Derry POV
“Roti tawar ada , Bang?” tanya gue sambil lihat-lihat roti yang dijual di gerobaknya.
“Wah… De, semua roti disini gak ada yang bisa ditawar,” celetuk tukang roti ini.
GDUUUBRAAKK! Rasanya gue dan Rendy ingin jatuh dari motor mendengar jawaban konyol tukang roti ini sambil memasang muka sok serius.
“Roti yang itu loh, Bang.” tunjuk Rendy ke arah roti yang kami maksud. “Harganya berapaan , Bang?” Rendy sedikit jengkel, karena memang kami sedang terburu-buru. Ini merupakan hari pertama kami masuk di kelas 3 SMA.
“12.000, Ntong!” sahut tukang roti itu sambil meledek kami. “Bercanda , Ntong! Gitu aja marah.”
Langsung saja gue berikan uang pas dan bergegas berangkat dengan Rendy yang dibonceng di belakang gue.
Sebelumnya gue memang sudah membuat janji dengan Rendy untuk pergi ke sekolah bareng, dan sebelum sampai di sekolah, kami berencana nongkrong dulu di Warung Bang Pian. Jadi kami harus berangkat lebih pagi lagi dari biasanya.
Hari ini gue tidak berangkat dengan Lisa, karena hari ini Lisa diantar oleh ayahnya.
***
“Bang, susu kental manis hangat rasa coklat dua, ya!” Gue berteriak sambil memarkir motor matic tua gue di tiang listrik dekat Warung Bang Pian. Sedangkan Rendy langsung berjalan mengambil posisi duduk dekat TV. Yah… walaupun hanya warung minuman sederhana, tapi di warung ini sudah disediakan tv, jadi enak untuk dijadikan tempat nongkrong. Apalagi banyaknya pohon rindang di sekitar warung ini, membuat suasana di warung ini sangat sejuk.
“Siap, Bos!” Bang pian mengangkat tangan bergaya hormat layaknya komandan upacara kepada kami.
Saat sarapan di Warung Bang Pian, gue jadi teringat pertama kali gue bertemu dengan Rendy. Rendy ini teman gue dari kelas 1 SMA, kulitnya lebih putih sedikit dari gue yang hitam pekat ini. Pertemuan gue dengan Rendy ini dimulai dari hari pertama OSPEK SMA Semangat Merah Putih. Gue dan Rendy masuk dalam 1 grup yaitu “Grup G”.
Di hari pertama masa orientasi, gue memilih tempat duduk di paling belakang. Gue duduk dengan seseorang berambut belah samping dan badan agak sedikit tegap. Tinggi badannya kira-kira 175 centi-an lah…sama seperti gue. Ya, dialah Rendy.
Rumahnya gak begitu jauh dari rumah gue, masih satu kelurahan-lah... Gak sampe beda negara atau sampai beda planet pokoknya. Yang membedakan hanya Rendy tinggal di perumahan kecil yang terawat sedangkan gue tinggal di perkampungan yang aspalnya , kalau kita meleng sedikit waktu jalan, sepatu kita bakal injak kotoran kambing.
Dihari kedua OSPEK, Gue mulai intens berbicara dengan Rendy. Cukup mengeluarkan keringat sekali memang, di hari kedua OSPEK saat itu. Semua siswa berbaris di lapangan menurut pembagian grupnya. Dan langsung saja masing-masing murid diperiksa kelengkapan barang bawaannya oleh para senior.
Tadinya hanya Rendy dari grup kami yang harusnya dihukum kedepan lapangan karena tidak lengkap barang bawaannya, ia lupa membawa buku biru berisi peraturan sekolah. Gue lihat dengan jelas muka Rendy sangat pucet waktu itu. Tak selang beberapa lama, gue pun menyusul karena tidak lengkap membawa barang yang disuruh oleh para senior.
Rendy sangat heran, karena sebelumnya gue bilang semua barang bawaan gue lengkap. “Lah… Kenapa loe dihukum?” Rendy menatap gue, mengernyitkan dahinya. “Kan tadi barang bawaan loe lengkap, Bro?”
Gue tersenyum menjawab keheranan Rendy, “Ya udah sih… gak usah ditanya gitu. Gue buang tadi buku biru gue,” Gue lihat Rendy kaget dengan wajah masih sangat heran ke gue. “Gue kan mau nemenin loe dihukum di depan, Ren. Sekalian gue juga mau olahraga. Paling disuruh lari, joget atau jongkok diri kan hukumannya, ” sambung gue.
Rendy mulai sedikit tenang karena dia tidak dihukum sendiran. Itu terlihat dari gesture Rendy yang hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya ke gue. Wajahnya pun terlihat sekali berubah menjadi tidak pucat lagi.
Semua siswa yang barang bawaannya tidak lengkap dikumpulkan di barisan berbeda. Barisan paling depan tepat di sebelah Grup B.
Fokus gue terpecah saat gue memandang wanita yang berdiri di barisan paling depan grup B. Bola mata yang membulat besar membuat kecantikannya begitu nyata saat wajah tepat menghadap gue. Dan saat wajahnya menghadap kesamping, sudut mancung hidungnya benar-benar menggoda perasaan gue. Rasanya ingin sekali jari gue ini menari-nari masuk dan membersihkan lubang hidungnya, mancung banget coyy… HAHAHAHA… Lucu banget sih lamunan gue siang ini. Gak rugi gue nemenin Rendy dihukum didepan. Jadi bisa liat bidadari kesasar kaya gini.
“Woi… Der, mikirin apa loe?” senggol Rendy memecah lamunan gue.
“Kagak… gue Cuma mikir…” berusaha berkelit biar gak ketahuan kalau gue lagi curi-curi pandang sama cewek.
“Mikir apaan?”
“Bagaimana kalau hukumannya disuruh jongkok diri. Nanti kita barengan ya, loe yang jongkok, gue yang diri. Terus kita hitung sampai berapa banyak yang senior mau. Hahaha…” celetuk asal-asalan gue yang masih berusaha berkelit dari curi-curi pandang tadi.
“Woi… kalian berdua, kesini!” tiba-tiba satu senior gendut layaknya badak memanggil kami berdua.
Entah kenapa kami dipisahkan hukumannya dari siswa lain yang tidak lengkap barang bawaannya, mungkin karena kami tadi ngobrol atau mungkin badak yang satu ini psikopat terhadap kami berdua saja. Tapi yang membuat gue seneng adalah posisi kami dihukum menjadi lebih dekat dengan grup B, yang mana itu artinya gue jadi semakit dekat dengan cewek yang mau gue korek lobang hidungnya tadi. Hehehe…
“Kalian berdua jongkok diri 30 kali, cepat!” suruh si badak senior itu.
Gue berdua saling lirik dengan Rendy dan tertawa kecil karena teringat rencana kita tadi.
“Siap, Dak! Ehhh… maksud saya, siap, Kak!” keceplosan gue.
Entah setan apa yang menghasut kami berdua untuk berani menjalankan rencana tadi. Rendy pun langsung jongkok dan terdiam. Begitupun dengan gue yang hanya berdiri saja. Kemudian kami berdua saling berhitung bersamaan. “Satu… dua… tiga…emp...”
Senior badak ini pun teriak untuk menghentikan tingkah kami “Woiii… ini junior otaknya pada digadai, ya?” tanyanya, sambil melotot. “Yang serius, ya! Jangan pada bercanda! Karena kalian tadi bercanda, hukuman kalian di tambah 100 kali jongkok diri. TAPI YANG BENER JONGKOK DIRINYA!” suruhnya.
Tawa grup B pun pecah melihat tingkah kekonyolan kami, tapi yang mencuri fokus gue adalah tawa manis dari gadis yang berdiri paling depan dari grup B tersebut.
“Buset… kasih hukumannya gak kira-kira,” gerutu Rendy pelan.
“Ngomong apa loe?” bentak senior yang secara tidak jelas mendengar Randy menggerutu. “Ayok cepat jongkok diri 100 kali.”
“Iya, Kak,” Gue dan Rendy langsung saja memulai jongkok diri.
Sesekali gue liat senior ini mencuri-curi pandang ke arah gadis yang gue taksir itu. Entah dia suka juga terhadap gadis itu atau dia sedang mencari peternak badak yang mau mengadopsinya. Tapi yang gue tahu sekarang, kenapa gue dan Rendy dihukum di depan grup B. Ini dikarenakan dia mau cari cula nya (sorry maksudnya cari muka) di depan cewek-cewek cantik yang ada di Grup B.
Setelah selesai mengerjakan hukuman tersebut. Gue mencoba mendekati gadis yang sedari tadi berdiri di depan Grup B. Rendy mengikuti gue dari belakang sambil membersihkan keringatnya dengan sapu tangan yang dia bawa. Semakin gue dekat dengan gadis itu, semakin jelas gue lihat kulitnya yang terawat, layaknya bintang film korea.
“Hai… kenalan dong, nama loe siapa?” sapa gue sambil senyum sok cool. “Gue Joe Taslim.”
“Preettt… Joe Taslim KW berapa?” ledek Rendy memotong perkenalan gue.
“Aelahhh…Rusuh amat sihh nih, Asbak Dukun,” celetuk gue ke Rendy.
Gue langsung melihat ke arah gadis itu yang tambah tertawa lebar karena mendengar celetukan-celetukan kami. “Kenalin nama gue Derry,” lanjut gue berkenalan dengan gadis itu. “Nama loe Siapa? Boleh kenalan?” tanya gue.
Belum sempat gadis itu menjawab, para senior sudah menyuruh mereka semua untuk masuk ke kelas masing-masing untuk melanjutkan sesi OSPEK berikutnya.
Sampai OSPEK berakhir, sangat sulit mencari waktu yang pas untuk berkenalan dengan gadis itu.
Bisa saja sebenarnya sebelum atau sepulang sekolah, gue menunggu dia dan mengajaknya berkenalan. Tapi menurut gue, tidak enak lah berkenalan sepulang OSPEK. Pastinya gadis itu ingin langsung pulang karena memang OSPEK ini sangat melelahkan.
***