My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #8

Jerat Cinta

Aku berjalan dari lapangan basket melewati kaman mandi cewek saat mendengar Nana menyebut namaku dengan suara bergetar. Aku berhenti.

"Aku tidak menerima alasanmu. Apa pun yang kau lakukan, jauhi Alex atau kau akan menerima yang lebih dari ini. Ini baru permulaan."

Sasha. Aku bersandar di dinding toilet dekat pintu, menunggu.

"T-tapi...."

"Sekali lagi kau berbicara, aku akan membuatmu menyesal seumur hidup karena berani melawanku."

"Dan ingat! Kalau mereka bertanya soal ini, jangan bawa-bawa namaku."

Aku mengertakkan gigi dengan geram. Kakiku sudah tidak sabar menunggu mereka keluar, sampai telingaku menangkap suara pintu ditarik terbuka.

"Aku tidak pernah berpacaran dengan Nana," kataku dingin.

Sasha dan dua orang temannya menoleh kaget, membelalak melihatku yang bersandar santai di sisi pintu kamar mandi cewek, memasang tampang sedingin es di kutub utara.

"L-Lexa... A-apa maksudmu, maksudku apa yang kau katakan. Kenapa kau tiba-tiba bicara begitu?" tanya Sasha gelagapan, meski di kalimat akhirnya sudah kembali lancar dan manja.

"Karena kau mencoba mengancam Nana," jawabku dingin.

Sasha menoleh sekilas ke dalam kamar mandi, lalu kembali menatapku.

"A-aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya... Dia... Aku melihatnya menangis tadi...."

Aku mendorong Sasha, berjalan cepat masuk ke dalam toilet wanita.

"Nana! Buka pintunya." Aku menggedor satu-satunya pintu toilet yang tertutup dan aku yakin Nana berada di sana.

"Na! Buka. Atau akan ku dobrak pintunya!"

Hitungan ketiga, pintu berayun membuka dan Nana muncul, basah kuyup.

"Sh*t!" Aku mengumpat keras. Tanganku melepas baju seragamku dan menutupkannya ke tubuh Nana yang basah kuyup. Aku meraih ponsel di saku dan menelepon Abe.

"Ab! Antarkan jaketmu ke kamar mandi cewek."

"Apa? Sedang apa...."

"Bac*t!"

Aku menekan tombol merah.

Dua menit, kepala Abe menyembul dari atas pintu koboi toilet. Matanya membelalak melihat Nana yang menangis sambil bersandar di dinding, di dalam kungkungan lenganku.

"Kemarikan."

Abe berjalan masuk diikuti Anton.

"Ada apa dengannya?" tanya Anton.

Aku mengambil bajuku yang basah dari atas tubuh Nana, menggantinya dengan jaket Abe.

"Cari Sasha dan dua cecunguk lainnya. Katakan padanya aku akan membunuhnya kalau sekali lagi dia berani menyentuh Nana." Aku memerintah Abe dan Anton.

Nana menggeleng cepat. "Jangan. Jangan, tidak perlu."

"Na...." Aku memegang kedua pundak Nana, sedikit membungkuk agar bisa menatap lurus ke dalam matanya.

"Tidak usah. Itu akan memperburuk keadaanku."

"Tapi ini bullying, Na. Dia bisa mendapat tinta merah."

"Aku tahu. Tapi tidak perlu mengancam mereka seperti itu. Cukup jauhi saja aku, maka mereka akan berhenti menggangguku."

"Menjauhimu?!" Aku membelalak. "Hah! Mimpi."

"Dia hanya menginginkanmu kembali, Lex. Dia pikir aku telah merebutmu darinya. Sasha pikir kau memutuskannya demi aku."

"Memutuskannya? Bagaimana caraku memutuskannya kalau pacaran dengannya saja aku tidak pernah, Na!"

Sekali lagi Nana menggeleng.

"Pergilah, Lex."

Kini giliran aku yang menggeleng.

"Ton, tolong antarkan aku ke UKS. Aku akan menunggu di sana sampai bajuku mengering dan aku bisa kembali ke kelas." Nana menarik lengan Anton, berjalan melewatiku.

"Sh*t!" teriakku, meninju dinding kamar mandi.

Lihat selengkapnya