Aku melewati pintu kamar mama dan ayah saat kudengar mereka kembali bersitegang. Ayah dan mama kembali bertengkar tentang wanita itu. Inilah kesempatanku. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang wanita itu kalau aku ingin menemukannya.
"Jadi kau tahu segalanya tentang dia. Apakah diam-diam kau masih berhubungan dengannya dan anak gadismu itu?" tanya mama, suaranya terdengar sangat mengancam.
"Sama sekali tidak, Ma. Demi Tuhan, Mama. Aku mencintaimu. Sudah kukatakan waktu itu aku mabuk dan tidak tahu apa yang kami perbuat. Kenapa kau tidak bisa memaafkan aku. Aku hanya bermaksud memberitahumu, agar kau tidak menuduhku melakukan sesuatu dengannya secara sembunyi-sembunyi. Kenapa masalah ini justru semakin rumit." Ayah berbisik frustrasi.
"Oh, ya. Aku pasti akan senang mendengar berita ini karena kau memang pecinta brownies itu." Aku menahan nafas. Brownies. Brownies siapa yang mereka bicarakan. Bukankan satu-satunya toko brownies kegemaran kami hanya dari toko Nana. Tapi apa hubungan mereka dengan toko Nana. Kenapa mama menyebut-nyebutnya.
"Bukan itu maksudku, Mama. Aku bahkan baru tahu pemilik toko itu ternyata adalah ibunya. Selama ini aku tidak pernah tahu. Dulu dia memang berbisnis catering dan kue tetapi aku tidak pernah tahu mereka membuka toko kue."
"Bul***t!"
"Terserah kau percaya atau tidak. Nyatanya aku tidak pernah tahu dia pemilik toko roti itu." Ayah mendesis.
"Lalu apa yang kau inginkan dengan memberi tahuku bahwa toko brownies sialan itu milik ja**ng yang pernah kau ti**ri dan kau titipi benihmu itu!" Mama berteriak semakin histeris.
Aku mengejang di depan pintu. Apa aku tidak salah dengar. Atau aku mungkin salah menduga.
Nafasku tertahan dan dadaku berdegup semakin kencang.
"Pelankan suaramu atau anak-anak akan mendengarmu!" Suara panik ayah terdengar sangat jauh dan lirih. Kepalaku berdengung oleh kaliamat terakhir mama, tapi aku masih penasaran.
"Memangnya kenapa kalau anak-anak tahu. Apa kau takut Rosana Cake and Backery tercintamu itu akan gulung tikar kalau orang-orang tahu pemiliknya adalah seorang pel***r! Sebegitu pentingnya kah menjaga nama baik ja**ng pemilik Rosana Cake sialan itu! Kau pikir dengan mempertah..."
Cukup. Dua kali sudah lebih dari cukup bagiku untuk tahu. Aku tidak akan tahan lagi mendengar kelanjutannya.
Aku melangkah menjauh dari pintu kamar ayah dan mama, masuk kamar dan menguncinya.
Aku bersandar di pintu, masih tidak mempercayai apa yang baru saja aku dengar. RosaNa Cake and bakery. RosaNa... Rosa... Rosa adalah perempuan selingkuhan ayah bertahun-tahun lalu, yang telah mengandung dan melahirkan anak perempuan ayah. Rosa adalah ibu Nana. Wanita yang telah merusak rumah tangga orang tuaku dengan mengandung anak ayah.
Anak ayah....
Itu berarti....
Itu berarti Nana....
Aku menutup mataku rapat-rapat, takut bahkan untuk mendengar kesimpulanku sendiri.
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba membuat diriku tetap terkendali dan tidak berteriak frustasi. Kepalaku rasanya hampir meledak, tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Perlahan aku membuka mataku, berjalan ke ranjang dan membanting tubuh di atasnya. Aku mengambil ponsel, mulai melakukan pencarian.
RosaNa Cake and Bakery.
RosaNa Cake and Bakery adalah salah satu toko kue yang terkenal dengan browniesnya yang lezat.Tidak besar, namun berhasil bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin ketat karena kualitas kuenya yang tidak pernah berubah.
Winda M Yamada, pemilik toko, seorang wanita ayu yang kami wawancarai mengatakan bahwa toko ini berawal dari keinginan putri tunggalnya untuk membuat bisnis kecil-kecilan baginya karena pesanan catering yang biasanya mereka layani kini semakin banyak pesaing.
Maria, sapaan akrabnya, memulai bisnisnya dengan modal yang sangat minim. Dia menyewa kios kaki lima di pinggir jalan dan hanya bisa menjual kue brownies dalam kemasan kecil, karena modalnya tidak cukup untuk membuat berbagai macam kue dengan resiko tidak laku.
Namun kini dari modal kecil tersebut RosaNa Cake and Bakery telah berhasil membuka cabang di kota lain yang diurus langsung oleh putri tunggalnya.
'Ini semua berkat putri tunggalku. Sekarang dia berada di Pekan Baru untuk mengurus bisnis kueku di sana. Tidak besar juga, namun cukup ramai. Dia belajar resepnya langsung dariku.' Wanita lanjut usia itu menjelaskan dengan bangga saat kami menemuinya di tokonya.
Aku menghela nafas panjang. Wajah Nana berputar-putar di mataku dalam banyak situasi, seolah sebuah proyektor yang menggambarkan wajahnya sedang di sorotkan ke atas langit-langit kamarku.
Nana. Gadis yang berhasil membuatku terpesona di awal kedatangannya. Yang membuatku tunduk dengan kemampuan bermain basketnya. Yang membuatku batal membolos. Yang aku anggap berbeda dari gadis-gadis lainnya. Yang menarik perhatianku karena keunikan dirinya. Yang dalam satu bulan terakhir ini semakin dekat denganku. Dan yang mulai ku akui sebagai gadis yang kucintai. Ternyata dia adalah adikku. Adik dari seorang ibu yang berbeda. Adik tiri.
Ini gila. Apakah ini nyata. Ini tidak mungkin nyata. Aku pasti hanya bermimpi. Ya, aku sedang bermimpi dan aku akan terbangun di pagi hari dengan Nana bukan siapa-siapa seperti biasanya. Hanya gadis istimewa yang datang dengan membawa segenggam cinta.
Mama melewati depan kamarku, masih berbisik tegang dengan ayah.
"Sudahlah, Ma."
"Aku tidak akan pernah berhenti, Edwin! Dan aku akan menghancurkan mereka."
Kepalaku berdenyut keras. Sepertinya otakku ingin meledak keluar dari tengkoraknya. Aku tidak sanggup lagi. Aku tidak bisa mempercayai ini tetapi aku harus. Dadaku terasa sakit dan sesak. Aku ingin berteriak, tetapi aku tidak bisa.
Aku harus pergi. Aku harus pergi dari sini, mencari tempat yang tenang dan sepi. Aku tidak akan bisa melalui semua ini dengan tenang jika bisik-bisik tegang mama dan ayah masih terus berdengung di dalam rumah.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan melangkah keluar perlahan. Aku mengintip Lucy di dalam kamarnya, dia sedang tiduran sambil membaca.
"Aku pergi," kataku singkat. Dia menatapku sejenak sambil mengangguk.
Aku meluncur di atas motor Ninjaku, tanpa mengurangi kecepatan di setiap tikungan. Aku tidak tahu aku ingin ke mana. Aku tidak memiliki tujuan. Aku terus memutar gas tanpa tahu arah. Mungkin aku akan berhenti jika bensin motor ini habis, yang mana itu bisa mencapai ratusan kilometer. Bensinnya masih penuh. Mungkin aku bisa sampai Ibu Kota jika aku nekat melakukannya.
Aku membelok ke kanan di sebuah perempatan, mulai membuat keputusan akan ke mana aku pergi. Aku akan memilih sebuah pantai yang masih baru dan sepi di ujung selatan kota. Mungkin aku bisa berteriak sepuasnya di atas salah satu tebing di sana.