikan semua ide konyol dari kakek dan ayahnya. Sudah jelas Alesha tidak masuk kriterianya! Sekali bocah, tetap saja bocah!
=========================================
“Ayah sudah tahu tentang kamu diskors.”
Kalimat itu bagai petir di pagi hari untuk Alesha. Awalnya ia berencana untuk seolah-olah pergi ke sekolah seperti biasa dengan memakai seragam, lalu memanipulasi tempat tujuannya. Ia hanya tidak ingin kedua orang tuanya tahu bahwa ini bencana baginya di awal tahun ajaran baru.
Alesha menunduk dalam, tidak berani menatap wajah ayahnya. Ia meletakkan tasnya dan mendekapnya. Aktingnya gagal. Sementara Ibunya sudah duduk bersebelahan dengan ayahnya dan menatapnya tidak percaya.
“Ale, kamu tahu kan, tahun ini kamu sudah kelas 3. Kamu harus lebih serius belajar dan mempersiapkan ujian masuk universitas. Ibu tidak mau kalau kamu sampai gagal. Cukup ini yang terakhir kalinya Ayah dan Ibu mendengar berita negatif kelakuanmu di sekolah.”
Alesha tidak mampu mengatakan sepatah katapun.
“Tapi Ayah percaya padamu, bukan kamu yang melakukannya kan.” Kalimat itulah yang membuat Alesha mendongakkan wajah Ayahnya. Ada butiran-butiran air matanya yang meraung untuk dilepaskan. Alesha menggigit bibir bawahnya, menahan dengan sekuat tenaga agar tangisannya tidak meledak. “Dengar Ale, kita bukan siapa-siapa. Kita nggak punya kuasa untuk mengelabui para petinggi di atas sana. Yang pasti, tetaplah berbuat baik dan jujur. Paham kan maksud Ayah?”
Alesha tidak tahu lagi harus menjawab apa. Ia menghambur tubuh hangat ayahnya dan memeluknya. Ia menangis disana. Rupanya ada yang percaya dengan dirinya, tanpa ia bercerita kejadian yang sebenarnya. Dialah orang tuanya.
* * *
Kegiatan renang adalah hal yang paling disuka oleh Raynand ketimbang ia harus tergabung di ekskul PASKIBRAKA disaat senior-seniornya dahulu selalu mengajaknya bergabung. Apalagi basket. Dia lebih suka berkeringat di air. Melakukan gerakan indah hanya dengan mengayunkan kedua tangannya secara harmonis. Ada bagian yang paling ia suka, yaitu ketika wajahnya muncul di atas permukaan air kemudian ia menyibakkan rambutnya yang basah ke belakang. Percayalah, bagian itu pula yang mampu melelehkan hati perempuan sejagat raya dan meneriakkan namanya hingga ke pintu-pintu langit.
Raynand memang irit bicara dan menjadi sosok pangeran di sekolahnya, namun kekonyolan yang ia lakukan bersama Boy, sahabatnya, tidak akan bisa terhitung. Seperti hari ini, ketika ia dengan sengaja mengajak Boy hanya untuk mengitari lapangan basket, entah putaran keberapa mereka melakukannya. Apakah Boy melakukannya dengan sukarela? Tentu tidak! Boy masih waras kok, walau otaknya agak geser sedikit, tapi dia pintar meminta upah dengan makan di kantin gratis selama seminggu.
Boy masih melirik sahabatnya yang tatapannya tengah tertuju pada lapangan basket yang saat itu kosong. Sementara sepanjang jalan di tepi koridor sekolah, para perempuan telah berjejer rapi dan saling berbisik kagum menatap mereka. Disaat seperti itulah, Boy melemparkan senyum andalannya kepada mereka—mewakili senyum Raynand yang sebenarnya sangat jarang tersenyum seperti tadi.
Raynand tidak peduli pada para perempuan itu yang selalu memujanya. Kini sepasang mata dengan manik hitamnya tidak menemukan sosok yang ia cari di lapangan basket itu. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana bisa perhatiannya mencari sosok itu sejak pagi tadi. Biasanya sosok itu bermain indah di lapangan yang akan ia lihat melalui jendela ruang kelasnya. Tunggu—indah?