Informasi mengenai penyebab kecelakaan Opa masih belum pasti. Walaupun Al sudah menghadiri pemakaman dari jenazah yang diidentifikasi sebagai Opa, tapi ia masih merasa ada yang janggal. Lea tidak ikut dalam acara pemakaman itu, ia yakin tidak akan sanggup melihatnya. Apalagi, jasad Opa didapati dalam keadaan mengerikan.
Beberapa hari setelah acara pemakaman, Lea sudah lebih baik, walaupun masih selalu murung. Dan sekarang, ia justru mendapat masalah baru, pernikahannya. Ya, sebenarnya itu yang cukup menyita perhatiannya sehingga tidak lagi sibuk menangisi Opa.
~~~
Lea tengah makan siang bersama Nando di halaman belakang. Semenjak surat wasiat itu dibacakan, ia masih belum tahu harus berbuat apa, selain menunggu nasibnya sendiri yang memutuskan.
"Le... perjodohan ini emang akhirnya cuma jadi paksaan buat kamu. Parahnya, ini ditentuin berdasarkan kepemilikan saham perusahaan dan jadi terkesan sebagai pernikahan bisnis. Tapi, dari awal aku emang selalu nunggu kamu nerima cinta kamu. Kamu tahu pasti itu. Jadi, please jangan benci aku karena perjodohan ini." Nando sudah berulang kali berusaha membuat Lea mengerti posisinya, tapi Lea tetap berubah dingin padanya.
"Aku masih belum bisa tentuin apa-apa. Toh, aku cuma tinggal nunggu nasib aku dieksekusi, kan?" sahut Lea akhirnya. Ia kemudian beranjak meninggalkan Nando dengan makan siang yang sama sekali tidak disentuh.
"Le! Please! Jangan gara-gara perjodohan ini sikap kamu ke aku jadi berubah. Kita bisa mulai ini pelan-pelan,Le...." Nando berusaha menahan Lea. Tapi, Lea yang akhirnya sudah bisa berjalan dengan baik bahkan tidak menoleh padanya lagi.
~~~
Al membuka sebuah surat. "Mungkin ini waktunya saya pergi, Nona. Saya akan memenuhi panggilan tugas saya," gumamnya. Ia seolah sudah yakin dengan kesimpulannya sendiri akan nasibnya.
Al menerawang. Satu minggu ini, ia selalu berusaha menghindar saat bertemu pandang dengan Lea, dan hanya berbicara seperlunya. Ia bahkan tidak tahu harus melakukan apa setiap kali melihat Lea melamun. Walaupun begitu, ia bisa merasakan kesedihan di hati Lea.
"Boleh gue masuk?"
Al masih melamun saat Lea sudah akan masuk melalui pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Cepat-cepat ia memasukan surat di tangannya ke dalam laci nakas. Tapi, sesuatu terjatuh saat ia menarik laci itu dengan cepat, dan ia tidak sempat mengambilnya. "Masuk aja," jawabnya. "Nando udah pulang?”
Lea mengendikan bahu. "Mungkin...."
"Jadi, sekarang Nona udah yakin dengan pernikahan kalian?" Al tersenyum simpul.
"Kenapa lo ngomong gitu? Kenapa lo gak nanyain hal lain?”
"Misalnya?"
"Misalnya, lo nanya, apa gue mau terima perjodohan ini?" Lea duduk di samping Al. "Lo ingat kata-kata Opa, kan?" Ia memberikan jeda untuk Al berpikir.
“…”
"Opa bilang, gue harus dengerin kata-kata lo," imbuhnya, saat Al tidak juga membuka suara.
"Nona mau saya ngomong apa?" sahut Al pasrah.
"Menurut lo, gue harus terima perjodohan ini, atau...?" Lea menatap Al lekat, berharap Al akan memberinya jawaban yang sesuai dengan keinginan hatinya.
Al menghela nafas dalam-dalam. "Nona, Opa memang nyuruh Nona dengerin kata-kata saya. Tapi, surat wasiat itu juga kata-kata Opa, dan udah cukup jelas. Apa Nona mau melanggar wasiat Opa?"
"Wasiat itu bilang gue harus nikah sama pemegang saham terbesar setelah Opa, tapi-"
"Dan itu Nando," sela Al.
"Tapi, dalam surat wasiat itu gak ada nama Nando!" Nada suara Lea mulai meninggi.
"Kenyataannya, sekarang Nando yang terbaik buat Nona dan nasib Hamlan grup ke depannya. Nona harus belajar untuk jadi pemimpin yang baik. Dan untuk memulainya, Nona harus memenuhi wasiat Opa dulu. Bersikaplah dewasa. Di sini bukan hanya nasib Nona yang harus Nona pikirkan, tapi nasih hasil jerih payah Opa di Hamlan Grup."
Lea terus menatap Al, berharap Al yang sejak tadi menghindari tatapannya akan melihat apa yang tersimpan di matanya. "Jadi, cuma sampai sini aja gue harus nurut sama kata-kata lo, Al...?" lirihnya. "Setelah gue nikah, gue gak mungkin lagi dengerin kata-kata lo. Mungkin, gue bisa jadi pemimpin kerajaan bisnis Opa, tapi sebagai seorang istri gue tetap jadi milik Nando sepenuhnya. Dan lo tahu itu maksudnya apa, kan?"
Al merasa hatinya begitu sakit saat mendengar itu. Setelah cukup lama membatu, akhirnya ia membalas tatapan Lea. "Saya percaya sama Opa. Mungkin menut Opa, ini yang terbaik buat Nona."
Kali ini Lea yang menghindari tatapan Al, menelan sendiri kekecewaannya. Tanpa berkata apa pun lagi, ia bangkit dan keluar meninggalkan Al di kamar itu.
~~~
“Mungkin ini jalan hidup gue, nasib yang harus gue jalani. Al, gue gak tahu gimana perasaan lo, tapi sekarang gue justru yakin sama perasaan gue sendiri. Saat gue takut kehilangan lo. Saat gue mau lo cegah pernikahan ini demi gue. Saat gue mulai mikir buat nyerah dan ninggalin semuanya dengan cuma mikirin lo. Sekarang... gue yakin kalau gue cinta sama lo, Al”
“Tapi, lo? Lo bahkan dengan relanya biarin gue pilih jalan pernikahan ini.”
“Mungkin di sini cuma gue yang ngerasain cinta itu. Buat apa berjuang buat sesuatu yang gak pasti?”
Lea masih termenung saat beberapa orang designer tengah mempersiapkan rancangan gaun international untuk ia kenakan di hari pernikahannya, dalam manekin mereka masing-masing. Acara akad dan resepsi akan dilakukan sesingkat mungkin, itu sebabnya konsep gaun international dipilih. Sebenanya, Lea tidak begitu peduli dengan gaun macam apa yang akan ia kenakannya.
Sementara Acha, Acha yang juga sedang berusaha untuk merelakan Nando, bisa melihat dengan jelas keraguan di wajah Lea. "Le..., lo masih gak yakin, ya?"
Lea tersadar dari lamunannya. "Apa?"
"Lo ngelamun, Le...," kata Acha. "Pernikahan kalian cuma tinggal beberapa hari lagi, kenapa lo masih ragu gini? Lo tahu, kan? Kalau lo mau mundur, sekarang belum terlambat."