Al baru akan melewati pintu kamar Lea yang sedikit terbuka saat mendengar suara bentakan keras. Ia putuskan untuk masuk ke dalam kamar itu. Terlihatlah seorang pegawai perempuan tengah menunduk dengan wajah ketakutan. Di depannya, Lea masih bersungut-sungut memarahinya.
"Sekarang lo pergi! Lo gak boleh kerja di tempat ini lagi!"
"Ta-tapi, saya gak sengaja, Non.... Saya minta maaf, jangan pecat saya. Kalau saya gak kerja, gimana saya mau biayain keluarga saya?"
"Ada apa?" tanya Al yang sudah berdiri di antara mereka. "Kenapa dia dipecat?"
"Tuan, sumpah saya gak sengaja numpahin jus ke dalam sepatu Nona Princess. Saya minta maaf, saya mohon jangan pecat saya." Wajah pegawai itu terlihat memelas dan nyaris menangis.
Sesaat Al menatap iba pada wanita itu, kemudian beralih menatap Lea dingin. "Nona, dia udah minta maaf, apa susahnya maafin orang? Lagian sepatu kayak gitu, Nona pasti punya banyak, kan? Kasihan dia."
Lea mendelik pada Al. Sedikitpun tidak terlihat belas kasih di wajahnya. "Lo pikir gue peduli? Itu bukan urusan gue. Emang dia yang salah, kenapa kerjanya ceroboh?!" timpalnya seraya ngeloyor cuek, keluar dari kamar itu.
Al menghela nafas sambil menggeleng pelan. Lea benar-benar keterlaluan. Lebih parah lagi karena ia melakukannya tanpa beban, dengan wajah polos.
Al tersenyum ramah pada si pegawai sebelum keluar dari kamar itu. Ia tahu ke mana harus mengadu. "Tenang saja, mba. Mba gak akan dipecat."
~~~
Di dalam perjalanan pulang….
Kali ini, Lea pulang bersama Opa. Sedangkan Al pulang dengan mobil yang berbeda, ia membawa Audi hitam yang dikendarainya saat berangkat.
"Opa, Opa lama kan, tinggal di rumah? Aku masih kangen." Lea mulai merengek manja.
"Iya, Opa mau istirahat dulu di rumah. Sekaligus ngawasin kamu lebih lama."
Lea mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Opa. "Maksud Opa ngawasin aku?"
“…” Opa hanya menjawab dengas senyum simpulnya.
~~~
Di sebuah club….
Seorang pria muda berwajah sedikit bule tengah asik dengan dirinya sendiri. Ia hanya duduk seraya menikmati musik dan sesekali menyeruput wine di tangannya. Bahkan, ia tidak menyadari jika seorang gadis cantik baru saja duduk di sampingnya.
"Selalu gini. Lo cuma buang-buang waktu lo, Nan," kata gadis bernama Acha Willien itu.
Nando menoleh singkat, lalu tersenyum sinis. "Gue udah bosen jadi bonekanya."
"Then don't! Just do what you want to do."
"Tapi gue juga gak bisa. Gue gak mau kurang ajar."
"Sampai sekarang usaha lo bahkan belum ada hasilnya, kan? Lo yakin mau terusin itu?"
Nando semakin frustasi. Bagaimana tidak? Selama ini ia sudah melakukan semua yang diinginkan ayahnya, walaupun itu sama sekali tidak sejalan dengan hatinya. Dan semakin sulit karena hingga saat ini, ia sama sekali belum bisa meraih hati princess pewaris tahta itu.
"Nan, lo tahu gue selalu ada buat lo. Cewek bodoh ini dari dulu dan sampai kapan pun akan selalu jadi cewek bodoh lo."
Nando menatap Acha lekat. "Cha, lo tahu gue bahkan gak bisa tentuin hidup gue sendiri. Jadi, gue juga gak bisa janjiin apa pun buat lo." Ia mendesah seraya tersenyum miris. "Beruntung banget buat orang-orang-orang yang bisa ikutin kata hatinya. Gue sedikit pun gak dikasih kesempatan buat punya hati. Gue gak tahu gimana perasaan gue sebenarnya."
"Tapi, seenggaknya lo tahu gimana perasaan gue buat lo."
"..." Ya, Nando tahu.
~~~
Setelah pejalanan jauh, akhirnya Lea dan Opa tiba di rumah. Al yang sudah lebih dulu sampai menyambut kedatangan mereka di depan pintu masuk utama rumah. Lea mendelik singkat pada Al, tatapannya begitu sinis. Jauh berbeda dengan tatapan datar Al, seperti biasa.
"Opa, saya sudah atur semuanya," kata Al.
Opa tersenyum simpul. "Terimakasih, Al. Sekarang saya mau istirahat dulu."
Lea menatap Al dan Opa bergantian. “Kenapa perasaan gue tiba-tiba gak enak?”