Hari ini aku berangkat tanpa sarapan. Aku meninggalkan Lucy yang cemberut di meja makan. Maaf, Lucy. Untuk saat ini aku belum bisa memberi tahumu. Ini akan membuatmu shock atau bahkan lebih parah lagi, gila. Aku belum ingin memiliki seorang adik yang gila. Aku membutuhkanmu dalam keadaan sehat untuk menemaniku dan menghiburku.
Aku masuk kelas dan menemukan Nana di kursinya. Gelombang kekecewaan seketika menjalar meracuni tubuh dan otakku, berperang dengan rasa rindu yang menggebu.
Aku berdiri di sisi mejaku, menatapnya dengan perasaan sakit, marah, kecewa, bercampur menjadi satu membuat perutku melilit.
Nana menggerakkan kepala perlahan, menoleh padaku. Mata kami bertemu dan gelombang ketegangan lain membuncah di dalam perutku. Gelombang baru yang terasa hangat dan nyaman. Gelombang kerinduan yang teramat dalam.
Aku menarik nafas panjang. Gelombang ketegangan di dalam perutku dengan segera mengambil alih situasi, membekukan saraf-sarafku dan membuatku tidak dapat bergerak. Kesadaran menerpaku. Susah payah aku mengalihkan tatapanku dari mata Nana yang menghipnotis.
"Hi Lex. Akhirnya kau muncul. Keman...." Kata-katanya terhenti. Entah apa yang dia pikirkan, melihat reaksi baruku.
"Lex...." Dia memanggilku pelan.
Aku tidak menjawab, menarik lengan baju Abe yang duduk di depanku dan menyeretnya berdiri.
"Ada yang salah brother?" tanya Abe pelan, berdiri bingung di hadapanku.
Aku menggeleng kaku, duduk di bangkunya dan melempar tasnya ke belakang. Membayangkan harus duduk di sisi Nana dengan gejolak menyakitkan dan perasaan rindu yang berkecamuk di dalam diriku, aku yakin aku tidak akan mampu.
Anton menatapku bingung, tapi diam. Dia tahu, ada waktunya sendiri nanti untuk bertanya tentang apa yang terjadi padaku.
Duduk di depan Nana ternyata tidak mengurangi ketegangan dan kekacauan di dalam kepalaku. Berkali-kali aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, tapi sama sekali tidak membantu.
"Kau baik-baik saja, Alex?" tanya pak Anwar saat untuk pertama kalinya aku gagal menjawab pertanyaan yang dia ajukan. Aku mengangguk kaku.
"Kau terlihat kacau. Dari mana saja kau seminggu terakhir ini?" tanyanya menyelidik. Aku tidak senang diselidiki di depan umum, jadi aku tidak menjawab.
Pak Anwar menggeleng pelan. Dia tidak akan tersinggung dengan sikapku. Ini bukan pertama kalinya aku tidak menjawab pertanyaan guru, di luar konteks belajar.
Istirahat pertama, aku pergi ke kantin di luar gerbang sekolah. Aku menyambar kotak sig***t di atas meja, menarik gulungan putih di dalamnya dan mulai membakarnya. Anton dan Abe duduk di depanku, menatap iba. Aku menghargai usaha keras mereka untuk menahan rentetan pertanyaan di kepala mereka.
Aku memejamkan mata, menghirup kembali asap yang ku keluarkan dari mulut, kemudian meniupnya lagi setalah masuk lewat hidung, berharap asap nik**in jahanam itu dapat membawa serta seluruh beban di dalam diriku terbang dan hilang di udara.
"Bisakah kau tidak merusak tubuhmu, Lex!" Abe menggerutu, mungkin sudah tidak mampu menahan diri lebih lama lagi.
"Aku tidak akan segan melaporkanmu ke kesiswaan kalau kau seperti ini! Sadar, Lex. Begini saja tidak akan menyelesaikan masalah." Abe menunjuk benda yang terbakar di jariku dengan tatapan benci.
Tanpa bicara, Anton mengambil gulungan putih di jepitan jari telunjukku, lalu menarik asbak dan menusuknya di sana hingga padam.
"Jujur saja aku muak melihat perubahanmu. Apa kau sudah tidak menganggap kami teman?" katanya datar, saat aku bersiap memprotes.
Aku terdiam. Sebenarnya bukan aku tidak lagi menganggap mereka teman. Hanya saja aku belum siap menguak kembali luka yang baru saja ku balut dengan perban. Mungkin luka itu akan lebih cepat sembuh saat di buka dan ditetesi betadin, tetapi prosesnya pasti akan perih, dan aku belum siap merasakannya lagi.
Aku meraup kepala dengan kedua tangan, kembali menyesali pertemuanku dengan Nana. Lebih menyesal lagi karena harus tertarik padanya.
Anton menerima es kopi dari petugas kantin, mendorongnya padaku. "Minumlah. Kami akan menunggu sampai kau siap menceritakan semuanya."
Aku menggosok wajah, menghembuskan nafas perlahan.
“Apa kalian tidak keberatan membolos?" tanyaku, menatap Anton dan Abe.
“Sejak kapan kami pernah keberatan?” Abe balas bertanya.
"Kau bisa mengambilkan tasku, Ton? Aku akan menunggu kalian di sini. Aku malas masuk kelas."
"Apa ada masalah dengan Nana?" Abe menyekidik.
Aku menghembuskan nafas, mengangguk.
"Di tolak?"
"Bisakah kau mengambil tas kita sekarang, sebelum bel masuk berbunyi."
Anton dan Abe segera bangkit dari tempatnya dan berjalan kembali ke sekolah.
Ada banyak sekali keberuntungn bagi orang-orang seperti kami, bersekolah di sini. Kelas kami menggunkan moble class sehingga tidak terlalu mengherankan melihat anak-anak beristirahat dengan membawa tas, karena jas pelajaran berikutnya harus berpindah kelas. Keberuntungan berikutnya adalah tempat parkir kami yang berada di luar area sekolah, tepatnya berseberangan dengan sekolah, juga pagar yang belum sempurna mengelilingi area sekolah. Jadi saat harus melarikan diri seperti ini, kami hanya perlu menyelinap lewat persawahan di samping sekolah lalu menyogok kang parkir dengan lembaran merah untuk bisa lolos tanpa dilaporkan.
Kurang dari lima menit kemudian, aku sudah duduk di atas motor, siap meluncur.
"Kemana?" tanya Anton yang duduk di boncengan Abe.
“Ikuti aku.” Aku meluncur di atas motor dengan Abe dan Anton membuntuti di belakang. Aku berbelok ke sebuah cafe yang tidak terlalu ramai dan jarang di kunjungi pelajar. Aku ingin suasana yang lebih tenang karena aku akan membicarakan sesuatu yang penting, setidaknya bagiku.
Kami memarkir motor dan langsung pergi ke toilet. Celana seragam kami memang di design untuk kabur seperti ini karena memang kami bertiga sering melarikan diri saat jam sekolah belum usai. Aku membalik celanaku, dan celana panjang abu-abu menjelma menjadi warna coklat. Punya Anton berubah biru sementara punya Abe menjadi kotak-kotak. Baju seragam atas cukup di tutup dengan hoodie dan kami aman berkeliaran.
Setelah kami duduk dan memesan makanan, Abe yang sudah tidak sabar langsung bertanya.
“Sebenarnya apa yang terjadi. Kupikir masalahnya terlalu serius bagimu, sampai-sampai kau menghisap racun sialan itu,” tanya Abe tidak sabar.
“Sejak kapan kau merokok?” tanya Anton menimpali.
"Tadi."
Anton dan Abe mendengus. Memang, meski kami berandalan tapi kami tak pernah menyentuh nikotin. Malas kami berhubungan dengan dokter dan kami tahu betul bahwa nikotin akan merusak kerja keras kami berolah raga selama ini. Sia-sia kami susah payah membentuk tubuh dan melatih jantung sebagai atlet kalau kami merusaknya dengan asap laknat itu.
"Apa ini masalah Nana?"
“Ya,” jawabku singkat. Mereka saling menatap.
"Apa dia...?"
"Biar pesanan kita datang dulu." Aku memotong Abe.
“Ayolah Boy. Nana bukan satu-satunya cewek. Kenapa kau begitu hancur.” Abe menuntut dengan tidak sabar.
“Tunggu makanan kalian datang,” jawabku datar. Mereka menepuk dahinya dengan frustrasi.