"Alexandro."
Aku mendongak menatap ke depan kelas.
"Tolong jelaskan tentang teori atom."
Kalau biasanya aku paling malas di minta menjelaskan, kali ini aku berdiri dengan percaya diri.
"Pada masa 400SM atom dianggap partikel atau bagian terkecil dari materi. Meski pada 350SM Aristoteles telah berpendapat bahwa materi dapat dibagi secara terus menerus. Pendapat Aristoteles baru dapat di buktikan pada tahun 1897 dimana sub atom pertama ditemukan oleh JJ. Thomson dan diberi nama elektron. Pada tahun 1911 seorang fiksiawan inggris menemukan bahwa setiap atom memiliki inti proton padat yang bermuatan positif. Tahun 1932 neutron baru ditemukan oleh James Chadwick. Berdasarkan penemuan-penemuan terbaru itu, maka muncul teori atom modern yaitu bahwa atom terdiri atas proton dan neuteon, serta dikelilingi oleh elektron yang mengitarinya. Dan menurut perkembangan ilmu terbaru pada tahun 1964 ditemukan bahwa proton terususun atas quark dan anti quark yang dapat dibuktikan pertama kali pada tahun 1967. Quark pertama yang bermuatan positif. Quark sendiri tersusun atas materi terkecil yang berhasil diidentifikasi saat ini yang disebut God parlicle atau disebut juga higgs boson."
Pak Bambang tertegun di depan kelas, sama seperti anak-anak lain yang menatapku melongo. Tentu saja. Karena penjelasan tentang atom di buku paket SMA hanya lima baris. Tapi karena aku mendapatkan dari banyak sumber termasuk ensiklopedia, aku jadi tahu sedikit lebih banyak dari mereka.
Tanpa menunggu respon pak Bambang, aku duduk.
"Oke... Oke. Penjelasan yang sangat bagus, Alex." Pak Bambang tersadar dan segera bereaksi. "Aku tidak pernah mengerti bagaiman cara orang tuamu mengajarkan semua itu, tetapi aku akui penjelasanmu jauh lebih lengkap dari isi otakku."
Aku mengangguk sopan, tersenyum. Pak Bambang adalah satu-satunya guru di sekolah ini yang selalu tanpa ragu mengakui kekurangannya di depan murid-murid. Itu kenapa aku selalu lebih hormat padanya dari pada guru-guru lain.
"Alex..." Aku menoleh, selagi pak Bambang mengatur video proyektor di depan kelas.
Nana tersenyum. Manis. Manis sekali. Matanya menatapku dengan binar penuh kekaguman, dan itu membuat isi perutku jungkir balik seolah semua makananku mendarat di atas trampolin dan langsung di lontarkan kembalu, terus dan terus.
Aku menelan ludah. "Ada apa?" tanyaku dengan tampang cool yang masih bertahan meski rasnya aku sudah hampir muntah.
Nana menggeleng, tersenyum lebih manis dan kedua pipinya merona merah.
"Baik. Perhatikan anak-anak. Inilah yang disebut proton, neutron dan elektron oleh Alex." Suara pak Bambang mengembalikan konsentrasi Nana ke depan kelas.
"Proton di sini diketahui bermuatan positif. Sedangkan neutron bermuatan netral atau tidak bermuatan. Jadi, karena atom tersusun atas proton-proton yang positif sementara neutron yang menyusunnya netral, lalu apakah itu berarti atom selalu bermuatan positif?"
Beberapa kepala mengangguk, sebagian kecil menggeleng. Sisanya diam, bengong.
"Ada yang bisa menjelaskan apakah atom selalu bermuatan positif?"
Aku melihat Nana mengangkat tangan.
"Ya?" Pak Bambang mengangguk pada Nana.
"Tidak, Pak. Karena proton dan neutron dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif. Sementara jumlah proton dan elektron pada setiap atom selalu berjumlah sama. Itu membuat Atom menjadi netral."
Pak Bambang mengangguk-angguk puas. "Ya. Terima kasih, Diana. Itu benar. Jadi, sebuah atom terdiri atas neutron yang tidak bermuatan, proton yang bermuatan positif dengan jumlah yang sama dengan elektron yang bermuatan negatif yang mengelilinginya. Seperti yang sudah di jelaskan oleh Diana, itu membuat sebuah atom menjadi netral." Beliau menunjuk layar proyektor yang menampilkan gambar bulatan-bulatan berwarna-warni dengan tanda plus minus yang beterbangan pelan.
"Kenapa tidak ada yang mencatat? Apa semua sudah begitu yakin mampu mengingat pelajaran tanpa diulang, seperti Alexandro?" tanya pak Bambang, menatap sekeliling kelas.
Semua kepala seketika menunduk, termasuk Nana yang memang sudah menunduk bahkan sebelum pak Bambang mengingatkan.
Aku tidak mencatat. Aku memang tidak pernah mencatat di sekolah. Buat apa, toh aku tidak akan pernah membaca ulang catatanku. Aku lebih senang menemukan jawaban keingintahuanku di ensiklopedia dari pada di buku catatan.
Aku melipat lengan di atas meja, menaruh daguku bertumpu di sana, menatap ke arah Nana. Aku mengamati wajahnya yang serius mencatat, jari-jarinya yang menggenggam pena bergerak cepat di atas kertas.
Nana melirikku, gerakannya terhenti.
"Apa?!" tanyanya galak.
Aku mengangkat sebelah alis, bergeming.
Nana meraih buku paket dengan tangan kirinya, membukanya di sembarang halaman lalu menutup wajahku dengan bukunya.
Aku tertawa kecil, masih di balik buku yang menutup wajahku.
Aku membuka buku, kembali menatapnya. Masih menahan sisa tawa di sudut bibirku.