Lima hari berlalu. Seperti malam-malam sebelumnya, aku terlentang di atas pasir hangat, menatap kosong ke langit gelap. Debur ombak menyapu sepi. Angin malam berbisik sunyi. Bintang gemintang berkedip menyapa, menemani sang rembulan yang sedang tertawa, menertawakan kebodohanku. Ketololanku. Yang tengah terpuruk dijajah cinta. Sebuah rasa yang sejak dulu kuhindari karena pedihnya. Sebuah kisah yang kukotak karena kekonyolannya. Walau kini aku terjatuh juga menjadi budaknya. Budak cinta yang merana dihantam nestapa.
Aku meatap kosong ke atas hamparan langit hitam. Sederet bintang seolah membentuk senyuman. Wajah Nana berkelebat di atas sana. Aku menepisnya dengan marah namun tanpa daya.
Aku memejamkan mata, berusaha menghapus wajah Nana dari ingatanku, mengosongkan pikiranku, menenangkan hatiku. Berat. Terlalu berat rasanya menghadapi semua ini. Seandainya saja aku tidak pernah bertemu Nana, mungkin segalanya tidak akan menjadi serumit ini.
Aku kembali ke penginapan menjelang pagi. Tubuhku lemah. Semangatku luluh lantah. Otakku lelah. Jauh lebih lelah daripada belajar untuk mengejar juara Olimpiade.
Aku memejamkan mata, mengatur nafas, berusaha rilek, hingga aku tertidur.
Aku membuka mata saat matahari sudah tinggi. Tidurku tidak nyenyak, kepalaku terasa berat. Aku meraih ponsel dari atas meja. Ada sembilan puluh sembilan lebih pesan dan lima puluh enam panggilan tak terjawab. Enam belas panggilan tak terjawab dari Anton, dua puluh enam panggilan dari Abe, dua dari Lucy dan sisanya bi Marni. Aku menekan bulatan hijau dengan tanda 99+ di sudut kanan, membaca sekilas saja para pengirim pesan tanpa merasa perlu membukanya. Aku tersenyum pahit saat tidak menemukan nama Nana di deretan pesan dengan bulatan angka berwarna merah di sisinya. Aku masih sempat memblokirnya kemarin, sesaat setelah menghubungi Lucy. Tapi kenapa mengetahui tidak ada satupun pesan darinya membuat dadaku terasa sesak. Apa aku mengharapkan pesan darinya. Seperti orang bodoh saja. Mengharap sesuatu akan datang padahal sudah kuberi penangkal untuk masuk.
Aku melempar ponsel ke atas bantal setelah membalas pesan Lucy, mengatakan bahwa aku baik-bai saja dan sedang bersenang-senang. Aku tahu adik cerewetku itu tidak akan mencemaskanku, tapi tetap saja dia menggerutu saat harus duduk sendirian di meja makan setiap hari.
Aku mulai merasa lapar dan berjalan keluar kamar untuk mencari makanan. Sudah lima hari aku hanya akan pop mie dan minum soda. Aku mampir di salah satu warung yang menawarkan aroma yang sangat lezat. Aku memenuhi perutku dengan makanan untuk menjaga kewarasanku. Usai makan aku kembali ke tepi pantai untuk menikmati pemandangan.
Ponselku bergetar di dada, nama Anton berkedip di layar.
"Hmmm." Aku mengangkat ponsel.
"Sial! Kemana saja kau."
"Masih di sini."
"Ada apa sebenarnya?"
"Apa kau pikir aku akan seperti ini kalau tidak ada apa pun yang terjadi."
"Kalau begitu ceritakan."
"Tidak bisa di telepon."
"Bailah. Katakan di mana kau berada, kami akan datang."
Aku mencebik. "Tunggu saja aku pulang."
"Kapan?"
"Entahlah."