Kicauan burung yang bertengger di dahan pohon, pagi itu terdengar begitu merdu. Mereka pasti tengah bernyanyi, atau mungkin hanya sekedar mengasah pita suaranya, agar tetap lentur dan bisa bersiul dengan suara indah sepanjang hari. Suara kicauan itu cukup ampuh untuk membangunkan Sleeping Beauty yang masih asik memeluk dirinya di atas sofa.
"Hmmpphhh...." Lea masih melongo sambil mengumpulkan nyawanya. Detik berikutnya, ia mengedarkan pandangandan seketika terperanjat bangun. "Al...!" Entah kali keberapa, ia terbangun dan langsung menyebut nama itu.
Lea berlari keluar saat tidak menemukan Al di seluruh ruangan rumah itu. Ia bahkan lupa memakai sandal. "Al kemana, sih?!" gumamnya panik. Sepertinya, ia sudah mengalami sindrom takut ditinggalkan, atau penyakit ketergantungan pada sosok Al.
"Aaaallll...!!!" Lea meneriakan nama itu dengan matanya yang awas mencari dan langkahnya terus mendekat ke arah pantai.
Orang yang dicairnya justru tengah asik berlari-lari kecil di bibir pantai dengan hoodie yang sengaja dibiarkan menutupi kepalanya. Samar-samar, Al bisa mendengar namanya dipanggil dari kejauhan. "Princess...?" Lea sudah terlihat dan berlari ke arahnya saat ia bergegas memutar langkahnya kembali ke rumah.
"Aaalll! Ngapain di situ?! Aku nyariin!" Lea yang cemas sudah nyaris menangis.
Akhirnya Al hanya berdiri, menunggu Lea sampai di depannya. Kepalanya sedikit miring aat melihat ILe dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lea tampak seperti bocah kecil yang baru terbangun dengan piama longgar, dan bertelanjang kaki menapaki pasir.
"Lain kali kalau mau pergi bilang-bilang, kek! Bangunin aku dulu, kek! Kan aku jadi panik nyariin! Lagian aku kan takut kalau sendirian di tempat asing gini!" Lea mengomel tanpa jeda.
Al tersenyum simpul. "Aku cuma lagi lari pagi aja, kok. Tadi kamu kelihatan nyenyak banget tidurnya, jadi gak tega mau bangunin." Ia beralih melihat kaki Lea. Kontan Lea mengikuti arah pandangnya.
"Aku sampai lupa pakai sandal...!" Lea mendengus.
"Gak papa, pasirnya bersih, kok." Al menarik tangan Lea. "Mendingan pagi ini kita lari di pantai, yu!"
"Tapi, aku masih pakai piama, Al!"
"Gak papa, asal kita gak masuk ke area pantai yang rame aja. Gak akan ada orang, kok. Biar adil, aku juga buka seatu, deh." Al berhenti menarik Lea berlari untuk melepaskan sepatunya.
"Ya udah kalau gitu." Lea mengendikan bahu.
Mereka pun berlari menyusuri pantai itu sambil mengobrol ringan.
"Gak papa kan, kalau di pantai?" tanya Al.
"Gak papa apanya?"
"Soal laut itu... gak papa, kan?" Al memperjelas.
Lea lalu mengarahkan pandangannya ke arah laut. "Aku sering kok, ke pantai. Tapi, kalau ngelihat laut, emang masih takut. Aku... benci sama laut."
Al tiba-tiba menghentikan larinya.
"Kenapa berhenti?" tanya Lea, heran.
"Kita duduk di sini dulu...." Al lebih dulu duduk dan meluruskan kaki di pasir. Tak lama, Lea mengikutinya duduk bersila. "Kalau habis lari, kakinya lurusin...," katanya sambil menarik kedua kaki Lea hingga berselonjor lurus.
“…” Lea hanya menghela nafas dan menurut.
Mereka duduk tak jauh dari ombak yang nyaris menyentuh kaki mereka. Tapi, ombak itu kemudian sudah kembali ke laut, sementara pasir yang mereka lewati basah.
"Aku belum pernah sedekat ini sama ombak...," kata Lea, sedikit bergumam.
"Gak terjadi apa-apa, kan?" tukas Al. "Gak ada yang salah sama laut...," tambahnya. "Yang salah itu, kalau kamu terus-terusan nyalahin laut."
“…”
Al menatap Lea di sebelahnya lekat. Sementara Lea, tatapan kosongnya jusru mengikuti garis ombak yang terus berubah-ubah. "Princess... kamu harus ikhlasin semuanya. Aku gak minta kamu tiba-tiba bisa suka sama laut, aku cuma mau kamu kasih kesempatan buat diri kamu sendiri."
"..." Lea menoleh pada Al dengan tatapan yang seolah bertanya 'kesempatan buat apa?'
"Bukannya dengan kamu pelihara rasa benci dan takut itu, justru malah makin nambah beban kamu? Seandainya kamu bisa lepasin semuanya perlahan, mungkin kamu bisa merasa lebih lega...."
"Gak segampang itu...," timpal Lea datar.
"Cuma kamu yang bisa bikin itu jadi gampang. Atau sebaliknya, kamu yang bikin semuanya jadi lebih sulit." Al menggeser duduknya maju, lebih mendekat pada ombak. Ombak itu akhirnya menyentuh kakinya, bahkan melewatinya. "Aku paling suka ngerasain ombak yang nyentuh kaki aku. Rasanya… kuat tapi lembut...."
Mendengar ucapan Al, Lea berdiri dan melangkah maju hingga ia tepat di samping Al. “Gimana rasanya?” Ia bahkan belum pernah membiarkan ombak itu sedikit pun menyentuhnya.
Ombak yang sesaat lalu pergi akhirnya kembali, semakin menepi dan semakin berkurang, lalu lenyap tertelan pasir. Lea bersiap sambil menarik nafas untuk ombak berikutnya. Karena terlalu takut, ia akhirnya kembali duduk di samping Al. Setidaknya, ia bisa berpegangan pada Al jika terjadi sesuatu saat ombak itu menyentuhnya. Atau bahkan, ombak itu akan menggulungnya ke tengah laut. Ya, itu hanya ketakutan yang berlebihan.