My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #9

Jatuh Cinta

Setelah kejadian dengan Sasha, gosip tentang kedekatanku dengan Nana semakin ramai di sekolah. Bahkan pak Anwar sempat bertanya saat dia melihat kami tertawa lepas di satu hari bimbingan di bawah materinya.

"Tidak, Pak. Kami berdua belum berpikir ke arah sana. Nanti-nanti lah, kalau uang sudah tidak minta orang tua," jawab Nana bijak.

"Pemikiran yang bagus. Kau bagaimana, Alex?"

"Saya juga belum berpikir untuk menjalin hubungan dengan Nana, Pak. Nana terlalu jutek. Saya tidak yakin akan betah diatur-atur sama dia kalau dia jadi pacar saya."

Bluk! Nana memukulku dengan buku cetak tebal.

Aku menggosok lenganku yang terasa panas.

Hari-hari kami memang seperti itu. Bertengkar, tertawa, meledek, dan saling menjahili. Seperti saat ini.

Nana terlalu sibuk mengobrol dengan Anton saat kami makan siang di kantin. Jengkel karena tidak di anggap ada, aku menukar bakso Nana dengan milikku. Di sela-sela bicaranya, Nana menyendok bakso tanpa melihat dan memasukkannya ke dalam mulut. Begitu kuah bakso menyentuh tenggotokannya, wajah Nana memerah seperti terbakar. Baksoku yang memang kuah pedas dan Nana tidak suka pedas. Dia mengipasi mulutnya dengan tangan sambil menjulurkan lidahnya yang juga terlihat berwarna merah terang.

Aku menyodorkan es sirup milikku saat milonya sudah tandas tapi wajahnya masih memerah.

Dia menenggak habis es sirup ku yang belum ku sentuh.

"Bener-bener yaaa...." Nana menarik telingaku sampai aku menunduk di dekat lututnya. Aku tidak bisa menjawab karena masih sibuk tertawa, begitu pun Anton dan Abe yang kini sibuk menertawakanku.

"Ma-maaf, Na. Soalnya kau sibuk mengobrol dengan mereka seolah aku tidak ada." Aku bicara masih di sela tawaku.

"Kau saja yang tidak mau mengikuti obrolan kita. Dasar introvert!" geramnya.

"Ya sudah, aku minta maaf. Sekarang makanlah lagi."

"Aku sudah tidak bernafsu."

"Eeh... Tidak boleh membuang-buang makanan. Kau lihat di beberapa negara seperti somalia, afghanistan, afrika, kongo, mereka masih tinggi derajat gizi buruk dan tingkat kelaparannya. Dan kau di sini mau buang-buang makanan. Uch! Tidak berperikemanusiaan."

"Kau yang tidak berperikemanusiaan! Sudah tahu aku tidak bisa makan pedas." Nana mencubit kecil lenganku sampai aku meringis kesakitan.

Abe menjejak kakiku, menunjuk dengan ekor matanya ke arah Sasha yang memperhatikan kami dengan masam.

Aku mengambil bakso di mangkuk Nana, menyuapkannya ke Nana.

"Aku bukan bayi!" geram Nana memelotot, mengambil sendok di tanganku dan memakan baksonya sendiri.

Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mempermainkan Nana. Aku hanua ingin membalas kelakuan jahat Sasha, biar dia tahu ancamannya sama sekali tidak berpengaruh bagi kami.

Selama sisa pelajaran dan saat mengikuti bimbingan, Nana menjadi lebih pendiam dari biasanya. Sedikit.

"Kau kenapa, Na?"

Nana menoleh, mengangkat alis.

"Kau tidak secerewet biasanya."

"Kau saja yang suka berpikir aneh-aneh. Halu."

Aku menatapnya serius. Sorot matanya memang terlihat lebih redup dan bibirnya terlihat datar. Tidak ada senyum manis atau cemberutan seperti biasanya.

Hingga usai bimbingan, Nana masih tidak banyak bicara. Seperti biasa aku mengantar Nana pulang.

"Kau mau lagu apa, Na?" tanyaku, memecah keheningan.

"Tidak biasanya kau bertanya," katanya.

"Ya, karena kau lebih banyak diam."

"Ah, itu kan hanya perasaan kangmas Alexandro saja," jawabnya tenang, meniru dialog pada film-film laga tahun 90an.

Aku tertawa dan menyalakan audio yang langsung melantunkan tembang milik Ed Sheeran yang bertajuk Perfect. Lagu itu pas sekali menggambarkan sosok Nana yang kepribadiannya membuatku jatuh cinta.

Aku menjejak pedal gas keluar pelataran parkir. Lagu Ed Sheeran mengiringi putaran ban di atas aspal. Aku menarik nafas panjang, mengikat O2nya di dalam otak. Bibirku bergumam pelan mengikuti irama lagu, memaksa tubuhku agar lebih rileks.

"Suaramu merdu juga," kata Nana. Aku tersenyum. Meski tatapannya tidak pernah mengagumiku, tapi dipuji seperti itu jelas sudah bisa membuatku melayang.

"Tidak perlu dimerdu-merdukan juga. Lebih enak di dengar kalau sewajarnya," katanya lagi, saat aku menambah volume suaraku sedikit lebih keras. Padahal hanya sedikit sekali. Hanya 0,01 desibel.

Hhh... Berharap mendapat pujian untuk kedua kalinya, apalah daya justru cemoohan yang ku dapat. Susah sekali mendapatkan simpati dari seorang Nana.

"Kau jadi cewek jujur sekali. Tidak kah terpikir olehmu untuk membuat lawan bicaramu merasa senang sekali saja."

"Kejujuran memang terkadang menyakitkan. Tapi selalu jauh lebih baik dari pada kebohongan."

Aku tertawa masam.

Nana bersandar, memejamkan mata. Nafasnya naik turun, tampak berat.

"Kau tidak apa-apa, Na?" aku bertanya.

"Perutku sakit," jawabnya lemah.

Lihat selengkapnya