Pov Lisa
Gue ingat dua bulan lalu di acara pernikahan gue. Gue bersalaman dengan Hera dan Rendy. Tidak seperti Derry yang tidak datang sampai acara kelar. Hera dan Rendy datang meski tidak dalam waktu bersaman.
Gue rasa hanya gue satu-satunya pengantin yang kurang menikmati kegembiraan acara di hari pernikahannya. Bahkan beberapa minggu setelah hari pernikahan itu, gue masih harus membiasakan diri tinggal satu kamar dengan orang yang tidak gue cintai.
Tinggal bersama orang tua Rico tidak seburuk yang gue perkirakan. Dan karena gue sudah menjadi istri Rico, sekarang gue harus merubah panggilan ke orang tua Rico yang tadinya om dan tante menjadi mama dan papa, .
Selama gue tinggal bersama mereka, gue melihat kebiasaan belanja Mama Dewi dan Rico benar-benar sangat boros. Walaupun begitu, gue selalu diperhatikan oleh mereka. Kadang gue diajak untuk jalan-jalan, atau kadang saat gue menolak untuk ikut, mereka membawakan gue oleh-oleh dari luar.
Semua yang dijanjikan mereka kepada keluarga gue, semua dipenuhi setelah gue menikah dengan Rico. Dari mulai membiayai gue dan adik gue, sampai memberi tambahan modal kepada ayah, yang membuat bisnis ayah kembali berjalan.
Gue melepaskan selimut saat terbangun lebih dulu di minggu pagi, gue beranjak ke dapur untuk membantu bibi Ningsih mempersiapkan makan pagi untuk Rico dan yang lainnya. Bibi Ningsih ini merupakan wanita paruh baya yang menjadi asisten rumah tangga di rumah ini.
Gue memiliki kamar di tingkat dua rumah ini, gue menyusuri tangga untuk turun ke dapur sambil mengikat rambut gue yang tergerai.
Tante Dewi ternyata sudah terlebih dulu berada di dapur membantu bibi Ningsih. “Pagi Ma, Pagi Bi!” sapa gue ke mereka.
Mama Dewi dan Bibi Ningsih menoleh ke arah gue dan tersenyum, “Eh Lisa. Udah bangun?” sapa Mama Dewi balik.
“Iya Ma, tumben mama bangun pagi banget?” tanya gue. Gue mulai ke arah tempat cuci piring dan membersihkan peralatan masak yang mereka pakai.
“Iya nih. Lagi rajin aja,Lis… sesekali mau masakin kalian,” jawab Mama Dewi sambil tertawa kecil. Gue juga heran, jarang sekali Mama Dewi bangun pagi untuk memasak. biasanya dia bangun hanya untuk makan dan langsung berangkat membantu bisnis Papa Dani.
Gue melihat ayam goreng dan sup yang mereka buat sudah mulai mateng. Bibi Ningsih memindahkan Ayam goreng ke piring dan menyajikannya ke meja makan yang berada di ruangan berbeda dengan dapur tempat kami memasak.
Gue langsung mengambil mangkuk besar untuk menampung sup yang sudah matang. Sambil menyendokan sup ke mangkuk yang gue bawa, Mama Dewi berbicara ke gue, “Lis, kayanya sudah waktunya, deh… kalian untuk membicarakan soal punya momongan.”
Mendengar itu membuat gue terdiam sejenak, gue berpikir dan mengingat kembali perjanjian antar keluarga kami sebelum gue memutuskan untuk menikah.
Bukannya kita udah sepakat untuk menunggu gue lulus kuliah dulu, baru membicarakan soal momongan. “Aku kan belum kelar kuliah, Mah…” jawab gue untuk sedikit menyadarkan mama, berharap mama ingat dengan perjanjian kita sebelum menikah.
“Mama tahu, tapi mama rasa kalian udah siap loh…” jawab Mama Dewi sambil menatap ku. “Untuk urusan kuliah, kan kamu bisa cuti dulu! Bisa kan?” lanjut mama Dewi.
“Nanti aku pikir-pikir dulu, Ma.” Gue langsung memindahkan mangkok besar yang sudah berisi sop ke meja makan. Tanpa melanjutkan berkata-kata lagi, gue kembali ke kamar gue dan Rico.
Gue melihat Rico sedang terduduk sambil bermain HP di atas tempat tidur, saat gue membuka pintu. “Kamu udah bangun?” basa-basi gue sambil menutup pintu kamar dan berjalan mendekat ke arah Rico.
“Lis, aku mau ngomong serius sama kamu,” Rico menaruh HPnya dan menatap gue yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil mengecek HP gue. “Aku mau punya anak,” tegasnya singkat yang membuat gue semakin bingung.
Gue menaruh HP gue, dan menatap Rico dengan tajam. “Aku belum kelar kuliah,Co? Lagian kan kamu janji untuk nunggu aku lulus dulu baru memikirkan untuk punya anak.”
“Tapi coba kamu pikir deh… aku ini laki-laki normal, 2 bulan kita menikah masa aku tidak boleh menyentuh kamu?” nada Rico berbicara mendadak meninggi. “Aku sudah bertanggung jawab sama kamu, bahkan sampai keluarga kamu pun aku tanggung. Masa kamu masih gak yakin aku bisa bertanggung jawab sama kamu?”