Di sebuah ruang rawat inap, seorang gadis kecil di atas kursi roda baru saja keluar dari kamar mandi dengan dibantu oleh seorang nenek yang sudah tampak sangat tua. Mungkin, usianya sekitar lebih dari 70 tahun. Yang pasti, jauh lebih tua dari opa kesayangan Lea. Gadis kecil itu mencoba berdiri untuk kembali ke atas tempat tidur dengan berpegangan erat pada neneknya.
Lea baru saja masuk ke dalam ruangan itu dengan Al yang mendorong kursi rodanya, baru beberapa langkah dari pintu. Lea yang sejak tadi memperhatikan gadis kecil dan nenek tua itu berpikir keras untuk memahami keadaan mereka. “Kenapa rasanya aneh? Apa-apaan! Bocah itu masih bisa senyum?”
"Itu neneknya." Al menyadari Lea yang mendadak terpaku. Sebenarnya, ia juga berhenti karena melihat pemandangan itu. "Nona kenapa? Udah siap kan ketemu anak itu, kan?"
“…” Sebelum Lea menjawab, anak yang sudah duduk kembali di atas tempat tidurnya itu menyadari kehadirannya dan Al.
"Kakak!” Gadis kecil itu tersenyum riang pada Al yang ia ketahui sebagai kakak yang menolongnya.
“…” Senyum itu hanya membuat Lea semakin merasa bersalah dan takut.
"Hai, Cinta! Gimana keadaan kamu?" Al sambil kembali mendorong kursi roda Lea masuk.
"Eh, ada nak Al. Sini...," ajak neneknya. Lalu, ia melihat pada Lea dan tersenyum ramah. "Ini siapa?"
"Ini... Nona Princess." Al balas tersneyum lembut.
"Oh, Nona Princess? Namanya aneh, ya..." Si nenek bahkan salah mengeja nama itu menjadi 'Pring-ess'.
Seketika itu juga Lea menahan tawa. "Nenek panggil aja saya Lea, jangan Princess." “Susah amat ngejanya!”
"Oh, neng Lea...." Nenek lebih mudah menyebut nama itu. Bahkan, tanpa sungkan menambahkan 'neng' di depannya, panggilan khas orang sunda.
"Kakak ini yang...." Gadis kecil yang hanya menyimak pembicaraan mereka akhirnya membuka suara. Ia menatap Lea seraya mengingat-ingat.
"Iya, aku yang nabrak kamu." Lea menyahut sebelum anak itu menyelesaikan kalimatnya. "Umm, maaf...," lanjutnya sambil menundukan kepala dengan wajah muram. Seumur hidup, Lea belum pernah meminta maaf. Tapi kali ini, rasanya seperti ada yang memaksa dalam hatinya. Mungkin nuraninya mulai menghianati kecongkakakn yang selama ini tertanan di sana. Tidak seperti bayangannya selama ini, ternyata meminta maaf tidak membuatnya merasa rendah, atau seperti tengah merendahkan diri serendah-rendahnya.
Si gadis kecil dan sang nenek sebenarnya sudah tahu mengenai kecelakaan itu. Tapi, mungkin karena selama ini sudah terlalu sering mengalah dengan kerasnya hidup, akhirnya mereka sama sekali tidak ingin menyesali apa yang sudah terjadi. Apalagi menyalahkan dan menghakimi Lea.
"Kakak gak papa, kan?" tanya gadis kecil itu seraya tersenyum lembut.
Lea mengangkat kepalanya, menatap bocah dan mulai heran sendiri. “Gimana dia masih bisa senyumin gue? Dan dia malah mikirin keadaan gue?” Bahkan, neneknya sekalipun tampak tidak marah sama sekali padanya yang mungkin saja bisa membunuh cucunya dalam kecelakaan itu.
"Kakak kok, diem? Pasti sakit ya, muka kakak banyak perbannya?" tanya gadis itu lagi, kali ini senyumnya berganti kerutan cemas. Ia melihat Lea dan dirinya bergantian. "Perban di badan kakak lebih banyak dari aku."
Akhirnya, Lea membalas tatapan cemas gadis itu dengan senyum samar. "Aku gak papa, kok. Harusnya aku yang nanya, kamu gak papa, kan?"
"Cinta gak papa, neng,” sahut sang nenek. “Dia pasti bisa jalan normal lagi. Kelihatannya keadaan neng jauh lebih parah."
"Nenek… gak marah sama saya?" tanya Lea ragu.
"Sebenarnya nenek marah, tapi nenek udah terima semuanya. Nenek yakin ini Cuma cobaan. Neng juga gak mungkin sengaja mau nabrak cucu nenek, kan? Apalagi sampai neng sendiri celaka," jelas si nenek.
Ya, Lea memang tidak sengaja. Tapi kemudian, ia sadar memang tingkahnya sendiri yang mencelakainya. Bahkan, mencelakai orang tak bersalah.
~~~
"Kenapa? Nona kaget mereka sama sekali gak marah?" tanya Al sambil terus mendorong kursi roda, melewati lorong rumah sakit yang cukup panjang. Lea hanya membisu. "Seandainya Nona ada di posisi mereka, atau di posisi anak itu aja, apa yang bakal Nona lakukan saat ketemu orang yang nyelakain Nona?"
“Gue... mungkin gue maki-maki orang yang udah nyelakain gue. Gue kutuk orang itu sampai dia nyesel karena bisa aja gue gak selamat dalam kecelakaan itu! Tapi....” Lea meghela nafas dalam-dalam. Detik berikutnya, ia menunduk dan tidak kuat lagi. Tidak kuat untuk tidak terisak.
"Nona?" Al yang kaget mendengar isakan Lea berhenti mendorong kursi roda dan beranjak ke depan Lea. Akhirnya, ia menyadari Lea tengah berusaha mati-matian menyembunyikan tangisnya. Ia tersenyum samar seraya berjongkok.