Aku berjalan sendirian menyusuri koridor. Bayangan Nana yang berjalan di antara lalat-lalat hijau membuatku semakin muak. Nana bukan bangkai busuk. Tidak seharusnya dia berjalan diantara lalat-lalat penggerutu itu. Nana seharusnya berjalan di sampingku. Bukankah bunga mawar lebih pantas dihinggapi lebah jantan, bukannya lalat hijau.
Aku menggeleng keras, menepis pikiran bodoh di kepalaku. Sial! Kenapa aku harus marah kalau dia dikerumuni lalat hijau. Dia hanya sampah busuk yang tidak layak untuk menjadi pesaingku. Wajar saja dia dikerubuti lalat, karena selama ini sekolah ini belum pernah kedatangan sampah seperti dia.
Aku melepas baju seragamku, meninggalkan kaus ketat basah di baliknya. Aku berjalan tenang di sepanjang koridor, memancarkan aura dingin yang mendominasi.
"Tiba-tiba terasa dingin sekali." Seseorang berceloteh.
"Tentu saja. Sebongkah gunung es lewat." Seseorang lainnya menimpali, tanpa perlu repot-repot memelankan suaranya.
Aku tertawa sinis dalam hati. Mereka yang terlalu kecewa karena tidak mampu meraihku, memang berusaha menarik simpatiku dengan komentar-komentar pedas. Tapi mana aku peduli.
Aku memasuki kelas, menatap Anton dan Abe di tempat duduknya. Bayangan mereka mengekori Nana paling depan di lapangan basket tadi, seketika terbentuk di dalam ingatanku. Aku berjalan lurus menuju mejaku, meraih tas di atas meja dan berbalik keluar.
"Hey, mau kemana kau?" Anton berdiri, menahanku.
"Bukan urusanmu," jawabku datar sambil melewatinya.
"Eits.. Eits.. Tunggu dulu." Dia masih berusaha menahanku.
"Minggir... Peng***at!" Kata terakhirku tertahan di dalam pikiran. Kemudian aku mendorongnya dengan kasar dan pergi dari hadapannya.
"Al!" Abe mengejarku, meneriakiku dari pintu kelas. Aku terus berjalan, pura-pura tuli lebih baik.
"Alex?"
Mataku menatap sepatu kets hitam, sebelum menemukan wajah pemilik suara.
"Mau kemana kamu?" Dia bertanya lagi. Suaranya begitu tenang dan lembut.
Aku sedikit mendongak dan tatapanku jatuh pada mata hitam pekat dengan sorot mata dalam yang balas menatapku dengan bertanya-tanya.
"Bukan urusanmu," jawabku datar dan berusaha melewatinya.
"Tentu saja urusanku." Dia menghalangi langkahku. Aku menatapnya dingin.
"Setelah jam istirahat pelajaran biologi dan kita akan melakukan penelitian kelompok. Kalau kau pergi, aku akan sendiri," katanya. Suara tenangnya berubah keras kepala.
"Bukan urusanku," balasku dingin.
"Enak saja. Tentu saja urusanmu! Nilai kita akan di bagi dua, jadi aku tidak sudi bekerja gratis untuk nilai-nilaimu," katanya ketus dengan tangan berkacak pinggang di depanku.
Aku memejamkan mata, berusaha agar tidak menamparnya. "Ambil saja semua untukmu. Aku tidak peduli." Gigiku mengatup rapat.
"Kau ini sebenarnya terbuat dari apa sih!" Nana mengentakkan kaki, menjatuhkan kedua tangannya dengan kasar, menatapku jengkel.
Apa aku masih marah padanya? Tentu saja. Tapi entah, melihat wajahnya yang cemberut sambil mengentakkan kaki, membuatku ingin tersenyum. Dia mengingatkanku pada Lucy ku yang manja.
"Sana kembali ke kelas!" Dia memerintah galak. Aku menatapnya dan entah mengapa amarahku tiba-tiba lenyap. Dia begitu menggemaskan. Kelakuannya mirip sekali pada Lucy.
Nana memelotot. Kedua tangannya mendorong perutku yang rata. Alih-alih meninggalkannya, aku mengikuti permainannya. Aku mundur perlahan walau tahu usaha kerasnya tidak cukup kuat untukku. Seharusnya aku bisa mengibaskannya hanya dengan satu jari, tetapi aku tidak melakukannya.
Tepat di pintu kelas, Nana memaksa membalik tubuhku dan mendorong pinggangku menuju meja kami yang berada di baris paling belakang. Aku meliriknya dari balik bahu, dia terus berusaha mendorongku sambil menunduk, seolah sedang mendorong balok kayu puluhan ton. Aku ingin tertawa, tetapi aku sadar banyak mata yang sedang menatapku sekarang. Jadi susah payah aku mempertahankan pesona gunung es ku agar tidak merusak citra diginku.
Tiba di kursiku, dia membalik badanku dengan kasar agar menghadapnya.
"Sekarang duduk!" Dia terengah-engah sambil berkacak pinggang di depanku. Aku bergeming.
"Duduk!" Dia memerintah, seperti seorang ibu yang memerintah anaknya.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa dan tetap berwajah datar, sebelum menurutinya untuk duduk.
"Bagus. Jangan kemana-mana," katanya.
Dia berjalan memutari meja untuk duduk di kursinya. Aku mengikutinya.
"Oh Tuhan! Kau ini tembok atau manusia sih. Sana duduk di tempatmu!" teriaknya, berbalik menatapku.
Aku berdiri, diam tidak bereaksi. Dia memukul keningnya dengan frustasi.
"Kembali ke tempatmu. Cepaaaat...!" Dia mengentak-entakkan kaki seperti anak kecil dan aku tidak bisa mempertahankan sikap dinginku lagi.
"Kenapa kau tertawa?" Dia kembali berkacak pinggang, matanya menyipit galak.
"Aku hanya mau ke kamar mandi. Tubuhku basah keringat." Aku menaikkan lenganku, membuka ketiak di balik kaus ketatku dan mendekatkannya ke wajahnya. Dia mengelak dan mengibaskan tangannya, masih menatapku curiga.
"Ayo ikut kalau kau tak parcaya." Itu bukan pertanyaan, jadi aku tidak butuh persetujuan. Aku mengalungkan lengan kekarku ke lehernya, menariknya bersamaku keluar kelas. Dia menghentak-hentakkan kaki, berusaha melepaskan diri. Tetapi aku jauh lebih kuat. Aku membawanya bersamaku di sepanjang koridor menuju kamar mandi, tidak peduli meski dia meronta marah dan kakinya kesulitan mengimbangi langkah besarku.
Nana memukuliku di sepanjang jalan dengan di awasi banyak mata dan bibir-bibir cemberut. Tetapi entah kenapa aku menikmati pemandangan itu dan semakin tidak ingin melepasnya.
"Alex! Lepaskan," teriaknya tertahan. "Kau ini kasar sekali. Leherku sakit, bo*oh!"
"Kau takut aku kabur kan. Kalau begitu tunggui aku di kamar mandi," kataku. Aku sedikit mengendurkan lenganku di lehernya karena dia terdengar seperti hampir menagis.
"Gila! Pergi saja sana, aku tak peduli." Dia mendorongku kuat-kuat.
Aku melepaskannya. "Yakin?" tanyaku. Aku menunduk mensejajarkan wajah kami.
"Terserah!" jawabnya sebal sambil memelotot lebar, lalu berbalik kasar dan melangkah pergi.
Aku menatap punggungnya menjauh. Langkah kakinya benar-benar menunjukkan kejengkelannya. Jauh sekali dari kata anggun. Dia benar-benar menarik. Di saat Sasha dan gadis-gadis bodoh lainnya bersedia memberikan apapun miliknya hanya untuk bisa berada di lingkaran lenganku, dan akan melakuan apa pun agar dirinya terlihat cantik dan dewasa di mataku, Nana justru kebalikannya. Dia memang berbeda. Dia bukan gadis-gadis yang selama ini kutemui. Sungguh sebuah kesalahan jika selama satu minggu ini aku telah mengabaikannya.
Aku kembali ke kelas, sudah rapi dan wangi dengan seragamku. Kelas kosong, yang lain sudah pergi ke laboratorium.
Aku masuk hampir bersamaan dengan pak Bowo memasuki kelas. Aku meraih jas laborat, mengenakannya dan berjalan ke meja yang sudah ditempati Nana. Nana melirikku sekilas, masih terlihat jengkel. Aku sengaja menabrak lengannya saat menggeser kursiku. Dia berdecak keras.
Pak Bowo tidak pernah berbasa-basi. Beliau langsung membagikan mikroskop. Hari ini kami akan meneliti jaringan hewan. Di depan Nana sudah ada toples kaca berisi katak-katak kecil yang masih hidup.