Tahun ajaran baru. Hari ini tepat hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Ayah dan mama hari ini pulang lebih awal. Kami pergi makan malam untuk merayakan ulang tahunku di sebuah rumah makan mewah. Suatu hal yang istimewa, karena selama sepuluh tahun terakhir kami sudah tidak pernah lagi makan bersma. Ulang tahunku dan Lucy biasanya hanya diberikan hadiah yang kami inginkan, itu pun dititipkan asisten rumah tangga.
Aku masih lebih beruntung dari Lucy. Karena aku masih diberi kesempatan untuk merayakan ulang tahun bersama mama dan ayah, berwisata, dan bercanda dengan mereka hingga usiaku tujuh tahun. Hingga kejadian memilukan yang membuat mama menangis dan berteriak murka untuk pertama kalinya itu terjadi. Saat itu usia Lucy baru empat tahun. Dan sejak saat itulah dia, juga aku, kehilangan kasih sayang mama dan ayah. Mama melempar seluruh tanggung jawab perawatanku dan Lucy kepada bi Marni, sementara dia sendiri sibuk dengan bisnisnya di luar rumah.
Sudah sepuluh tahun suasana rumah berubah menjadi sangat dingin. Tidak ada obrolan menarik, tidak ada bincang-bincang, canda, tawa, atau pun sekedar senyuman. Kami tumbuh seperti di dalam lemari pendingin. Tidak mengenal cinta, tidak mengenal kasih sayang, tidak mendapatkan perhatian selayaknya anak-anak yang hidup satu atap dengan kedua orang tuanya. Setiap hari mama dan ayah pulang hanya untuk menumpang tidur dan mandi.
Terkadang aku merasa iri kepada teman-teman yang orang tuanya begitu peduli. Datang ke sekolah untuk mengambil rapor atau sekedar rapat wali murid. Aku dan Lucy, mana ada. Jangankan untuk datang ke sekolah. Bertemu mereka di rumah saja seperti melihat kelebat hantu. Ayah selalu sibuk dengan urusan kantornya, mama sibuk dengan bisnis butiknya. Sementara kami berdua, melambai pada bi Marni dan mang Ujang setiap berangkat ke sekolah.
Tetapi aku sudah terbiasa dengan hal itu. Aku bahkan lebih menyayangi bi Marni dan mang Ujang dari pada Ayah dan Mama. Aku masih menghormati ayah dan mama sebagai orang tuaku hanya karena bi Marni dan mang Ujang yang selalu mengingatkanku untuk itu.
Pagi ini, suasana telah kembali seperti biasa. Ayah menengok ruang makan sambil melambai, kemudian segera berlari ke garasi. Dua menit berikutnya mama masuk ruang makan dengan tergesa-gesa, memberi kecupan sekilas padaku dan Lucy sebelum berlari ke garasi juga. Kecupan mama hanya seperti lalat yang menempel di kening. Aku dan Lucy bahkan tidak menoleh untuk mengucapkan selamat jalan.
Mang Ujang telah siap saat kami berjalan ke garasi. Bi Marni memberikan Lucy kecupan dan pelukan sayang, begitu juga padaku.
"Sekolah yang pinter ya Mas, Non. Mas Al jangan nakal. Bibi malu kalo dipanggil ke sekolah lagi," pesan bi Marni kepada kami.
"Hati-hati di jalan nyetirnya, Pak," lanjutnya, kepada suaminya.
Mang Ujang memang suami bi Marni. Mereka dipekerjakan dari desa untuk merawat rumah dan terutama mengawasi aku dan Lucy.
Senin. Aku memasuki gerbang sekolah dengan tenang. Bel masih lama berbunyi. Para gadis-gadis perayu berjajar di tepi lorong, saling bergerombol dengan kelompoknya masing-masing -seperti setiap pagi- menungguku lewat.
Aku memasang tampang angkuh yang menjadi ciri khasku. Mengangkat alis dengan gaya sok cool saat salah satu dari mereka menyapa.
"Hi Al. Sudah sarapan? Aku membawa roti sandwich." Sasha. Gadis paling genit di sekolah. Dia selalu menyambutku dengan makanan setiap pagi. Dia juga lah yang hari sabtu kemarin menyambutku dengan kue tart selebar bangku sekolah saat aku melewati kelasnya pagi-pagi sekali.
Aku memasang senyum miring ajaibku. Itu mampu membuatnya menyerahkan segalanya yang dia miliki kepadaku, tapi sayang aku tidak pernah tertarik. Tidak ada yang istimewa darinya di mataku selain wajah glowing yang sudah pasti tidak alami.
"Tunggu di sini," teriaknya melengking, sebelum berlari memasuki kelasnya. Dalam beberapa detik dia telah kembali dengan kotak makan berwarna pink di tangannya.
Aku menerima kotak yang dia sodorkan.
"Tapi aku tidak ingin makan disini dengan diawasi ribuan gadis yang terpesona padaku. Boleh aku bawa ke kelas?" tanyaku berbisik, sengaja bicara sangat dekat di telinganya. Dia membelalak, matanya berkedip-kedip genit sambil mengangguk. Padahal hampir setiap pagi aku melakukan hal itu, tapi tetap saja dia masih belum terbiasa dengan pesonaku.
"Tentu. Kau boleh membawanya," suaranya terengah-engah saking senangnya. Aku yakin sebentar lagi tulang-tulang rusuknya akan patah akibat gedoran jantungnya yang menggila.
"Terima kasih, Cantik." Aku menarik dagunya lembut, menatapnya dengan tatapan mendominasi, kemudian meneruskan berjalan ke kelas. Bisa kurasakan teman-temanannya segera merubungnya di belakangku. Mungkin dia pingsan.
Aku masuk kelas dengan kotak makan warna pink bergambar prinscess di tangan. Itu membuat Abe dan Anton tertawa keras sambil memukul-mukul meja.
"Jadi, pangeran es kita sekarang membawa kotak bekal berwarna pink?" teriak Abe senang, walaupun dia tahu kotak makan itu sudah pasti bukan milikku. Aku menarik sudut bibirku 0,001 inch ke samping sambil menyerahkan kotak di tanganku padanya. Dia membukanya dan anak-anak di seluruh kelas langsung mendekat seperti lalat yang mencium bau bangkai.
Aku tidak pernah menyentuh makanan-makanan pemberian mereka. Aku takut salah satunya dibubuhi ramuan cinta paling mujarab yang berhasil mereka beli dari toko online milik Fred dan George*). Kali saja kedua kembar asal dunia sihir itu kini telah berhasil merambah dunia bisnis online. Ha! Sama seperti mama yang telah mengudara dengan bisnis butiknya yang dijual secara online.
"Terima kasih, Boy. Besok lagi." Anton mengembalikan kotak makan pink ke mejaku. Aku hanya meliriknya sekilas.
Bel berbunyi. Bu Ranti, guru kelas kami, masuk dalam waktu kurang dari lima menit.
"Apa pak Anwar ijin hari ini?" tanya Abe di depanku. Aku mengangkat pundak, menatap lurus ke depan kelas.
"Saya sudah meminta pada pak Anwar untuk bisa menyita sedikit waktunya pagi ini." Bu Ranti mulai bicara di depan kelas. "Saya di sini membawa sesuatu untuk kalian. Yang pertama, untuk Alex. Tolong temui saya di kantor setelah ini." Aku mengangguk sekali, kemudian menyandarkan tubuh ke belakang, menjungkit kursiku sampai menempel tembok. Di panggil ke ruang guru adalah hal biasa bagiku. Bukan sesuatu yang pertu ditanggapi dengan serius.
Bu Ranti mendesah pelan sebelum melanjutkan. "Dan yang ke dua. Saya membawa seseorang untuk kalian."
Dia menepukkan tangannya dua kali dan dari pintu kelas berjalan masuk seorang gadis berpenampilan seperti anak-anak pada umumnya, di balik seragam putih abu-abunya. Anak baru itu berdiri di sisi bu Ranti, tersenyum canggung. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bulat sempurna dengan sorot mata tegang, memandang ke seluruh kelas.