"Kamu mau bawa aku ke mana?! Cepetan kita balik lagi ke sana! Al pasti nyariin aku!" Di dalam mobil yang terus melesat itu, Lea masih saja panik. "Nando! Kenapa diam aja? Cepat balik lagi!!!" Kali ini, ia membentak lebih keras.
"Le! Kita gak mungkin balik lagi ke sana! Kamu lupa siapa yang tadi ngobrak-abrik rumah itu?" Akhirnya, Nando membagi konsentrasi mengemudinya. "Seandainya tadi aku telat sedikit aja, sekarang kamu pasti udah dibawa sama orang-orang suruhan Papah. Dan itu jauh lebih buruk buat kamu,Le!"
Lea terngng, tak percaya. "Papah kamu? Jadi orang-orang itu suruhan om Sandy?"
"Iya! Papah emang gak ngasih tahu aku soal ini, tapi aku yakin itu pasti orang suruhan papah. Kamu pikir papah bakal lepasin kalian gitu aja? Gak! Dan bukan hal yang mustahil buat papah bisa nemuin kalian, kemana pun kalian pergi."
Lea mencoba mengatur nafasnya yang masih berantakan. Ya, ia ingat saat tengah duduk di beranda rumah, tadi, Nando tiba-tiba datang dan menariknya bersembunyi di balik ilalang yang cukup lebat. Sementara orang-orang berbadan tegap mulai berdatangan ke rumah itu dan mengobrak-abriknya seperti tengah mencari sesuatu. Dan sekarang, bisa dipastikan jika mereka gagal mendapatkannya. Nando sudah lebih dulu membawanya pergi. Entah untuk menyelamatkannya atau bukan, ia bahkan belum sepenuhnya mengerti.
“Sebenernya ada apa? Gimana keadaan Al sekarang? Dia masih di sana? Dia baik-baik aja, kan? Apa gue bisa percaya sama Nando?” Lea tidak bisa berhenti mencemaskan memikirkan semuanya.
"Sebenernya aku satang cuma buat mastiin kalau kamu sama Al emang ada di sana, tapi aku malah lihat orang-orang itu. Dan aku gak mungkin biarin mereka nangkap kamu. Kamu gak mau kan, kejadian pernikahan itu terluang lagi? Jangan sampai usaha kabur kamu dari pernikahan sia-sia. Sementara ini, lebih baik gini dulu...," jelas Nando sambil sesekali menatap Lea.
"Terus kamu, dari mana kamu tahu aku sama Al ada di rumah itu?"
"Dari bu Ina."
Lea mengernyit. "Bu Ina? Siapa?"
"Ibu panti. Panti asuhan tempat aku..." Nando berhenti sejenak, "…tempat aku sama Al dulu."
"Kamu sama Al?" Lea semakin bingung dan nyaris kehilangan kesabarannya. "Panti asuhan itu? Sebenarnya ini ada apaan, sih?!"
"Selama ini gak ada yang tahu kalau aku ini cuma anak angkatnya papah, termasuk kamu." Nando menghela nafas. "Dulu, aku tinggal di panti asuhan yang sama sama Al. Jujur aku sendiri sedikit pun gak inget sama Al, tapi Al pasti inget aku. Selama ini dia cuma gak mau peduli dan pura-pura gak tahu apa-apa kalau ketemu aku."
Setelah mendengar itu, Lea hanya tediam. Ia sendiri tidak tahu harus menanggapi kenyataan itu seperti apa. Terlebih lagi, saat melihat wajah Nando yang begitu muram. “Ya, dulu, gue sendiri bahkan gak tahu kalau Al itu kakak arum manis dari panti asuhan itu. Mungkin, di sini cuma Al yang inget semuanya. Termasuk soal Nando yang anak angkat.”
Nando masih fokus mengemudi saat menyadari suasana mendadak hening. "Tapi, soal aku cuma anak angkat itu… bukan masalah besar buat aku. Aku bahkan gak peduli aku anak siapa," kata Nando, sedikit sinis. "Yang penting sekarang, aku udah gak mau lagi tutup mata aku. Semua yang papah aku lakuin itu salah, dan aku gak akan pernah lagi mau jadi bonekanya."
Lea menoleh dengan tatapan penuh tanya. "Maksud kamu boneka?"
"Selama ini papah yang nyuruh aku deketin kamu supaya aku bisa nikahin kamu. Kamu pasti ngerti, Le. Cuma dengan cara itu papah bisa nguasain kamu dan semua harta Opa. Tapi, aku gak sejahat itu. Seandianya kita benar-benar menikah pun, aku akan dengan tulus melakukannya. Dengan tulus mencintai kamu, kalau memang kamu takdir aku. Bukan untuk memanfaatkan kamu demi harta Opa."
Awalnya, Lea sudah akan marah karena pengakuan Nando, tapi kalimat terakhir itu justru membuatnya merasa bersalah. "Soal aku yang kabur dari pernikahan itu... aku minta maaf...."
Nando tersenyum miris. "Kamu gak salah, gak usah minta maaf. Justru itu yang terbaik. Dengan kamu ngelakuin itu, kamu justru udah bantu aku lepasin diri dari papah. Secara gak langsung, kamu udah mutusin tali yang papah pakai buat gerakin aku sebagai bonekanya. Jujur... aku malah lega."
“Lega?” Lea kembali mengernyit.
Nando menghembuskan nafasnya kasar. "Sekarang, aku jadi bisa jujur sama diri aku sendiri, kalau aku gak pernah cinta sama kamu,Le. Dan aku sadar, selama ini ada seseorang yang tulus sayang sama aku, mencintai aku tanpa peduli perasaannya yang terus aku sakiti. Aku gak mau sia-siain dia lagi."
Lea menatap Nando lekat-lekat. Entah kenapa, saat itu ada satu nama yang terlintas di benaknya. "Acha…?"
Nando tersenyum samar, kemudian kembali melihat ke depan. "Bisa kamu bayangin gimana perasaan dia selama ini? Dia selalu lihat aku ngejar kamu, tapi dia tetap senyum buat aku. Bahkan, dia tetap jadi teman yang baik buat kamu, kan?"
"Kenapa aku gak pernah bisa lihat itu....” Tangan Lea mengepal, kesal pada ketidakpekaannya sendiri. “Kasihan Acha...," gumamnya dengan nada penuh penyesalan. "Jadi, sekarang apa yang harus kita lakuin? Kita mau ke mana?" Ia kembali teringat Al. "Tapi, Al… dia pasti nyariin aku."
"Kita ke apartemen Acha dulu, baru kita hubungin Al." Nando tersenyum, menenangkan. "Kamu gak usah khawatir. Al pasti baik-baik aja, dia pasti bisa jaga diri."
"Gak! Mana HP kamu? Aku harus telpon dia sekarang!" Lea bersikeras. Hingga Nando memberikan ponselnya. Tapi, setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia menyerah karena Al tidak juga mengangkat telponnya.