Gelap dan sesak. Rasanya begitu pengap hingga Lea semakin berkeringat. "Al...."
"Ya...?" Nafas Al masih tersengal, seperti juga Lea.
"Kapan kita keluar?" tanya Lea berbisik.
Mereka akhirnya hanya saling menatap dalam gelap. Yang terihat hanya... mereka.
"Saya rasa mereka udah lewat semua...," jawab Al akhirnya.
Mereka kompak terperanjat saat tiba-tiba tempat yang mereka duduki bergetar, tak lama bergerak maju. "Mobilnya jalan!" Lea kaget dan mulai panik.
Al langsung membuka terpal yang cukup lama mereka gunakan untuk bersembunyi di atas mobil bak pengangkut barang. Akhirnya, mereka bisa menghirup udara segar juga. Mereka terpaksa bersembunyi di situ untuk menghindari orang-orang suruhan Sandi yang masih saja mengejar, bahkan setelah mereka berlari cukup jauh.
"Jangan panik, Nona!" kata Al sambil terus menjauhkan terpal berdebu itu dari mereka.
"Tapi sekarang gimana caranya kita turun?!" Lea masih panik.
"Ya..., kita tunggu sampai mobil ini berhenti aja, gimana lagi?” AL mengendikan bahu, berusaha tetap tenang. “Nona tenang aja, yang penting sekarang kita aman dari mereka."
Lea menghela nafas lalu merengut. "Ya udah, deh. Gue cape...," rengeknya. Kemudian, ia mengusap-usap kulitnnya yang terkena langsung debu dari terpal. "Gatal-gatal juga! Huhuuu...."
"Mana yang gatal?" Al memeriksa kulit Lea mulai merah-merah. "Duh, gimana ini?"
"Ada minyak telon, gak? Atau kayu putih? Sanitizer?" tanya Lea sambil terus menggaruk-garuk lengannya.
"Mana mungkin saya bawa begituan? Umm... Nona tahan ya, nanti kita beli. Sekarang jangan digaruk, nanti malah jadi bentol-bentol." Al memegang lengan Lea, mengusap dan meniupinya lembut. "Maafin saya, gara-gara saya Nona jadi gini...," sesalnya.
Lea menatap Al lekat. Al terlihat begitu tulus mencemaskannya. Tapi, tiba-tiba saja ia tidak tahan ingin menangis. "Hiks... hiks...!"
Al berhenti meniupi lengan Lea saat mendengar isakan itu. "Nona kenapa? Saya kan udah minta maaf. Saya tiupin lagi ya, biar gak gatel? Jangan nangis...."
"Hiks... lo jahat! Kenapa gak pernah bilang kalau lo itu kakak arum manis gue? Lo gak taku kalau gue gak pernah bisa lupain lo dari kecil sampai sekarang. Aneh, kan? Dan lo pasti udah dari lama tahu soal ini! Kenapa gak bilang?!"
Untuk beberapa saat Al hanya terpaku melihat Lea menangis, kemudian ia memberanikan diri mengusap air mata di pipinya. "Maafin saya. Saya gak ada maksud nyembunyiin apa-apa. Saya cuma mikir, umm... saya ini cuma bodyguard Nona, gak pantas berharap sesuatu yang lebih dari Nona."
Lea mengernyit, tak habis pikir. "Al, bahkan dengan status lo sebagai bodyguard aja, lo udah bisa ngambil hati gue. Gue malah stres mikirin lo! Bukan lo-nya, tapi gue heran aja, kenapa gue bisa suka sama bodyguard gue sendiri?! Parahnya, lo sukses bikin gue mikir kalau lo sama sekali gak suka sama gue...!"
"Sebenarnya... selama ini saya juga gak pernah lupa sama gadis kecil gendut itu. Saya selalu pengen ketemu lagi sama Nona.” Al tertunduk. “Saya rasa... saya udah jatuh cinta sama Nona sejak pertama kali kita bertemu, dulu. Dan bahkan, setelah saya tahu gadis kecil itu adalah Nona, saya tetap lancang mencintai Nona. Saya mencintai Nona sejak dulu sampai detik ini."
Lea yang terlalu bahagia hingga tidak bisa berhenti menangis, akhirnya hanya memeluk Al sekuatnya.
Di atas mobil bak terbuka yang terus melaju itu, mereka melewati banyak orang yang heran saat melihat seorang pengantin wanita memeluk seorang pria yang tidak terlihat seperti mempelai pria.
"Sekarang gue tahu, kenapa selama ini gue suka sama mata lo. Bukan cuma karena mata lo teduh atau indah, tapi karena gue jelas-jelas kenal mata lo ini. Pangeran arum manis yang hadir dalam mimpi itu beneran nyata.... Dan itu... kamu, Al." Lea melepaskan pelukannya, lalu menatap Al lekat. "Maaf, selama ini aku pasti bikin kamu repot setengah mati.... Maafin aku.”
Al tersenyum menyambut penyesalan yang sepertinya tulus itu. Apalagi, Lea sudah menuruti Opa dengan panggilan 'aku-kamu' yang masih terdengar canggung. "Sejak menjadi bodyguard Nona, Nona emang berhasil bikin hidup saya jungkir balik. Tapi, saya senang karena hati saya sendiri yang mau, hati saya yang paksa saya untuk melakukan apa pun buat Nona, termasuk melindungi Nona. Nona yang ternyata gadis arum manis saya, cinta pertama saya, yang selama ini setia menganggap saya cinta sejatinya."
Lea tersipu. Tatapan matanya masih enggan meninggalkan mata teduh Al yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang, seolah terhipnotis masuk ke dalamnya.
Senyum Al berganti tatapan sayu saat ia perlahan mendekatkan wajahnya pada Lea. Semakin dekat hingga ia bisa merasakan hembusan hangat nafas mereka beradu, seiring hidung mereka yang akhirnya sudah menempel. Menyusul hidung, Al beralih untuk meraih bibir mungil itu....
CKIIITTT!!! JEDUGGG!!!
Mobil bak yang membawa mereka mendadak berhenti setelah menikung tajam.
"Awww...!" Al meringis sambil memegangi bagian belakang kepalanya yang terbentur. Sementara Lea tertelungkup di atasnya. "Nona...! Nona gak papa, kan?" tanyanya seraya berusaha bangun dan membantu Lea.
"Gak papa. Harusnya aku yang nanya, kan kepala kamu yang kebentur besi di belakang itu." Beberapa saat, Lea diam menahan tawa. "Hahaha!" Akhirnya, ia tergelak juga. Kejadian itu terasa lucu baginya.
Seketika itu juga wajah Al memerah. Selain malu, entah kenapa ia sedikit kesal pada mobil itu yang sudah membuatnya ‘failed’. "Nona malah ketawa, sih?!" protesnya.
"Gak papa, pengen ketawa aja. Hihii...." Lea masih nyengir. "Umm... mobilnya udah berhenti...," katanya saat menyadari mobil itu tidak lagi bergerak.
"Ah, iya.... Ya udah, kita turun sekarang, sebelum ada yang tahu kita di sini." Beruntung jendela belakang mobil itu terhalang oleh kayu yang diangkutnya. Al melempar ranselnya, kemudian lebih dulu melompat. "Ayo, Nona lompat juga...."
Lea sedikit ngeri saat melihat ke bawah. "Takut jatuh...!"
"Gak akan, saya tangkap di sini. Cepetan, nanti supirnya keburu datang lagi, ayo...!" Al mengulurkan kedua tangannya lebih dekat. Akhirnya Lea melompat, dan dengan sigap Al menangkapnya.