Malam itu, AL duduk termenung di sebuah kursi, di pinggi trotoar. Lalu lalang orang sama sekali tidak mengganggu lamunannya. "Kamu di mana, Princess?" gumamnya. Ia mengangkat kepalanya,lalu menatap awas setiap orang yang lewat. Mungkin saja, di antara orang-orang itu akan ada Princess-nya yang berlari riang menghampirinya. Atau meneriakinya seperti biasa, seperti 'Hei!' atau 'Aaaalll!' Tapi, kemudian ia kembali tertunduk. "Gak mungkin...."
Tiba-tiba saja, kata-kata Sandy terngiang. “Kamu ini bodoh, ya?! Mikir, dong! Mungkin sekarang Princess lagi ngetawain kamu. Gadis sombong kayak dia, bisa jadi dia sengaja ninggalin kamu. Dia pasti udah bosan main-main sama kamu. Buktinya, dia kabur dari kamu, dan dia juga gak ada di sini, anak buah saya gagal tangkap dia. Mungkin, dia udah pergi ke uar negri, ninggalin kita. Eh, bukan kita, tapi KAMU!” Al mengacak-acak rambutnya seraya membuang jauh-jauh keraguan itu.
Sekarang, selain diam di tempat itu, Al tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia tidak membawa apa pun di tangannya, juga tidak tahu harus memulai dari mana untuk mencari Princess. Mungkin, ia akan melewati malam itu di pinggiran, larut dalam keraguan dan keresahannya. "Di mana pun kamu, semoga kamu baik-baik aja, Princess...."
~~~
"Oke, saya tunggu kamu besok di depan semua petinggi perusahaan dan pemegang saham." Sandy menutup sambungan telponnya dengan Lea.
Beberapa detik Sandy menatap dingin layar ponselnya, kemudian ponsel itu melayang dari tangannya hingga membentur dinding dan hancur menjadi beberapa bagian di lantai. "Anak itu!!! Ternyata dia yang bawa Lea perg!!!" Ia berusaha menahan emosi hingga suaranya menggeram. "Anak kurang ajar! Gak tahu diuntung!" Tapi, seketika ia tertawa sendiri. "Haha...! Kita lihat aja, sejauh apa kamu bisa lawan papah kamu ini, Nando!"
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu ruang kerja, di rumah megah miliknya itu. "Masuk!"
Dua orang suruhannya masuk dengan wajah tertunduk. Seperti sudah tahu apa yang akan dikatakan anak buahnya, Sandy semakin marah. "Goblok!!! Udah biarin dia kabur, sekarang kalian juga gak bisa cari dia!!!" bentaknya pada dua orang yang semakin takut itu. "Sekarang kalian keluar!!! Cari dia lagi!!!"
~~~
Lea bergantian menatap Nando dan Acha setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Sandy dari sambungan telpon. "Besok...," katanya. "Kita hasrus siap-siap buat hadapin orang-orang itu besok pagi." Ia kemudian menghela nafas dalam-dalam untuk membuang rasa takutnya. "Semoga Al gak papa di sana.... Om Sandy bilang Al ada sama anak buahnya."
"Om Sandy gak ngomong apa-apa lagi soal Al?" tanya Acha.
"Dia cuma bilang kalau Al ada sama dia, sama anak buahnya," jawab Lea cemas.
"Tenang aja. Selama ada kamu, mereka gak akan bisa ngelakuin apa-apa, Le. Biar gimanapun, kamu tetap pewaris tunggal di sana. Kecuali soal wasiat aneh itu, gue sendiri masih bingung gimana hadapinnya nanti." Nando tersenyum miris. "Jadi, sekarang gue udah secara terang-terangan nentang dia, nentang papah. Tapi, gue harus lakuin ini."
Acha menggenggan tangan Nando, memberinya kekuatan. "Kamu udah ngelakuin hal yang tepat, Nan. Kamu juga selalu punya aku di samping kamu."
Nando balas tersenyum. "Makasih, ya...."
Sementara Lea yang duduk di depan Nando dan Acha, ikut tersenyum bahagia untuk mereka. Hanya saja, kekhawatirannya tentang keadaan Al jauh lebih menguasai pikirannya saat itu. “Al….”
~~~
Malam pun bergulir, tergeser oleh mentari pagi yang bersinar begitu cerah dan hangat. Dan Al masih di tempat yang sama. "Aku harus ke sana...," tekatnya.
Al menyeret langkahnya, kembali menuju gedung tinggi yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan Opa. Entahlah, ia hanya berharap akan mendapat sedikit petunjuk mengenai keberadaan Princess-nya di sana.
Tiba di depan gedung itu, Al langsung menyembunyikan wajahnya d ibalik hoodie. Sesekali ia bersembunyi di balik pohon palem yang membingkai tembok besar bertuliskan 'Hamlan Group'. Tapi, ia kemudian menyadari ada yang aneh saat banyak mobil-mobil mewah berdatangan dalam waktu berdekatan. Tak lama, ia melihat sebuah mobil yang cukup ia kenal. "Itu, mobil... Nando?"
Al berusaha melihat lebih jelas ke arah mobil, tapi yang kemudian didapatinya adalah sosok mungil Princess yang keluar dengan langkah mantap dan wajah angkuhnya. Lea melangkah masuk ke dalam gedung dengan Nando berjalan di sampingnya.
"Jadi, dia pergi sama Nando?" Al bertanya pada dirinya sendiri dengan perasaan-perasaan aneh mulai memenuhi hatinya. Ia bahkan nyaris saja mengejar Lea untuk meminta penjelasan, atau membawanya kabur lagi. Tapi, niatnya urung begitu saja. Selain karena ragu, ia juga tidak mau bertidak bodoh. Masuk ke dalam gedung itu berarti menyerahkan diri pada Sandy, untuk kedua kalinya.
Saat tengah sibuk dengan pikirannya, tanpa firasat apa pun, tiba-tiba dua orang laki-laki berpakaian serba hitam mengunci kedua tangan Al. Al terkejut, tapi sudah tidak bisa memberontak lagi. Dua orang itu langsung menyeretnya masuk ke dalam sebuah mobil.
~~~
Semua orang duduk mengelilingi sebuah meja rapat panjang. Mereka berjumlah tidak kurang dari 50 orang. Sementara Lea dan Nando yang baru saja tiba langsung masuk, dengan diiringi tatapan beragam dari orang-orang itu.
Sandy tersenyum puas saat melihat Lea yang kemudian duduk di kursi yang biasa ditempati Opanya dengan Nando berdiri di belakangnya. Sementara ia dan Handoko duduk di kursi yang paling dekat dengan kursi Lea.
"Selamat pagi, semuanya." Lea mulai membuka suara. Suaranya tegas dan penuh rasa percaya diri yang membuatnya tampak angkuh, walau sedikit bergetar. "Sebelumnya, saya minta maaf atas tindakan saya kabur. Saya tahu saya sudah meninggalkan tanggung jawab saya. Tapi, mulai saat ini saya akan memulai semuanya dari nol. Saya siap mendengarkan petunjuk dari anda semua dan mempelajari apa pun yang harus saya kuasai untuk menjadi seorang pemimp-"