Alesha memberanikan diri menatap wajah tampan di depannya. Juan tengah menatap dengan seolah menyelidiki sesuatu dari sikapnya yang mungkin sangat aneh. Sayang, tatapan itu terlalu menghujam dirinya. Mencabik hatinya yang rapuh dan mengalami trauma.
===========================================
Juan memarkirkan kendaraan usangnya di sebuah garasi luas milik kontrakan yang ia tempati. Hari itu Kamala Bakery telah tutup, tidak seperti biasanya. Padahal ini masih jam 7 malam. Apa karena terlalu sepi pengunjung? Juan mengedikkan bahunya tanpa sadar. Ia tidak tahu bagaimana perjuangan sahabat kakeknya hingga membangun bisnis yang kini tampak tidak diminati ini. Apakah sejak dahulu memang seperti ini? Atau akhir-akhir ini saja menjadi sepi pengunjung? Ia bahkan belum sempat bertanya hal itu pada kakeknya. Mungkin hal ini bisa menjadi tugas tambahan untuk Stefan mencari informasi tentang Kamala Bakery.
Sisa hari itu mungkin akan Juan gunakan untuk tidur. Rupanya tugas perusahaan yang ia kerjakan akhir-akhir ini telah membuatnya lelah tanpa ia sadari. Derap langkahnya begitu berat untuk memasuki rumah yang entah sampai kapan akan ia tinggali. Ia juga harus menyamar sebagai pribadi yang lain, ketika bersama dengan keluarga ini. Akhir minggu ini, Juan akan menolak dengan tegas aksi perjodohan yang dilakukan oleh kakek dan ayahnya. Ia rasanya tidak akan mungkin jatuh cinta pada Alesha, si gadis SMA yang masih bocah dan sama sekali jauh dari kriterianya!
Sesuatu menghentikan langkah Juan. Ia yakin tengah mencium aroma kue yang tengah dipanggang saat kakinya hendak menaiki anak tangga di rumah itu. Rasanya tidak mungkin nyaris di penghujung hari seperti ini, rumah produksi di Kamala Bakery masih beroperasi. Lalu dimana asal aroma itu?
Kue yang tengah dipanggang membuat daya tarik tersendiri bagi siapapun yang menciumnya, seperti Juan. Ia mengurungkan niatnya untuk menaiki anak tangga dan memilih mencari asal aroma harum tersebut. Perhatiannya tertuju pada sebuah pintu kayu yang berada di bawah tangga. Sejauh ini ia belum menyadari ada pintu kayu yang berada di sana. Walau ragu, akirnya Juan meraih pintu tersebut yang tingginya hanya sekitar 80 cm saja sehingga mengharuskan tubuh Juan yang jangkung merunduk untuk dapat memasuki area tersebut.
Ia menapaki anak tangga menuju ke bawah lantai. Ruang bawah tanah?
Ruangan tersebut tidak gelap, tidak seperti gambaran pada ruang bawah tanah pada umumnya. Bahkan memiliki sisi keunikan tersendiri di setiap sudutnya. Seseorang telah menyulap ruangan tersebut bagai ruangan biasa, lengkap dengan sofa empuk di tengah ruangan, mini pantry di sudut yang lain, serta sebuah perpustakaan mini di sisi yang lainnya. Juan mendekatkan dirinya dan berniat untuk membantu Alesha mengambil sebuah buku yang di atas jangkauannya. Sepertinya derap langkah Juan tidak disadari Alesha sehingga gadis itu cukup terkejut dengan kehadirannya yang muncul tiba-tiba. Cukup lama Juan menatap manik mata Alesha yang berwarna hitam kecoklatan tersebut. Alisnya cukup tebal alami, wajahnya polos tanpa riasan, bahkan ia tidak menemukan adanya pewarna lisptik disana, seperti yang biasanya ia lihat pada wanita-wanita di sekelilingnya selama ini.
Belum puas Juan mengabsen setaip detail wajah Alesha, gadis itu tiba-tiba saja berontak hendak menjauhkan diri darinya, namun sayangnya pijakan kakinya tidak sempurna, atau mungkin dia lupa jika saat ini tengah berpijak pada sebuah petakan kursi kayu? Juan menangkap tubuh Alesha dalam gerakan cepat hingga membuat rambut panjang Alesha lolos dari ikatannya dan menjuntai ke bawah dengan sempurna.
Sesaat itu adalah moment yang tidak dapat Juan sadari. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada aliran hangat aneh yang tengah mengaliri tubuhnya. Hembusan nafas Alesha begitu terasa menyapa wajahnya dengan lembut dan hangat, namun menampar jantungnya dengan payah.
“PLAK!”
Oh, rupanya sekarang wajahnya pun ikut tertampar. Alesha menampar tanpa ekspresi.
“Bagaimana Anda bisa masuk!”
Kali ini, Alesha telah berdiri dengan sempurna di kedua kakinya. Namun Juan masih bergeming menatap sosok Alesha dengan rambut yang tergerai. Memorinya yang hangat masih mengingat bagaimana gadis itu mengganggu tidur nyenyaknya semalam saat mereka saling menatap dalam diam di balkon kamar masing-masing.