L O V A L E S H A

maretha ramadani
Chapter #4

#3 Juan Herdinant Bramantya

Tanpa disengaja, Alesha telah terjatuh dalam posisi terlentang, sementara pria tersebut berada di atasnya. Menahan tubuhnya dengan kedua tangannya yang kokoh agar tidak menimpa dirinya. Namun sayang, kedua bibir mereka menempel.

===========================

Malam itu hujan turun sangat lebat. Alesha terlambat pulang ke rumahnya. Bukan karena sengaja, namun semua terjadi karena insiden ketika Cintya dan teman-temannya berhasil membalas Alesha dengan lebih kejam. Oh sungguh sial. Dia harus berurusan dengan geng payah seperti mereka. Cintya berhasil menjadikan Alesha sebagai boneka mainannya dan menyiramnya dengan air kopi dari puncak kepalanya dalam posisi tangan dan kaki terikat. Tidak hanya itu saja, kaos Alesha telah berhasil dicoret dan dilukis secara abstrak oleh mereka.

Alesha mengepalkan tangannya. Baiklah, sejenak mereka berpikir bahwa kaosnya adalah kanvas begitu? Apa ada yang hal lain yang membuat ceritanya sempurna hari itu? Ah, tentu! Mereka telah berhasil membuat ban motor Alesha bocor. Kesempurnaannya adalah semua bengkel rata-rata sudah tutup karena malam itu hujan lebat. Sial, sungguh dunia sangat tidak adil padanya.

Selama ini Alesha tidak ingin melawan mereka, ia sudah cukup lelah berurusan dengan Cintya dan gengnya. Apalagi jika harus dipertemukan dalam setiap pertandingan antar sekolah seperti tadi. Seolah dirinya dan timnya adalah sasaran empuk untuk dimangsa para serigala kelaparan tadi. Bahkan mata wasit seolah luput dengan kesalahan dan kekasaran yang mereka lakukan secara berulang setiap kali bertanding.

Alesha tahu alasan mereka memperlakukannya dengan tidak adil seperti ini. Tapi itu cerita lama dan Alesha sudah bukan dari bagian cerita itu, seharusnya Cintya sadar dan paham akan posisinya. Gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas. Mencari sisa keadilan untuk hidupnya yang mungkin saja belum turun sepenuhnya dari langit. Namun kali itu, ia hanya menemukan untaian hujan yang terus menerpa wajahnya dengan keras layaknya jarum kepedihan dan hujanpun menertawai nasibnya.

Baiklah, kali ini ia telah kalah dalam pertandingan basketnya. Ia bersumpah akan menang di pertandingan berikutnya. Itu akan menjadi hari terakhir persembahannya sekaligus pencetakan rekor muri sebagai kemenangan basket pertama di sekolahnya. Oh rupanya khayalan tipis itu membuat hatinya sedikit memiliki harapan baru. Ia kembali memapah sahabatnya yang tidak berfungsi lagi mengantarnya pulang. Sebuah kendaraan bertenaga mesin roda dua usang yang ia dapat dari warisan kakeknya.

Bercerita tentang kakeknya, hal yang diwariskan sebenarnya bukan hanya sepeda motor usang saja, tetapi juga semangat juangnya yang tinggi. Alesha sangat dekat dengan mendiang kakeknya, sampai saat ini hatinya yang lembut masih terasa rapuh hanya dengan mengingat wajah hangat itu. Namun ia sudah berjanji bahwa tidak akan ada lagi air mata kesedihan untuk mengantar kepergian kakeknya. Ia sudah cukup melampiaskannya hari itu. Kegetiran hatinya akhirnya mengantarkannya juga pada rumahnya.

Kamala Bakery adalah salah satu petunjuk bahwa rumahnya telah sampai. Itu adalah toko roti usaha milik keluarganya yang diturunkan semenjak kakek masih muda. Seharusnya toko tersebut menjadi toko roti legenda yang banyak dicari orang karena sudah berdiri sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun Alesha tidak ingin bersedih ketika melihat toko bakery yang dirintis kakeknya kian hari makin sepi pengunjung.

Alesha tidak tahu kenapa, baginya hal itu masih terlalu awam. Ia belum paham bagaimana mengelola usaha. Apalagi kedua orang tuanya selalu melarangnya jika dirinya terjun dan masuk ke ruang produksi atau sekedar berada di toko. Alesha tidak tahu alasannya, hanya saja Ibunya selalu memperingatkannya bahwa tugasnya hanya cukup dengan belajar. Fokus belajar, belajar, dan belajar. Maka entah sejak kapan, Alesha pun menurut. Ia hanya memandang sekilas dan seolah acuh bahwa satu-satunya sumber penghasilan keluarganya makin menipis dengan berkurangnya pengunjung di tokonya. Apalagi hujan seperti ini. Sudah dipastikan roti-roti yang sudah dipanggang akan berakhir sebagai santap malamnya.

“Aku pulang.” Alesha membuka pintu rumahnya lewat samping. Ibunya akan sangat marah jika ia masuk lewat pintu utama dalam kondisi basah kuyub seperti ini. Namun sepertinya suasana rumah begitu sepi dan beberapa ruangan lampunya masih mati. Padahal di saat hujan begini langitpun ikut menggelap, membuat ruangan di rumahnya temeraman.

“Ah, Alesha! Akhirnya kamu pulang juga!” Tiba-tiba ibunya datang dari arah dapur dan menghamburnya. Ia membawa sebuah piring berisi makanan. Aromanya Alesha kenal. Itu pisang goreng kesukaannya.

“Apa itu untukku Bu?”

“Aish, kamu ini. Ini antar ke rumah sebelah ya. Dan tolong pasang lampunya juga. Orangnya tadi baru aja keluar dan Mamah ingin ketika dia pulang, kamarnya sudah terang.”

Alesha masih mencerna kalimat Ibunya.

“Maksud Ibu? Rumah itu kan kosong, Bu.”

Lihat selengkapnya