My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #4

Mentari Pagi

Pagi ini aku membolos sekolah. Aku sedang malas bertemu bu Ranti di kelas. Melihatnya& selalu membuatku teringat pada beban tanggung jawab konyol yang harus kuikuti.

Usai mengantar Lucy, aku tidak memutar ke sekolah melainkan pergi ke basecamp.

Aku merebahkan diri di sofa kumal di sudut ruangan sambil bermain game di ponsel.

Cling. Ponselku berbunyi saat aku sibuk bertempur dengan kerajaan lawan.

[Kemana kau? Membolos? Nana....]

Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Anton di bendera notifikasi. Kenapa ada nama Nana di sana. Tanganku reflek menekan pesan dari Anton, mengabaikan kerajaanku yang tinggal satu serangan lagi mendapatkan kemenangan.

[Kemana kau? Membolos? Nana menanyakanmu.] Anton.

Aku membeku menatap ponselku. Aku tidak akan terkejut jika Anton atau Abe yang mencariku. Tetapi Nana. Untuk apa Nana menanyakanku.

[Aku di basecamp. Kenapa Dia mencariku?]

Send.

[Entahlah. Dia hanya menanyakanmu dan menggerutu soal sahabat macam apa yang membiarkan sahabatnya membolos sekolah. Sialan!] 

Pesan balasan masuk dalam satu menit. Aku mendengus, menyesal membacanya. Ternyata Nana hanya sekedar menanyakan ketidak hadiranku. Bukan karena dia benar-benar mencariku atau lebih-lebih, merindukanku.

Aku merasa marah dengan diriku sendiri yang membiarkan pikiranku terikat pada seorang perempuan dan menghalangi kebebasanku. Aku memukul sandaran sofa keras-keras. Semakin merutuki kebodohanku saat kembali ke game ku dan menemukan kerajaanku telah diserang dan pasukanku habis.

Anton dan Abe muncul tengah hari. Aku yakin mereka kabur saat jam istirahat kedua.

"Nana menggerutu sepanjang hari." Abe melempar tubuhnya ke sofa di sebelahku.

"Kenapa tidak kau sumpal saja dengan kaus kakimu?"

"Ha! Dia sangat cerewet."

Aku melirik Abe sekilas. Nana... Cerewet. Selama ini ku pikir Nana gadis yang sangat pendiam. Hari-harinya hanya menunduk di bangkunya membaca novel yang berganti judul tiap tiga hari sekali. Jadi sejak kapan Nana berubah menjadi anak yang cerewet.

"Aku mau beli brownies. Ikut?" tanyaku, meraih jaket di ujung sofa.

"Ke tempat Nana?" tanya Anton.

Aku mengangguk.

"Nana belum pulang. Masih baru jam istirahat ini."

Aku tersadar, tapi kepalang malu mau bilang tidak jadi. Jangan sampai cecunguk-cecunguk ini tahu aku hanya mencari-cari alasan untuk menemui Nana di tokonya. Bisa runyam keadaan.

"Aku mau beli brownis. Bukan mencari Nana!" sewotku.

"Oh..." Anton menjawab santai, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya yang tak bisa dia sembunyikan.

"Apa maksudmu?" Aku tersulut.

"Tidak ada. Kalau kau memang mau beli brownis, silahkan saja. Tapi kalau pingin ketemu Nana..." Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Tunggu sebentar lagi."

Aku menatap datar, kemudian berbalik pergi.

"Begitu saja terus. Aku tidak picik!" teriak Anton dari dalam yang disambut gelegar tawa Abe. Sialan! Mereka berdua benar-benar peka.

Aku tidak pergi membeli brownies seperti yang ku katakan pada kedua cecunguk sialan itu. Sebagai gantinya aku duduk di halte dekat toko kue Nana sambil bermain ponsel. Dua jam berlalu, aku melihat angkutan umum berhenti di depan toko Nana dan gadis itu melompat turun. Usai membayar dia melenggang santai masuk ke dalam toko.

Aku beranjak dari tempatku, meluncur ke toko kue Nana. Aku memasang topi basebakk hingga menutup sebagian wajahku dan masuk.

Aku memesan secangkir latte dan beberapa camilan di meja counter. Nana tak terlihat. Hanya wanita sekitar 30an tahun yang melayaniku di balik counter. Sepertinya itu pegawainya. Tidak mungkin ibu Nana masih semuda ini.

Aku duduk di sudut yang sedikit tersembunyi oleh tanaman hias, tetapi bisa mendapatkan pandangan langsung ke arah pintu hubung. Aku bermain hp di sana, sambil menunggu Nana muncul.

Hingga matahari mendekati garis bumi, Nana sama sekali tidak muncul. Aku menghela nafas panjang. Aku tidak tahu apa aku cukup gila untuk bisa menjadi penguntit seperti ini, tapi yang jelas aku benar-benar penasaran dengan kegiatan Nana di luar sekolah. Tetapi gadis itu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.

Menjelang magrib aku baru masuk rumah. Lucy menyambutku dengan menggerutu.

"Kemana saja kau. Kau tidak sekolah kan?" Semburnya.

"Apakah itu baru terjadi hari ini?" tanyaku dengan nada acuh.

"Tidak sih." Dia mencebik.

Aku membuka tas, menyerahkan sekotak brownies kesukaan Lucy. Baru melihat kantong plastiknya saja Lucy sudah berteriak girang. Aku meninggalkannya yang sibuk membuka kotak brownis sambil berjalan ke meja makan.

Aku masuk kamar. Melepas bajuku. Melemparkannya ke keranjang cucian di pojokan dan melempar tubuhku ke atas kasur. Ternyata tidak semudah yang ku bayangkan mengekori seorang Nana. Apa kira-kira yang dia lakukan di dalam toko selama itu. Apa dia bersama ibunya. Dia dan ibunya bahkan tidak muncul barang satu detik pun untuk melihat keadaan tokonya.

Ponselku kembali bergetar-getar di pantat. Aku meraihnya dan membuka pesannya.

[Kemana saja kau? Membolos? Memalukan!] 

[Kau kan bukan anak SD. Sudah waktunya kau memiliki rasa tanggung jawab.] 

[Kalau untuk sekolah saja kau tidak memiliki tanggung jawab, bagaimana dengan hidupmu kelak.] 

[Mulailah berpikir soal tanggung jawab karena kau tidak selamanya bisa bergantung pada orang tuamu.]

Pesannya cukup panjang. Aku melihat sudut atas namun menemukan nomor asing berderet di kepala pesan. Ada fotonya, tetapi foto kumbang dan bunga. Aku mengabaikannya.

Tiga menit kemudian.

[Kenapa tidak di balas.] 

[Di baca saja. Kau pikir ini koran.]

[Menyebalkan!]

Siapa yang mengirim pesan ini. Dia yang menyebalkan kenapa mengataiku menyebalkan.

[Siapa ini!] Bentakku membalas pesannya.

[Nana!] Dia membalas singkat.

Aku membelalak menatap pesan terakhir. Nana. Aku menggulung layar ke bawah, membaca ulang pesan yang dia kirimkan dari awal.

Aku mengetik balasan untuk Nana. Aku ingin membalas cepat tapi aku bingung harus menulis apa. Berkali-kali aku hapus dan aku ketik lagi. Takut aku salah berbicara dan membuatnya marah. Aku ingin memancingnya untuk terus berbicara, tetapi harus tetap mempertahankan sikap cuekku. Aku tidak ingin Nana tahu aku tertarik padanya. Itu akan menurunkan performaku.

Akhirnya aku hanya mengirim tiga baris pesan.

[Oh, kau Na.] 

[Dari mana kau mendapat nomorku?] 

Send.

[Ck! Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus muncul di kelas besok. Bye!]

Wow... Berani sekali dia. Memangnya dia pikir dia bisa mengatur-atur hidupku seenaknya.

[Aku ada perlu, tuan putri yang cerewet.]

[Aku mungkin tidak akan muncul sampai beberapa hari ke depan hingga urusanku kelar.]  

Send.

[Urusan apa yang lebih penting dari sekolah buat anak sekolah sepertimu?] 

Aku tersenyum. Kenapa. Kenapa rasa ingin tahu Nana tidak menggangguku. Bukankah itu seharusnya mengganggu privasiku. Bukankah biasanya aku tak pernah membalas chat-chat tak berguna seperti ini.

[Putri cantik yang galak. Setiap orang pasti memiliki urusannya masing-masing. Dan ku tanya kau, kenapa kau begitu peduli padaku. Apa kau merindukanku?]  

Send.

[Aku tidak tahu kenapa aku mau repot-tepot peduli padamu. Tapi merindukanmu? Ck! Jangan mimpi...] emot muntah.

Aku tertawa.

[Aku berterima kasih padamu karena kau peduli padaku.] 

Lihat selengkapnya