Di ruang kerja Opa….Cinta dan Nando tengah bermain puzzle di sofa. Tak jauh dari mereka, Lea dan Al duduk di depan meja kerja Opa, menunggu penjelasan.
"Opa minta maaf, ya. Kalian gak marah kan, sama Opa?" tanya Opa akhirnya, setelah beberapa saat hanya tersenyum simpul sambil bergantian menatap Al dan Lea yang tampak masih masih shock karena tiba-tiba diperkenalkan sebagai calon pasangan suami istri di dalam rapat direksi.
Opa sengaja pergi, Opa merasa ada yang gak beres di beberapa anak perusahaan Opa. Sebenernya Opa tahu siapa penyebabnya, tapi Opa yakin kalau orang itu punya maksud lain. Ternyata benar, setelah Opa dinyatakan meninggal dalam kecelakaan pesawat, mereka yang Opa curigai itu langsung bergerak dan menunjukan kebusukannya. Ya, Opa pikir juga gak ada salahnya Opa bermain-main dengan mereka, atau mempermainkan mereka sekalian. Dan jauh jauh dari niat awal, Opa malah dapat dua kepala sekaligus. Tentu dengan beberapa bawahan mereka yang juga terlibat."
Penjelasan Opa cukup membuat Al dan Lea mengerti. Walaupun masih sama-sama tidak habis pikir. Bahkan, mereka masih takjub dengan permainan Opa yang sangat rapih.
"Tapi, kenapa Opa gak bilang sama kita?" tanya Lea, sedikit kesal. "Kenapa Opa gak ngajak aku? Opa kan bisa ngabarin kita soal keadaan Opa.”
"Karena Opa gak mau libatin kalian. Opa juga yakin kalau rencana dia ada hubungannya sama kamu, sayang.” Opa tersenyum pada Lea. “Tapi Opa sama sekali gak ada maksud jadikan kamu umpan, Opa merasa tenang aja ninggalin kamu karena ada Al. Makanya sebelum pergi, Opa wanti-wanti titipin kamu ke Al. Dan sekali lagi, keyakinan Opa terbukti. Kalian malah jadi makin dekat dan kompak sekarang."Opa beralih memicing pada Al. "Biarpun Al hampir aja ninggalin kamu di hari pernikahan itu."
"Maaf, opa." Al tertunduk menyesal. "Waktu itu saya lupa dengan kata-kata terakhir Opa. Saya sempat gak ngerti maksud Opa jangan tinggalin Lea apa pun yang terjadi. Saya pikir pernikahan itu pengecualian karena berdasarkan wasiat Opa sendiri."
"Gak papa.” Opa kembali tersenyum. “Toh, akhirnya kamu tetap gak ninggalin cucu Ppa. Tadinya Opa sendiri yang mau keluar buat batalin pernikahan itu, tapi kamu datang lebih dulu. Opa udah yakin si, kamu pasti gak mungkin kecewain Opa."
Opa kemudian menatap ke arah Cinta dan Lea bergantian. "Lea, kamu bisa pulang duluan ke rumah sama Cinta, gak? Diantar Nando aja. Opa mau ngomong berdua sama Al."
Lea ikut menoleh ke arah Cinta yang masih asik bermain dengan Nando. "Tapi, Lea juga masih bingung deh, kenapa Cinta ada sama Opa?"
"Nanti Opa jelasin di rumah. Sekarang, Opa mau bicara berdua dulu dengan Al."
"Huuffhh... ya udah, aku tunggu di rumah." Lea menghampiri Opa dan mencium pipinya. "Dah, Opa!"
"Cuma Opa yang dicium?" Sebelum Lea beranjak ke sofa tempat Cinta dan Nando bermain, Opa menyeletuk dengan wajah jahil. Kontan Al dan Lea saling menatap dengan wajah kikuk.
"Apaan sih, Opa!" protes Lea. "Udah, ah!" Ia pun segera menyeret Cinta dan Nando keluar dari ruangan.
"Saya pamit, Opa," kata Nando sebelum keluar.
"Hati-hati, Nan," jawab Opa yang menahan tawa. Hingga ankhirnya benar-benar tertawa karena berhasil membuat cucunya tersipu dan salah tingkah. Juga pemuda di depannya tentu, yang sekarang tertunduk dengan muka merona.
Opa kembali serius menatap Al di depannya. Ia tahu banyak pertanyaan mengantri di kepala pemuda yang wajahnya sudah tidak merona lagi. "Kamu memang berhak atas 50% kekayaan Apa, Al."
Al mengangkat kepalanya dengan tatapan penuh tanya. "Tapi kenapa? Memangnya aku siapa? Apa bener Opa yang titipin aku ke panti? Jadi sebenarnya, orang tua aku siapa? Mereka sekarang di mana?" tanyanya tanpa jeda.
"Orang tua kamu adalah orang kepercayaan Opa, mereka juga sahabat putra tunggal Opa, Angga, papanya Princess. Bahkan, hubungan mereka jauh melebihi saudara. Waktu itu Opa masih belum sesukses sekarang, sampai usaha Opa berkembang pesat karena bantuan ayah kamu sebagai tangan kanan opa. Dia sangat berjasa dalam perkembangan bisnis-bisnis properti Opa. Tapi...," Opa menerawang dengan tatapan pilu, "kecelakaan itu...."
Opa kembali diam, terlalu berat untuk melanjutkannya. Dan perlahan, air matanya menggenang. "Waktu itu ayah kamu masih sangat muda, Al. Dia seusia dengan Angga."
"Maksud Opa apa? Al gak ngerti, orang tua Aku kenapa? Kecelakaan?" Al tidak sabar menunggu, hingga terus mendesak Opa yang sudah menangis.
"Orang tua kamu meninggal tepat di hari pernikahan orang tua Princess...." Dengan suara berat, Opa akhirnya melanjutkan.
"..." Al terhenyak. Ia tidak menyangka jika semuanya akan berhubungan seerat itu.
"Orang tua kamu bahagia dengan pernikahan Angga dengan mamanya Princess, Lea Mariana. Sayangnya, dia gak sempat datang ke acara pernikahan karena sebuah kecelakaan mobil." Opa menatap Al lekat. "Belakangan Opa sama Angga tau kalau itu bukan murni kecelakaan."
"Maksud Opa?" Sudut mata sudah disesaki air mata. "Ada yang celakain mereka?"
"Opa gak ngerti, kenapa orang baik justru harus selalu kalah dengan kelicikan orang jahat?" Opa bertanya pada dirinya sendiri. Bahkan, sekarang ia mempunyai musuh dalam perusahaannya sendiri yang menyamar sebagai teman. Itu juga sebabnya ia membuat rekayasa kematiannya agar bisa secepatnya menangkap orang jahat di sekitarnya, karena tidak ingin kejadian lama itu terulang kembali. "Ada orang yang merusak mobil itu, orang yang tidak suka dengan kesuksesan kita. Dan satu hal yang paling membuat Opa menyesal sampai sekarang adalah, mobil itu justru mobil Opa. Itu mobil Opa, harusnya Opa yang mati, Al!"
“…” Al tersentak dalam kebekuannya.
Tangisan Opa kembali tergambar jelas di kerutan wajahnya. "Mobil itu salah satu mobil iring-iringan pengantin, dan mereka pakai mobil itu. Kenapa harus mereka yang ada di dalam mobil itu? Opa... menyesal membiarkan mereka masuk ke dalam mobil itu-"
"Cukup, opa...," Al menyela dengan senyum samar, seolah sudah ikhlas. Ia memang terpukul, tapi tidak ingin menangisinya. "Al ngerti, dan ini bukan salah Opa. Dari dulu Al bahkan udah siapin diri buat kemungkinan terburuk tentang orang tua Al. Dan sekarang, gak ada alasan buat Al nyalahin Opa atau takdir yang udah ngambil mereka. Al ikhlas," lirihnya. "Setidaknya AL tahu, kalau orang tua Al itu orang baik. Mereka pasti udah tenang."
Opa semakin menangis karena kebesaran hati Al. "Sekali lagi Opa minta maaf. Seandainya Opa tahu, Opa gak akan biarin mereka pakai mobil itu," sesalnya. "Sekarang, waktunya kamu tahu semuanya, Al. Nama orang tua kamu Armand Suary dan Mila Anggika. Dan rumah di Sawarna yang Opa berikan untuk kamu, itu rumah peninggalan mereka. Rumah peristirahatan yang bahkan belum sempat mereka tinggali."
"..." Al masih terdiam, hanya sedikit tersenyum setelah mendengar nama itu. Dan akhirnya ia tahu, kenapa selalu merasa nyaman saat berada di rumah itu. Rumah itu jugalah yang sudah melindunginya dan Princess.
"Dan nama kamu sebenarnya bukan hanya AL, tapi… Abdylan Albion. Kamu pasti mau tahu kenapa Opa ninggalin kamu di panti cuma dengan nama AL, kan?"