Pas! Basah melingkar di bagian depan hingga pangkal paha celana hitamnya. Al turun dari mobil dengan wajah dipenuhi kabut muram. Ia menghela nafas dalam-dalam sambil melihat kebagian celananya yang akan membuat orang berpikir jika ia habis mengompol atau semacamnya. Ya, dibersihkan seperti apa pun, tetap tidak menghilangkan jejak yang dibuat Nona-nya di situ.
Al membukakakn pintu mobil untuk Lea yang masih malas bergerak. "Terserah kalau Nona gak mau keluar, saya masuk duluan," tegasnya.
Lea tidak menjawab sampai Al sudah beberapa langkah meninggalkan mobil. Tapi, Al berhenti beberapa detik sambil kembali menarik nafas dalam-dalam, dan akhirnya kembali melangkah mundur. Kali ini ia tidak membuka suara, hanya menatap Lea dengan tatapan tajam yang sebenarnya percuma karena terhalang kaca mata hitamnya.
Lea akhirnya melirik pada Al dengan mata enggan terbuka, tapi juga tidak tertutup. Layaknya orang teler. Tiba-tiba, ia mengulurkan tangannya. "GEN-DONG...!" pintanyanya dengan wajah manja tanpa dosa. Ya, ia sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada Al. Apalagi terpikir untuk meminta maaf, sedikit pun tidak terlintas di kepalanya.
"Gak ada tulang yang patah, kan?" tanya Al dingin. "Harusnya NONA bisa jalan sendiri," tandasnya.
"Tapi masih pusing! Kalau dipaksa jalan nanti tambah mual lagi...," Lea mulai merengek.
“…” Beberapa detik Al hanya diam, lalu menutup pintu itu dan kembali meninggalkan Lea di dalam mobil.
"Huuaaaa!!! Opa!!! Dia jahat!!!" Teriakan di dalam mobil itu dipastikan terdengar hingga lantai tiga rumah. "Huuuaaa!!! Hiks... huhuu...." Lea benar-benar menangis dengan suara cempreng.
Langkah Al kembali terhenti. "Huufff...." Dengan sangat terpaksa, ia kembali ke mobil, membuka pintu dan langsung membungkuk membelakangi Lea. "Naik, sebelum saya berubah pikiran." Ya, ia tidak mungkin meninggalkan Nona-nya sendiri dalam keadaan menangis.
Lea tersenyum puas. "Gitu, dong!" Ia melingkarkan tangan di pundak Al dan kepalanya langsung bersandar nyaman di sana.
Al mengangkat tubuh ringan itu, lalu berjalan cepat agar bisa secepatnya terbebas. Sesekali ia menggerakan bahu untuk menggeser kepala Lea yang terlalu dekat dengan lehernya, membuatnya sedikit tidak nyaman karena nafas Lea terasa menggelitik.
Baru masuk beberapa langkah ke dalam rumah, mereka langsung disambut tatapan penuh tanya dari Atun dan Bi imah. "Non Princess itu kenapa?" tanya bi Imah cemas saat melihat Lea seperti orang teler.
"Kakak Al kenapa?" tambah Atun. Ia hanya fokus pada celana basahnya.
"Udah dibilang panggil mas aja!" Bi Imah menimpali pertanyaan Atun. "Mas, non Princess mabuk, ya? Duuhh… gawat kalau sampe ketahuan Tuan. Non pasti dimarahin."
Al sama sekali tidak berminat untuk menjelaskan apa pun. Tapi, Lea yang mendengar ucapan bi Imah tidak terima dituduh mabuk dan merasa harus membela diri. "Jangan asal kalau ngomong! Aku gak mabuk, Bi!"
Al memutar bola matanya dengan sebelah alis terangkat. "Ya, sebenarnya bi Imah gak salah-salah amat. Emang mabuk, kok...."
"Aaahh! Cepetan ke kamar!" Lea merajuk dengan wajah memerah sambil menghentak-hentakan kakinya. Hingga Al melanjutkan langkah dan mulai meniti anak tangga.
"Wah…, beruntung banget non Princess di gendong kakak Al..,." kata Atun dengan wajah mupeng sambil menggigit serbet.
"Udah dibilangin, panggil Mas aja!" Bi Imah kembali mengingatkan Atun yang selalu keganjenan. "Ayo, ke dapur!" serunya.
“Iya, iya….” Atun pun mengikuti bi Imah sambil terus melihat Al yang sudah hampir sampai di lantai dua.
Tiba di kamar Lea, Al membuka pintu sembari menahan Lea dengan sebelah tangannya. "Makanya, lain kali kalau mau kabur belajar dulu. Pakai cara yang benar dan aman. Bukannya malah nyelakain diri sendiri. Kalau tadi gak ada saya, mungkin leher Nona sudah patah, atau geger otak, atau patah tulang lainnya. Ya… pokoknya Nona dipastikan berakhir di rumah sakit."
Lea menganga. “Baru kali ini dia ngomong sepanjang itu!” "Eeh, bentar! Lo lagi nasehatin gue? Berani banget lo! Itu kan, gara-gara lo juga!"
"Tetap saja Nona salah. Pikir-pikir dulu kalau mau melakukan sesuatu. Apalagi-" Kalimat Al terhenti saat melewati beberapa foto gadis kecil berpipi bulat dengan lesung kucing yang terpajang rapi di sebuah rak kaca. Foto-foto itu bersanding dengan foto Opa, dan sepertinya foto orang tua Lea yang sudah meninggal.
Al menelaah foto itu lebih jelas. Tapi, tiba-tiba Lea menggigit kupingnya. "Aaaaawww!!! Kenapa gigit kuping saya?!!" tanyanya kaget. Wajahnya seketika memerah. Sontak ia melempar Lea ke atas tempat tidur yang untungnya sudah dekat.
"Apa?! Gak terima? Gue juga gak terima lo nyalahin gue! Berani banget nasehatin gue! Nyebeliiinnn! Gue aduin ke Opa lo!!!"
"Terserah, Nona!" Al menyerah. Ia bergegas keluar sambil memegangi telinganya. Setelah menutup pintu kamar, iakembali mengingat-ingat foto kecil Lea tadi. Dan ada satu foto yang paling menarik perhatiannya. "Gadis kecil di foto itu... Nona Princess? Dia… pegang arum manis?" batinnya.
***
Seorang anak laki-laki tengah duduk sambil memeluk lututnya, di bawah sebuah perosotan yang cukup tinggi. Tiba-tiba, ada seorang gadis kecil berjongkok dan menatapnya sambil tersenyum manis. Senyumnya membuat pipi gadis itu terlihat semakin bulat dengan lesung kucing di sana.
"Hei, ngapain di situ? Lagi main petak umpet, ya? Aku ikutan, ya?" tanya si gadis kecil polos.
"Kamu...." Untuk beberapa detik anak laki-laki itu masih tidak percaya. Tapi, akhirnya tersenyum lebar karena kembali melihat gadis kecil itu lagi, setelah beberapa hari ia menunggunya di dekat perosotan.
"Makasih ya, arum manisnya. Aku belum pernah makan arum manis, tapi aku suka. Rasanya manis." Gadis kecil itu lalu ikut berjongkok di bawah perosotan.
"Kamu ke sini lagi?" tanya si anak laki-laki akhirnya.
"Iya, kamu tinggal di sini?"
"Umm... aku tinggal di sini sejak kecil. Tapi..., sebentar lagi aku harus pergi. Aku harus tinggal di asrama sekolah. Sebentar lagi kan, aku naik ke SMP." Anak aki-laki itu berubah murung.