Al baru akan turun dari kursi setelah membetulkan kontak listrik, tidak jauh dari pintu masuk. Saat turun, ia kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh. Beruntung ia segera mendapatkan pegangan.
"A-Aa gak papa?" tanya Citra yang baru naik ke beranda rumah itu dan langsung terkejut saat Al tiba-tiba memegang pundaknya.
Citra berbicara dengan logat sunda yang sangat kental, berbeda dengan pak Warman. Dan itu kali pertama Ia membuka suara sejak pertemuan pertamanya dengan Al.
Al yang juga terkejut setelah mendengar suara Citra langsung melepaskan pegangannya. Untuk beberapa detik, tatapan mata mereka bertemu. "Oh, ada kamu. Maaf, tadi saya lagi benerin listriknya. Hampir aja jatuh."
Citra masih saja tersenyum ramah seperti saat pertama kali bertemu. "Gak papa, kok. Aa sendiri gak papa?"
Al balas tersenyum ramah. "Saya gak papa. Ada apa ya, kamu ke sini?"
Citra menyodorkan sebuah rantang yang di bawanya. "Saya ke sini mau nganterin ini. Disuruh sama mamang, katanya buat Sa sama si tetehnya."
"Wah, jadi repot-repot gini." Al mengambil rantang berisi makanan itu. “Terima kasih, ya.”
"Ehkemm! Ekhemm!"
Suara ‘dekheman’ Lea seketika mengangetkan Citra dan Al. Entah sejak kapan, Lea sudah berdiri di depan pintu dengan wajah juteknya.
"Eh, Teteh.” Citra tersenyum seraya menunduk singkat. “Umm... saya disuruh mang Warman buat nganterin makanan ini."
“Teteh? Dia juga panggil Al Aa? Sok ak-rap! Herrghh!!!” "Oh, makasih," sahut Lea tanpa membalas sedikit pun senyum ramah Citra.
Senyum Citra pun lenyap saat menyadari sikap sinis Lea padanya. "Umm... kalau gitu saya pamit, A, Teh. Assalamualaikum...."
"Kumsalam!" jawab Lea ketus.
"Sampaikan terima kasih saya buat pak Warman, ya," teriak Al pada Citra yang menoleh sebentar dan hanya mengangguk.
Setelah Citra sudah tidak terlihat, Al langsung menatap Lea tajam. "Kamu ini kenapa, sih? Gak bisa ya, ramah sedikit sama orang? Dia udah jauh-jauh ke sini nganterin makanan buat kita, malah kamu ketusin gitu?!”
“…” Lea hanya balas menatap Al datar, kemudian ngeloyor masuk begitu saja.
"Princess!" Al mendengus kesal. "Dia kenapa, sih? Aneh banget!" Ia menyusul Lea masuk dan meletakan rantangnya di meja makan saat Lea sudah duduk sambil melipat tangan di dada. "Aku punya salah?" tanyanya lembut.
"..."
"Jangan mulai, deh! Gimana aku bisa tahu kamu kenapa kalau kamu gak bilang? Kamu pikir aku cenayang yang bisa tebak isi pikiran orang?" Al mulai kehilangan kesabaran.
"Jadi kamu seneng dianterin makanan sama Citra? Cantik ya, dia? Pantesan kamu seneng banget tadi, pake pegang-pegang segala!" sahut Lea akhirnya, walaupun masih enggan melihat wajah Al.
"Cuma gara-gara itu kamu ngambek?" Al tidak habis pikir.
"Habis dari kemarin dia itu kalau ngeliat kamu suka sambil senyum-senyum gak jelas! Aku kan gak suka!" Aku Lea.
“Cuma gara-gara itu?” Al nyaris menganga, tapi akhirnya memilih menghela nafas seraya memutar bola matanya. “Mungkin dia emang orangnya ramah. Lagian dia juga senyum ramah sama kamu.” Tapi, seketika ia mendapat pencerahan. “Ah! Kamu cuma gak suka aja kan, sama dia? Kamu cemburu cuma gara-gara dia ramah sama aku?"
Lea sontak memicing, tidak terima. "Siapa yang cemburu? Enggak!"
"Terus kenapa? Please! Jangan childish gini, deh...!"
"Oh, iya! Aku emang childish! Kamu benar SEKALI!" Lea beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar dengan membanting pintunya keras-keras.
Al mengacak-acak rambutnya, frustasi. "Kapan dia berubah, ya Tuhan?! Dia masih aja manja, suka seenaknya, mau menang sendiri, dan childish-nya makin kelewatan!" Akhirnya, ia hanya mengelus dada. "Oke... huuffhh... sabar, Al.... Barusan emang aku juga yang kelepasan ngomong gitu. Diemin aja dulu Princess manja itu ngambek...."
~~~
Lea masih belum mau keluar dari kamar saat jam di dinding sudah menunjukan pukul dua siang. Artinya, ia sudah mengurung diri selama empat jam. Tiba-tiba, perutnya mengeluarkan suara kruyukan. "Duh... Lapar...," gumamnya. "Kok Al gak ngetuk pintu sih, dari tadi? Dia gak mau mita maaf atau apa, gitu?"
Terlalu kesal, Lea pun melempar bantal ke arah pintu. "Al jahat!" Tapi, cacing-cacing di perutnya semakin ramai berdemo. "Lapaar... huuhuu...!"
Karena tidak tahan, Lea akhirnya keluar. Perlahan ia melongokan kepalanya di pintu. “Aman, Al gak ada. Tapi, dia ke mana? Ah! Mending nyari makanan dulu.” Detik berikutnya, ia melirik ke atas meja makan. Di sana, sepiring nasi lengkap dengan kentang balado, tempe goreng, dan ayam gorengsudah tersaji dalam satu piring.
Lea menelan liurnya seraya mengedarkan pandangan awas. Setelah yakin Al tidak akan muncul, ia melesat ke meja makan dan langsung menyantap makanan itu dengan lahap. "Nom… enak!"
Al keluar dari kamarnya, sedikit mengendap agar Lea tidak terganggu. Ia menahan tawa saat melihat punggung Lea yang tampak sibuk makan tanpa jeda. Sengaja ia menaruh makanan itu di sana untuk Lea yang ia yakini akan keluar karena kelaparan. Dan benar.
Setelah puas memperhatikan dari belakang, Al melewati Lea dan duduk di depannya sambil bertopang dagu. Lea yang kaget dengan kedatangannya langsung berhenti menyuap untuk beberapa detik, ia tampak salah tingkah. Tapi, kemudian kembali memaksakan ekspresi cuek dan melanjutkan makannya.
"Makanya, kalau mau ngambek makan dulu yang banyak, biar ada tenaga," goda Al dengan senyum meledek.
Lea pura-pura tidak mendengar dan tidak peduli dengan keberadaan Al. ‘Terserah!’
"Awas keselek, makannya pelan-pelan," goda Al lagi. "Enak, ya? Lupa itu siapa yang kasih?" tanyanya sambil melirik ke kiri dan ke kanan.