Seorang wanita dengan kerutan memenuhi wajah, yang sangat jelas menunjukan usia senjanya masih saja menerawang. Matanya terlihat semakin cekung saat semakin dalam mengingat-ingat. Hingga akhirnya ia mengela nafas dalam-dalam. "Iya, Al memang anak panti ini. Bahkan, dia selalu menyempatkan waktu ke sini untuk bermain dengan anak-anak," kata wanita tua itu akhirnya.
"Ibu Ina bisa ceritain tentang Al?" tanya Nando, sedikit tidak sabar. Sedangkan Acha hanya mengimak di sebelahnya.
Bu Ina menatap Nando dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kamu juga sudah kenal dengan Al sejak kecil, kok. Tapi, kamu pasti lupa, waktu itu usia kamu masih 6 tahun. Dulu, kamu itu suka menyendiri, makanya kamu gak punya teman. Sampai papah angkat kamu adopsi kamu pun, kamu masih belum punya teman."
“…” Nando semakin penasaran.
Bu Ina kembali menerawang. "Waktu itu, sebelum memutuskan untuk mengadopsi kamu, sebenarnya pak Sandy mau mengadopsi anak yang lebih besar. Dan anak itu... Al."
"…"
***
"Nando! Kamu jangan gitu. Lihat, kan? Dia jadi nangis." Bu Inaya menghampiri Nando yang tengah berlari menjauhi seorang anak perempuan yang baru saja dibuatnya menangis.
“…” Nando kecil hanya diam, sama sekali tidak mengerti dan tidak mau tahu apa yang telah dilakukannya. Bahkan, wajahnya tampak galak.
Dari kejauhan, terlihat seorang anak perempuan yang akhirnya berhenti menangis setelah ada seorang anak laki-laki yang menghampirinya dan memberinya sebuah arum manis besar berwarna merah muda.
Bu Inaya akhirnya merasa lega. Ia beralih dari sepasang anak yang sudah duduk di sebelah perosotan, kembali pada Nando. "Sekarang kita ke ruangan ibu, ya."
Nando mengikuti bu Inaya masuk ke dalam ruang kerjanya. Di sana, sudah ada seorang pria muda yang menunggunya. Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum ramah pada Nando.
"Itu pak Sandy. Sebentar lagi kamu bisa ikut pak Sandy ke rumahnya, dia mau jadi ayah kamu," jelas bu Inaya pada Nando.
Sandy berjalan mendekat, kemudian berjongkok di depan Nando. "Hai, Nando," sapanya seraya mengulurkan tangan yang segera Nando cium. "Kamu boleh panggil saya papah mulai dari sekarang."
"..." Nando hanya terpaku, meneliti wajah pria di depannya yang masih asing. Kemudian ia menoleh pada bu Inaya, seolah meminta persetujuan.
Ibu Inaya tersenyum seraya mengangguk. "Gak papa, sayang. Pak Sandy ini baik, dia sayang sama kamu, makanya dia mau jadi papah kamu."
“…”
Satu minggu kemudian….
Bu Inaya baru saja keluar dan langsung menemui Sandy yang tengah melihat anak-anak yang bermain di halaman luas milik panti asuhan. Sebenarnya, ia lebih fokus pada anak laki-laki yang tengah duduk sambil memeluk lututnya di bawah perosotan.
"Beberapa hari ini dia memang suka diam di situ. Katanya, dia lagi nunggu gadis arum manis cantiknya," kata bu Inaya, sedikit mengagetkan Sandy.
"Oh, ibu sudah keluar rupanya." Sandy mengalihkan perhatiannya dari bocah di bawah perosotan itu. "Nando sudah siap?" Hari itu, memang ia sudah bisa membawa Nando pulang karena proses adopsinya sudah sempurna.
"Sebentar lagi." Bu Inaya tersenyum. “Baru saja saya menyiapkan keperluannya.”
“Oh….” Sandy kembali melihat pada anak di bawah perosotan. "Saya masih heran, kenapa saya gak bisa adopsi dia?"
Bu Inaya tersenyum simpul. "Orang yang menitipkannya di sini tidak memperbolehkan dia untuk diadopsi. Lagipula, dia sudah akan masuk SMP dan tinggal di asrama."
"Aneh, kenapa orang itu gak merawat dia sendiri saja?” Sandy masih tidak habis pikir. “Kalau memang tidak boleh diadopsi, Kenapa dititip di panti asuhan?"
Sebelum bu Inaya sempat menjawab, Nando akhirnya keluar dengan seorang pengasuh. Sebenarnya, bu Inaya memang tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan itu. "Nah, Nandonya sudah siap, Pak."
Sandy melupakan pertanyaannya, dan menghampiri Nando seraya tersenyum. "Mulai sekarang, nama kamu Nando Haerald. Kamu anak saya, dan harus panggil saya papah."
Nando tersenyum, walaupun masih takut-takut. “Pa-pah….”
***
Nando dan Acha masih mendengarkan penjelasan bu Inaya yang cukup panjang. Sementara pertanyaan yang sekarang ada di benak Nando adalah, siapa Al sebenarnya?
"Jadi, siapa yang titipin Al ke sini? Kenapa dia gak bisa diadopsi?" tanya Nando.
Bu Inaya tampak ragu. "Sayangnya, beliau sudah meninggal," katanya yang mendadak murung. "Saya rasa, saya juga sudah akan menyusulnya. Saya sudah tua. Saya harus memberitahukan hal ini pada Al sebelum terlambat."
"Al juga gak tahu apa-apa? Tapi siapa orang titipin Al itu?" Nando semakin heran.
"Dia...." Bu Inaya terdiam cukup lama. "Pemilik panti asuhan ini."
Mata Nando terbelalak setelah mendengar kenyataan itu. Seperti juga Acha yang sejak tadi bungkam dan hanya mendengarkan, sekarang sudah menganga. Dan itu cukup menjelaskan kenapa posisi Al selama ini terlalu spesial untuk ukuran seorang bodyguard.
"Opa Sultan yang titipin Al ke sini? Opanya Lea?" tanya Nando memastikan.
Bu Inaya mengangguk pelan. "Iya, tuan Sultan Hamlan."
Untuk beberapa saat, ruang tengah di panti asuhan itu terasa lebih hening. Hingga Nando kembali memikirkan sesuatu. "Bu, kapan terakhir kali Al ke sini?" tanyanya sedikit tergesa-gesa. "Ibu pasti tahu, kan? Saya yakin ibu tahu berita Al yang bawa Lea kabur dari pernikahan kita. Lea cucu Opa Sultan."
Bu Inaya kembali mengangguk. Kali ini, ia tampak menyesali apa yang baru saja Nando katakan. "Ibu tahu, dan ibu gak ngerti kenapa Al melakukan itu." Ia lalu memegang tangan Nando. "Kalian berdua sudah seperti anak saya sendiri, saya sedih dengan keadaan kalian sekarang, dengan masalah apa pun di antara kalian sekarang."
Nando tidak ingin menanggapi rasa prihatin bu Inaya mengenai hubungannya dengan Al yang ternyata saudara satu panti. Tapi, ia balas menggenggam erat tangan keriput ibu pantinya itu. "Bu, kapan terakhir kali Al ke sini? Saya harus tahu di mana dia sekarang, Bu."
"Al sudah lama gak ke sini, tapi-"
"Tapi?"
…………………………
~~~
"Aaaaaa!!!" Lea menjerit saat menyalakan kompor gas di dapur.
Al yang tengah sibuk dengan I-padnya pun melompat panik dari sofa. "Kenapa?!"
"Apinya gede amat!" Lea menunjuk kearah kompor itu.