Sore hari di halaman belakang rumah sakit….
Setelah merengek pada Al, akhirnya Lea diijinkan untuk menemui Cinta. Entah kenapa, Lea ingin sekali menemui anak itu lagi. Mungkin, ia menyukainya? Mungkin juga dalam diri anak itu ada banyak hal yang tidak ia miliki hingga ia merasa sangat ingin mengenalnya.
"Hei!" Lea memanggil Al yang tengah membaca buku tebal di kursi tak jauh dari kursi rodanya.
Al menatap Lea singkat, kemudian kembali fokus pada bukunya. "Nona, saya punya nama. Kenalkan, nama saya AL," sahutnya datar. Ia heran, kenapa Lea tidak pernah mau memanggil namanya?
Lea mendengus. “Tapi, kenapa gue gak berani manggil namanya langsung, ya? Al.... Masa gue takut gak sopan sih, kalau manggil namanya doank? Masa pake 'kakak' atau 'Mas'?” Lea menggeleng ngeri, membuang jauh-jauh pikirannya. "Ngomong-ngomong... nama panjang lo apa?" Tiba-tiba saja ia penasaran setelah tadi Al berseloroh memperkenalkan diri.
"AL," jawab Al singkat.
"Nama panjaaaaanggg!!!"
"Aaaaaaallll...."
“…”
“Nama saya memang cuma Al.”
Lea menganga dengan dahi berkerut. "Bener-bener Al doank? A dan L... doang?"
Al menghela nafas kasar. "Cuma nama itu yang ibu panti tahu tentang saya. Jadi, sampai sekarang nama saya cuma AL. Di KTP, SIM, Ijazah, semuanya."
"Ooohh...." Lea masih tak habis fikir, tapi akhirnya mengangguk-anggukan kepala. “Kok bisa sih, orang tua Al ninggalin Al cuma dengan nama yang terdiri dari dua huruf aja?” "Ummm... mungkin orang tua lo mau lo jadi TNI Angkatan Laut, kali!" selorohnya.
Untuk beberapa detik Al hanya menatap malas. "Ya, kenyataannya sekarang saya memang lulusan Akmil Angkatan Laut. Mungkin, orang tua saya sengaja kasih nama yang sekaligus harus saya jadikan cita-cita." Ia berhenti sejenak, sementara Lea masih serius menyimaknya.
"Seandainya saya gak dikasih tugas sama Opa Nona yang kebetulan punya kedekatan khusus sama atasan saya, mungkin sekarang saya sudah mulai karir saya sebagai perwira Angkatan Laut. Sampai sekarang memang masih harus ditunda, tapi nanti saya harus terima ditempatkan di mana pun, itu tugas saya." Akhirnya, Al menjelaskan semuanya sedetail mungkin sambil fokus pada bukunya, walaupun tapi tidak benar-benar serius membaca.
“Ditempatin di mana aja, ya? Berarti... dia harus....” Lea mendadak diam. Ia tidak begitu mengerti dengan tugas seorang perwira Angkatan Laut dan bagaimana jenjang karirnya, tapi sejauh itu, yang bisa ia fahami adalah suatu hari nanti Al harus melakukan tugasnya sebagai TNI AL dan itu juga berarti Al harus pergi. “Kenapa tiba-tiba gue takut?”
"Kakak!!!" Saat Lea tengah bingung dengan perasaannya sendiri, akhirnya Cinta datang dengan Atun yang tadi menjemputnya.
Lea menoleh ke arah Cinta datang. Ia masih memikirkan ucapan Al, tapi tetap memaksakan senyum. “Hai, Cinta!”
Dan Al, sekilas ia melihat Air muka aneh Lea. Seketika ia merasa berat jika waktunya nanti harus meninggalkan Nona-nya itu. Tapi, ia tetap tidak mau terlalu memakai perasaannya. Hanya satu yang ia tahu pasti, Lea itu gadis arum manis yang dulu selalu ditunggunya, hingga ia tidak bisa lagi menunggu dan terpaksa harus pergi meninggalkan panti asuhan. Dan sekarang, setelah tahu siapa Lea, apa ia masih bisa berharap lebih atau bersikap lancang? Lea yang ternyata seorang Princess, jelas sekali mereka berbeda kasta. Terlebih lagi, Al sangat menghormati Opa dan tidak mau mengecewakannya.
“Kalau gitu saya permisi ambil makanan dulu, non,” pamit Atun pada Lea.
“Ya udah,” Lea menyahut singkat, kemudian kembali tersenyum pada Cinta.
"Waaah... kamu makin kelihatan sehat, ya...." Lea mengusap kepala Cinta yang kursi rodanya sudah tepat berhadapan dengan kursi rodanya.
"Kakak kelihatannya masih belum sehat, heheh...." Cinta terkekeh seraya menyentuh perban di pipi Lea.
"Haha! Iya, kakak masih keliatan jelek, ya? Masih banyak perban di muka kakak. Hmmm…." Lea membuat-buat wajah muram.
"Kakak cantik, kok. Cantik banget...," puji Cinta.
Lea tersipu. "Kamu lebih cantik dari kakak. Kamu tahu, gak? Waktu kakak seusia kamu, kakak tuh, jelek banget. Gendut, pipi kakak bulet, saking buletnya sampai hidung kakak hampir gak kelihatan, tenggelam. Ahaha!"
“Tapi, hidung kakak mancung banget, kok.” Cinta meneliti hidung Lea.
"Umm... waktu kecil emang hidung kakak belum semancung ini, sih.... Kayaknya belum tumbuh tulang hidungnya. Hahaa...." Lea kembali tergelak.
"Hahahaa! Kakak lucu!" Cinta ikut tergelak.
Al hanya melihat mereka berdua dari kursinya dengan sesekali menurunkan buku dari wajahnya. Ia senang melihat Lea akrab dengan anak kecil. Tidak di sangka-sangka. Seorang gadis sombong, manja dan angkuh ternyata mempunyai sisi lain yang selama ini mungkin tidak pernah diperlihatkannya.
"Kamu salah.... Dulu kamu cantik banget...," Gumam Al dalam hatinya. Bagi Al kecil, mungkin Lea adalah gadis kecil gendut, berpipi bulat, dan bergigi ompong tercantik yang pernah ia temui. Dan sekarang, gadis itu sudah tumbuh semakin cantik.
"Kakak! Kita balapan, yu!" Usul Cinta tiba-tiba.
Lea mengernyit. "Balap apa?"
"Balap kursi roda!" jawab Cinta penuh semangat. Kemudian, ia melirik Al. "Kakak Al yang jadi wasitnya, ya?"