My Rainy Season

Elara Murako
Chapter #1

Pertemuan pertama

Jodoh itu bisa ditemukan dimana saja, bahkan di dalam angkot. Namun karena tidak diberi label, kadang bisa tertukar.

***

"Geser!" suara bass itu terdengar begitu kasar. Rain yang 'diusir' terpaksa mengiyakan 'permintaan' laki-laki yang memiliki rambut coklat bermodel fringe itu. Ia mengenakan seragam bermodel sama dengan Rain, sepertinya mereka memang sekolah di SMA yang sama. Pantas saja nada bicaranya agak songong, dia pasti salah satu murid kaya di SMA itu. Namun mengapa laki-laki ini naik angkot?

Akhirnya Rain menggeser kedudukannya lebih jauh ke dalam angkot. Meskipun yakin laki-laki itu sudah ia berikan cukup ruang, Rain masih mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Dia tak bisa duduk tenang dan grasak-grusuk berusaha mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sikutnya sempat menyenggol lengan Rain dan sama sekali tak ada kata maaf terucap dari mulut layaknya orang yang sudah berbuat kesalahan.

"Mobilnya kenapa dek?" Pak sopir sedikit mengintip lewat spion tengah.

"Gak tahu, mati," jawabnya. Namun mata coklat itu sama sekali tak beralih pada lawan bicara. "Dia tak punya sopan santun," pikir Rain. Ketika bicara pada orang tua ada baiknya dia menatap mata orang tua tersebut dengan tatapan lembut, bukannya terpaku pada layar gadget dan menjawab dengan nada datar - malah lebih terdengar seperti tak niat menjawab.

Syukurlah pak sopir lebih pengertian dan memilih melanjutkan perjalanan. Bagi Pak Sopir yang sudah berusia puluhan tahun, pasti bukan sekali atau dua kali bertemu dengan anak-anak jaman now yang keracunan budaya angkuh akibat terlalu banyak berinteraksi di media sosial.

Tubuh laki-laki ini wangi, wangi lembut tak seperti kebanyakan parfum laki-laki lainnya. Aroma yang mendominasi tapi tidak menganggu hidung. Adrian Bailey Caerleon, nama itu tertulis di badge yang disematkan di dada kanan blazer hitamnya. Nama yang cocok dengan wajah putih bersinar dan licin bak guci keramik. Hidungnya mancung dan sedikit bulat dibagian puncaknya. Bahkan dari pinggir terlihat jelas hidungnya seperti Gunung Everest.

Rain memeluk tas coklat yang ia beli sebulan lalu. Sesekali ia berbalik untuk melihat pemandangan dari jendela dibelakangnya. Rambut hitam yang panjangnya sudah sesikut itu tertiup angin karena jendelanya sedikit terbuka. Beberapa helai rambutnya ternyata sempat menempel di wajah pria di sampingnya itu. Rain yang menyadarinya cepat-cepat mengikat rambut, tapi terlambat karena si pria sudah membuka kelopak mata besar-besar dan menunjukkan tanda merasa terganggu.

Lihat selengkapnya