Dua hari tidak bertemu Nana, hari-hariku terasa hambar. Tiba-tiba saja, aku merasa sangat benci pada kalender berwarna merah, apalagi yang menempel dua hari. Rasanya sangat menyebalan.
Sudah sejak kemarin aku membolak-balik ponsel, berharap Nana menelpon atau mengirim pesan. Tetapi tidak ada. Berkali-kali aku membuka chatnya, bermaksud mengirim pesan, tapi aku tidak tahu apa yang harus ku obrolkan. Bagaimanapun, aku dan Nana tidak terlalu dekat hingga bisa di bilang wajar untuk mengiriminya pesan dan mengajaknya nongkrong. Sedangkan mengirim pesan hanya untuk menanyakan kabar atau tugas sekolah, uch... terlalu memalukan untuk cowok secool Alexandro.
Aku tancap gas menuju toko kue Nana. Lima belas menit, aku berhenti di depan toko bernuansa putih dan coklat dengan kaca-kaca lebar di bagian depan yang menunjukkan aktifitas santai di dalam toko. Terlihat di sana hanya ada sepasang manusia dan satu orang cewek yang duduk sendirian di pojokan. Aku turun dari motor, meraih ponsel.
"Aku di RosaNa." Aku langsung menyahut tanpa menunggu sapaan dari seberang.
"Sedang apa?" tanya Abe.
"Mandi!"
"Air di rumahmu mati? Kenapa tidak ke rumahku saja?" tanya Abe, entah pura-pura bodoh atau gen bodohnya memang sedang mendominasi.
"Lebih enak di sini bisa berendam sambil makan yang manis-manis."
"Bro! Jangan bilang kau mau mandi sama..."
"Lama-lama ku robek mulutmu!" desisku memotong kalimatnya. "Aku lagi ingin makan yang manis-manis sambil minum kopi. Kemarilah."
Abe tergelak. "Baiklah. Kebetulan aku juga sedang ingin lihat yang manis-manis. Apa Nana ada di sana?"
Sebuncah bara api tiba-tiba menyala di dalam dadaku. Seharusnya aku tahu Abe pasti sengaja meledekku, tapi aku tak mau tahu. Mendengarnya menyebut Nana manis saja, membuat darahku mendidih.
"Tidak usah datang!"
Aku mematikan sambungan sebelum mendengar tawa Abe meledak di seberang.
Aku melangkah masuk toko, langsung menuju counter. Aku menunjuk beberapa kue dan memesan latte.
"Alex?" Sebuah suara dengan nada tanya mengejutkanku. Suaranya lembut, tapi aku benar-benar terlonjak dan dadaku seketika berdegup tak karuan.
"N-Nana. Aku tidak melihatmu waktu masuk."
"Aku melihatmu masuk." Nana menunjuk pintu hubung dari kaca oneway.
Aku mengalihkan pandangan sejenak saat menerima nampan. Waktu yang sedikit itu berhasil kupakai untuk memulihkan kesadaranku.
Aku kembali menoleh Nana, sudah memasang senyum racunku. "Mau temani aku?"
"Kau yakin aku tidak mengganggu? Mungkin saja kau sedang menunggu seseorang," katanya. Dahinya mengerut, bibirnya mencebik manja.
"Benar. Aku memang sedang menunggu orang yang sangat spesial."
Mata Nana membulat.
"Mau tahu?"
"Boleh?"
"Temani aku." Aku berjalan melewati Nana, sengaja mengambil duduk di meja bundar dengan empat kursi.
Nana mengikutiku, duduk di depanku.
"Apa kau sering membuat janji dengan cewekmu di sini?" tanya Nana tanpa basa basi.
Aku menggeleng.
"Jadi, ini pertama kalinya?"
"Sebenarnya aku tidak membuat janji dengan cewek."
Nana mengerutkan kening.
"Aku tadi menelpon Abe dan Anton. Tapi, memang benar yang kau bilang, aku sedang menunggu seseorang yang spesial. Lebih tepatnya, berharap bertemu."
"Oh ya?" tanya Nana antusias, kedua matanya menatapku penasaran.