Senin. Aku masuk kelas dan seperti yang sudah ku duga, aku melihat Nana duduk menunduk di bangkunya, sibuk dengan buku yang terbuka di pangkuannya.
"Hi, Na." Aku mengulurkan setangkai permen berbentuk mawar ke hadapannya.
Nana mendongak menatap permen di tanganku, kemudian beralih menatapku curiga.
"Dari siapa?" tanyanya.
"Dariku," jawabku.
Dia masih menatap curiga. "Kau mendapatkannya dari siapa?"
Aku mendesah, mengerti apa yang dia pikirkan. Aku menarik kembali permenku, duduk di bangkuku tanpa sepatah kata pun.
"Woooww... Dari siapa nih!" Abe melompat ke mejaku melihat permen mawar merah yang tergeletak di atas tasku. Aku bergeming tidak menjawab.
"Hei, Brother. Dari siapa ini."
Aku tidak menjawab, hanya menatapnya kosong. "Ambil," kataku dingin.
Abe menyeringai, menjambret permen dari atas tasku dan membukanya.
"Terima kasih, Boy!" katanya, menggigit kelopak mawar di tangannya.
"Dari siapa itu?" Anton menatap Abe. Abe mengendik ke arahku, mulutnya sibuk mengunyah.
Anton mengangkat alis. Aku bisa membaca tulisan samar di keningnya, "sudah menerima makanan lagi?"
Aku menyeringai. "Aku membelinya di depan SMP Lucy. Tadinya mau kuberikan untuk Nana."
"Uhuk uhuk...!" Abe terbatuk, menoleh cepat. Nana menatapku melotot.
"Tidak apa, makan saja. Nana tidak mau," jawabku santai.
Nana membuka mulut seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi menutupnya lagi. Aku menatapnya datar, kemudian berdiri meninggalkannya.
Jam istirahat, aku menemukan kerumunan anak kelas XI di depan mading. Kerumunan itu menyibak saat aku mendekat. Ternyata mereka sedang melihat pengumuman siapa yang lolos seleksi Olimpiade. Aku lupa bahwa hari ini saatnya pengumuman siapa yang lulus tes untuk mendampingku di Olimpiade nanti.
Aku mendekati papan pengumuman dan mulai membaca. Kulihat nama Diana Evelyne berada di urutan teratas dengan nilai nyaris sempurna. 98,87. Aku tersenyum. Aku ingat pada hari Sabtu, minggu lalu, Nana membelalak kaget saat dirinya dipanggil dari dalam kelas Matematika untuk menuju ruang seleksi, karena tes seleksi Olimpiade akan segera di mulai.
'Tetapi saya tidak mendaftar untuk ikut seleksi,' pekiknya tertahan. Tentu saja dia tidak mendaftar. Karena memang akulah yang diam-diam mendaftarkannya dan beruntung bu Ranti setuju denganku.
"Oh!" Sebuah pekikan tertahan terdengar di telinga kiriku, membuyarkan lamunanku. Semua mata menoleh ke sana, termasuk aku. Nana berdiri di sana, matanya memebelalak tidak percaya, kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga.
"Kenapa?" tanyaku.
Nana mendongak menatapku, wajahnya pucat seperti hantu. Kemudian dia menggeleng, mundur dari kerumunan dan berlari.
Aku menatap punggung Nana yang berjalan menjauh. Entah kenapa, wajah Nana terlihat tidak terlalu senang. Bukankah seharusnya suatu kebanggaan bisa menjadi murid yang di kirim kejuaraan bergengsi seperti ini, terlebih lagi mendampingi seorang sepertiku. Atau Nana tidak senang justru karena dia harus mendampingiku. Apakah dia sebenarnya tidak menyukaiku. Toh selama ini memang dia lebih nyaman mengobrol dengan Anton dan Abe dari pada denganku.
Aku menaiki anak tangga menuju kantin dengan perasaan hampa. Memikirkan Nana sama sekali tidak tertarik padaku, membuat hatiku kosong dan tiba-tiba saja seolah seluruh pesonaku tidak ada artinya lagi.
"Al! Bu Ranti memanggilmu ke kantornya." Seseorang berseru, berdiri tiga anak tangga lebih tinggi di atasku. Aku menatapnya tanpa ekspresi, mengangguk singkat. Tidak berkata ya, apa lagi terima kasih. Tapi memang itulah wajah normalku selama ini. Bukan wajah penuh senyum dan ramah yang biasa ku tunjukkan di depan Nana.
"Kau kenapa, Al? Tampangmu aneh sekali," tanya Abe, menatapku dengan wajah mengerut.
"Ada apa, Al? Sepertinya kau tidak senang Nana... Ada masalah?" tanya Anton, ikut memperhatikan perubahan raut wajahku.
"Aku ke kantor bu Ranti dulu," jawabku datar. Mereka hanya mengangkat bahu melihat keanehanku. Tentu saja aneh bagi mereka, karena aku sama sekali tidak pernah bersikap lunglai seperti ini. Aku seorang freezy boy yang tidak pernah lalai menebar pesona di balik aura dinginku, kepada siapapun. Meski aku terkenal berwajah misterius dan dingin, tetapi wajah angkuhku tidak pernah tergantikan dengan wajah kosong tanpa senyum miring seperti saat ini. Setiap orang yang melihatku seperti ini, mungkin akan mengira aku baru saja kehilangan ibuku atau ayahku atau adikku. Karena kehilangan sebuah mobil pun tidak akan bisa membuatku lupa memasang senyum congkak di wajahku.
Aku berhenti di depan pintu kantor bu Ranti saat kudengar suara berbisik di dalam.
"Saya hanya tidak siap." Aku bisa mengenalinya sebagai suara Nana.
"Ibu yakin Alexandro anak yang baik, Nana. Dia memang terlihat angkuh, sombong dan dingin. Yah, wajar. Karena dia diwarisi wajah yang sangat tampan, anak orang kaya, dan idola di sekolah ini. Kau harus memaklumi itu. Tetapi di luar itu, Alexandro adalah anak yang baik, sangat pintar dan setia kawan," jawab bu Ranti sabar.
"Tidak, Bu. Bukan itu. Kalau hanya soal itu, saya yakin Alex anak yang baik. Tetapi saya benar-benar tidak yakin saya mampu ber..." suaranya menghilang.
"Kenapa kau berfikir begitu?"
"Saya tidak tahu, Bu."
Aku mengangkat tangan dan mengetuk, kemudian membuka pintu. Aku bisa melihat Nana dan bu Ranti duduk berhadapan di sofa tamu saat aku melongokkan kepala ke dalam.
Bu Ranti tersenyum, mengangguk. Aku masuk, menutup pintu di belakangku.
"Ibu memanggil saya?" tanyaku.
"Ya. Duduklah," kata bu Ranti, menunjuk sofa di samping Nana.
"Hi, Na. Selamat ya."
Nana tersenyum terpaksa.
"Baiklah. Jadi, seperti yang sudah kalian ketahui, hasil seleksi sudah diumumkan dan keputusan tidak dapat di ganggu gugat. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik." Bu Ranti yang terkenal tidak suka basa basi, bicara langsung pada inti masalah.
"Saya akan bekerja sama dengan baik bersama Nana, bu. Setidaknya saya tidak harus melihatnya melongo setiap kali dia menatap saya. Itu membuat saya lebih nyaman dari pada harus berpasangan dengan yang lain." Aku mengatakannya dengan terang-terangan, melirik Nana yang menegang di kursinya.
Bu Ranti tersenyum puas.
"Kamu bagaimana? Siap berpasangan denganku?" tanyaku pada Nana, membuat wajah pucatnya berubah memerah.
Dia mengangguk kaku, kemudian segera berpaling dariku, menatap bu Ranti.
"Saya akan berusaha, Bu." jawabnya lirih.
"Siapa yang bertanya, siapa yang di jawab." Aku menggerutu pelan.
Nana menatapku, memelotot.
"Baiklah. Kalian akan memulai bimbingan sore ini, tambahan dua jam sepulang sekolah setiap harinya. Waktu kalian tidak banyak. Hanya kurang dari dua bulan. Saya harap kalian akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk belajar," jelas bu Ranti. Kami mengangguk bersama.
"Bagus. Kalian boleh kembali ke kelas." Bu Ranti mengakhiri percakapan.
Aku dan Nana berdiri hampir bersamaan, berjalan ke pintu dan keluar dari ruangan bu Ranti.
"Kau sepertinya tidak terlalu senang, Na. Apa karena kau menjadi pasanganku?" Aku bertanya dalam perjalanan menuju kelas. Aku tidak suka menyimoan pertanyaan hanya di dalam hatiku dan harus menerka-nerka jawaban.
"Tentu saja aku senang," jawabnya. Wajahnya sudah tidak sepucat mayat. Sepertinya kegalakannya pun sudah kembali.