Lisa POV
Datang kepagian itu agak gak enak ya. Gue duduk sendirian di barisan belakang kelas tiga pagi ini. Gue jadi termenung mengingat kejadian-kejadian dulu waktu gue kelas satu. Gue masih ingat 2 hari setelah kejadian perkelahian itu. Gue dan Hera kadang masih berbicang dengan mereka di chat group whatsapp kami, tapi tetap saja rasanya ada yang kurang.
Biasanya kita bercanda , belajar, dan ngobrol-ngobrol berempat. Saat itu hanya ada gue dan Hera saja di kelas. Rasanya benar-benar ada yang kurang.
Akhirnya waktu itu gue dan Hera memutuskan untuk menjenguk Derry dan Rendy sepulang sekolah. Namun setelah memberitahukan rencana tersebut kepada mereka berdua, mereka hanya berkata tidak perlu karena memang lukanya tidak parah, mereka tidak ingin merepotkan kita berdua untuk menjenguknya.
Gue yang benar-benar ingin melihat keadaan mereka saat itu, mencari alasan agar bisa bertemu dengan mereka. Tiba-tiba gue ingat bahwa kami berempat ada tugas kelompok yang harus di selesaikan dalam 3 hari ke depan. Gue menjadikan tugas di mata pelajaran Bahasa sebagai alasan untuk bertemu.
Gue dan Hera mengajak mereka untuk berkumpul di rumah Derry dan sekalian membahas tugas bahasa kami. Tapi dengan cepat Rendy membalas chat kami. “Jangan di rumah Derry, nanti kalian tersesat. Gang menuju rumah dia kayak labirin, rumit. Yang ada nanti kalian disana tersesat. Malah kita yang harus repot nyari kalian nanti. Mending kumpul di rumah gue aja, sebentar lagi gue share location, ya!”
“Sialan… loe Ren, tapi boleh juga lah kumpul di rumah loe. Sekalian gue main ke rumah loe juga,” balas Derry menjawab chat Rendy.
Saat itu kami pulang lebih cepat dari biasanya dikarenakan semua guru ada rapat untuk ujian kelas tiga di sekolah.
Sepulang sekolah, gue dan Hera berangkat dengan menggunakan 2 ojek online. 30 menit perjalanan menuju perumahan yang Rendy maksud, membuat sekujur tubuh kami berkeringat, cuaca saat itu memang benar-benar sedang panas sekali.
Waktu gue pertama kali ke rumah Rendy. Gue melihat deretan rumah yang tertata rapi di komplek perumahan tersebut. Keindahan komplek itu semakin terlihat dengan tanaman-tanaman yang tumbuh indah menghiasi jalanan perumahan tersebut. Rumah Rendy berada di pojok perumahan itu. Tidak terlalu besar rumahnya namun cukup terawatlah. Waktu itu gue melihat motor Derry sudah terparkir di depan pagar rumah Rendy, kami mendengar tawa dua orang tersebut dari luar rumah.
Hera langsung menekan bel di depan rumah Rendy untuk memanggil mereka keluar dan membuka pagar.
Rendy pun keluar membuka pagar dan menyuruh kami masuk ke dalam rumahnya. Gue melihat keadaan Derry dan Rendy memang benar sehat dan sepertinya tidak ada rasa sakit yang mereka alami.
Gue rasa rumah Rendy memang terlihat sepi, kalau kami bertiga tidak datang kesini. Menurut cerita Rendy selama ini, kedua orang tua Randy adalah seorang pegawai swasta yang sangat sibuk, sehingga jarang ada di rumah. Rendy lebih sering tinggal berdua berama pembantunya yang sudah lama tinggal bersama keluarga mereka.
Kami berkumpul di ruang tamu Rendy. Gue melihat beberapa foto yang dipajang di ruang tamunya. Ada foto keluarga mereka tergantung menghiasi dinding ruang tamu, dan ada beberapa lukisan sketsa wajah keluarga Rendy. Gue baru tahu bahwa lukisan sketsa itu di buat sendiri oleh Rendy ketika sedang bosan dirumah. Dari penjelasan Rendy , dulu ia suka membuat sketsa wajah orang-orang yang dia ingin gambar di dalam kamarnya, ketika sedang sendirian di rumah. Tidak begitu mahir sih… tapi akurasi kemiripan wajahnya gue rasa bisa dikatakan diatas 70%. Itu terlihat dari kemiripan wajah orang tua Rendy di sketsa dengan wajah yang ada di lukisan di sebelahnya.
“Itu semua memang sketsa wajah yang di buat oleh Rendy.” Derry menjelaskan dan memecah fokus gue dan Hera yang sedang melihat lukisan yang di buat Rendy. “Tapi jangan kalian pikir, lukisan kuda itu, sketsa wajah gue, ya!” Derry menunjuk lukisan kuda yang terpajang di ruang tengah rumah Rendy.
Celetukan Derry tadi benar-benar membuat kami semua tertawa.
Setelah lama kami berbincang tak tentu arah di dalam rumah Rendy. Kami berencana untuk menyelesaikan tugas kelompok kami dan mencari buku sastra bekas untuk tambahan referensi dalam mengerjakan tugas kelompok kami.
Kami memutuskan untuk pergi saat itu juga ke toko buku bekas di daerah Jakarta Pusat menggunakan motor. Gue dibonceng motor Derry, sedangkan Hera dibonceng naik motor Rendy.
Cukup lama kami mencari buku yang kami maksud, karena memang buku yang kami cari ini sudah sangat langka. Setelah kami menemukannya, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di tukang es kelapa di sebelah toko buku tempat kami membeli buku tersebut.
Tempat kami beristirahat ini ada di deretan paling luar dekat pasar buku Jakarta Pusat. Tepatnya sudah hampir dekat terminal bus.
Dari kejauhan gue melihat sepertinya ada orang yang gue kenal lagi dihadang 5 orang lainnya dari sekolah lain. “Eh… Der, itu kayanya anak sekolahan kita deh.” Sambil menyenggol lengan Derry dengan sikut gue, untuk menyuruh Derry fokus ke arah yang gue tunjuk.
“Itu kaya si… Black? Kenapa dia? mau dikeroyokin sekolah lain kayanya dia, ya?” jawab Rendy yang ternyata juga fokus terhadap arah yang gue tunjuk.
Langsung saja pandangan kami secara cepat berubah menjadi perkelahian satu lawan lima orang. Di mana setelah kami perjelas satu orang itu adalah benar Black.
Tiba-tiba Derry berlari ke arah Black dan diikuti oleh Randy di belakangnya. Derry menarik dari belakang, 2 orang yang memukul Black. Dengan cepat dia menghajar wajah kedua orang tersebut sampai terjatuh ketanah. Disusul Rendy yang menendang dari belakang punggung, satu dari antara 5 orang yang mengeroyok Black.
Black yang tinggal melawan 2 orang lagi, dengan mudah menghajar mereka berdua sampai mereka terjatuh ke tanah. Gue dan Hera tidak berani terlalu melihat perkelahian itu dekat-dekat, dari tempat kami berdiri tadi, kami terus berteriak minta tolong. tidak berapa lama kemudian, perkelahian mereka terhenti setelah warga dan para supir angkot melerai perkelahian mereka.
Lima orang itu di lepaskan oleh warga dan disuruh pergi. sedangkan Derry, Rendy dan Black hanya terdiam di kerumunan warga sambil melihat kelima orang itu pergi. Mungkin karena warga juga sudah tau bahwa Black yang dikeroyok, jadi permasalahan tadi tidak diperpanjang oleh warga.
Gue sebenarnya agak heran dengan Derry, kenapa dia mau membantu Black yang beberapa hari yang lalu berkelahi dengannya. Tapi pertanyaan di hati gue itu, tidak berani gue utarakan. karena memang situasi Derry saat itu sedang emosi dan ditambah dengan lelah karena membantu Black berkelahi.
Gue cukup kagum dengan Derry yang cepat memaafkan orang dan mau membantu Black yang sedang dikeroyok.
Mereka berjalan mendekat ke arah tempat gue dan Hera berdiri. “Ada masalah apa loe, Black sama mereka tadi?” Gue denger suara Rendy agak sedikit ngos-ngosan bertanya ke Black.
“Mereka mau balas dendam ke gue, karena kemarin gue bantu tawuran sekolah musuh mereka untuk melawan mereka,” Black memegangi bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah karena terpukul tadi.
“Tapi loe aman nih kalau balik sendiri?” tanya Derry yang khawatir Black akan dipukuli lagi di tengah jalan oleh kelompok tadi.
“Aman kok aman. Thanks ya,” Jawab Black sambil menepuk pundak Derry. “Loe, Derry dan Rendy yang kemarin berantem pas sore-sore sama gue, kan? Yang dilapangan futsal sekolahan?” sambungnya yang gue rasa udah mencari tahu nama Derry dan Rendy setelah berkelahi di lapangan kemarin. “Gue minta maaf ya, soal kemarin,” sambung Black sambil menjulurkan tangannya meminta maaf.
“Udahlah gak apa-apa. Gue juga minta maaf terlalu ngotot ngomongnya ke loe,” jawab Derry sambil tersenyum.
“Ya udah, kita mau cabut dulu ya udah mulai sore soalnya. Kita kan bawa anak orang, jadi gak boleh dibawa pulang malam-malam. Hehehe…” Langsung saja Rendy bersalaman dan sedikit menepuk bahu Black lalu pergi.
Pulang dari toko buku bekas tadi. Gue diantar Derry pulang sedangkan Hera pulang diantar oleh Rendy.
Di atas motor saat perjalanan menuju rumah susun gue, gue bertanya ke Derry, “Der, buat apa loe tadi bantuin si Black berantem? Kan kemarin dia udah mukul lo?”
“Lah… kan gue udah balas. Lagian buat apa sih lama-lama musuhan sama orang yang satu sekolah. Gue kan mau banyakin temen, bukan banyakin musuh. Jadi buat apa diperpanjang masalah gue sama Black , yang ada nantinya cuma menjadi dendam yang gak ada habisnya,” teriak Derry dibalik helmnya untuk menjawab pertanyaan gue.
Pembicaraan kami pun soal masalah tadi berganti dengan candaan Derry untuk membuat gue tertawa. Sambil gue pun menunjukan jalan ke arah rumah susun tempat tinggal gue.
***
Lisa POV
Cukup lelah juga sore itu, sepulang dari mencari buku bekas. Gue langsung masuk menuju lift untuk menghantarkan gue ke lantai 10. Tempat tinggal gue berada di ujung lorong lantai 10, tepatnya di nomor 20 blok E.
Gue membuka pintu rumah dan mendapati adik gue,Cika yang masih SMP kelas 1 dan ibu gue sedang mempersiapkan makan malam. Ibu memakai daster berukuran M dibalut dengan celemek merah dan rambut panjang terikat. Dia menggoreng ikan gurame di depan kompor, sedangkan Cika sedang membantu memasak nasi.