Aku membuka mata dan menemukan Lucy menggoyang-goyang tubuhku.
“Bangun, sudah siang. Kau pulang jam berapa semalam?” tanyanya.
Aku menguap lebar. “Jam tiga,” jawabku.
Dia membelalak marah.
“Cepat mandi. Nanti terlambat.”
Dasar nenek cerewet. Diam di rumah salah, begadang di luar juga salah. Aku tersenyum kecut padanya, bangun, menyeret kaki dengan malas. Aku mengacak rambut Lucy yang sudah rapi sebelum berlari masuk kamar mandi.
Masih bisa ku dengar umpatan kasarnya saat aku menutup pintu kamar mandi.
Saat aku ke meja makan, Lucy sudah cemberut sambil melirik jam tangannya. Aku tahu dia benci datang terlambat, jadi aku tidak perlu sarapan.
“Ayo.” Aku hanya menyambar sebutir apel dan pergi ke garasi. Lucy mengikutiku di belakang.
Aku menurunkannya di depan pintu gerbang sekolahnya dalam waktu dua puluh menit lebih sedikit. Dia berlari masuk sambil melambai. Aku memutar mobil menuju sekolah.
Saat akan memasuki area parkir, kulihat Nana berjalan masuk gerbang sekolah.
“Nana!” Aku berteriak memanggilnya. Dia menoleh, berhenti sambil mengerutkan kening menatapku dari jauh.
Aku cepat-cepat memarkir mobil dan turun, lalu berlari ke sisinya.
Kami berjalan bersisian menuju kelas. Nana masih menatapku bingung.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku.
Nana menggeleng, ekspresinya berubah dengan cepat. "Tidak, tidak apa-apa. Mungkin aku yang sedang aneh."
Aku tersenyum, seolah tidak pernah terjadi apa pun diantara aku dan Nana di hari kemarin. Aku sudah memutuskan untuk saat ini aku akan mengikuti saran Abe, mencoba menyayangi Nana seperti aku menyayangi Lucy.
Aku mengajak Nana berjalan memutar, karena aku sedang tidak ingin melewati kerumunan penggemar yang selalu menungguku di sepanjang tepi koridor. Perasaanku sedang tidak stabil dan aku ingin hari ini berjalan mulus tanpa gangguan yang bisa membuat emosiku meledak.
“Bukannya kau menikmatinya selama ini?” tanyanya Nana saat aku menatik lengannya menjauh dari kerumunan cewek yang sudah menarik-narik ujung rok temannya saat melihatku akan lewat.
"Dulu aku menikmatinya. Memberi makan anak-anak di kelas dari pemberian cewek-cewek yang memujaku. Tetapi aku sudah bosan menjadi alat untuk mengisi perut mereka. Biar mereka sekali-kali pergi ke kantin,” jawabku.
Nana tergelak. “Benarkah itu alasanmu?” tanyanya menyelidik.
Aku berhenti, menatapnya curiga. "Apa maksud pertanyaanmu?" tanyaku. Aura dingin seketika menyelimuti tubuhku. Entah apa yang membuatnya, tapi mendengar pertanyaan Nana membuat perasaanku kacau. Ada banyak kesimpulan semu yang terbentuk di dalam sana dan kesemuanya berakhir dengan buruk.
“Hanya bertanya. Tidak ada maksud apapun,” katanya tenang sambil mengangkat bahu.
Aku mendengus, kembali berjalan menjajari langkah Nana.
Sebenarnya aku menyadari betul bukan itu alasan utamaku mengambil jalan memutar. Aku hanya takut Nana menanyakan itu karena dia mengetahui bahwa dialah alasanku merasa risih dengan kepopuleranku selama ini. Itulah yang membuat perasaanku kacau.
Aku tidak ingin memberikan harapan semu pada Nana, walau aku yakin Nana telah menyadari dengan jelas bahwa semenjak kehadirannya di sekolah ini kepopuleran seorang Alexandro Morgan perlahan mulai meredup. Tetapi tetap saja aku tidak ingin dia menyadari bahwa dialah penyebab utama kepopuleranku padam.
Aku meliriknya sekilas. Nana tampak sangat tenang. Senyumnya terkembang seperti biasa dan wajah periangnya benar-benar memikat.
Benarkah aku telah jatuh cinta. Aku tidak pernah diam-diam memperhatikan seorang cewek seperti sekarang ini. Aku tidak pernah menilai rambutnya, cara berpakaiannya, cara berjalannya, rona merah di wajahnya saat dia malu atau marah. Aku benar-benar tidak pernah mempelajari itu dari seorang pun sebelum ini. Tetapi aku selalu mempelajarinya pada Nana.
Ya. Nana memang berbeda. Dia adalah satu-satunya cewek yang tidak membelalak kagum saat pertama kali menatapku. Dialah satu-satunya cewek yang tidak memberengut kecewa saat ku acuhkan. Dan dialah satu-satunya cewek yang tidak mencoba mencari-cari perhatianku saat ku abaikan. Dia menatapku dengan cara yang sama dengan caranya menatap anak-anak lain, dan itu menggangguku. Aku tidak biasa diperlakukan sama atau tidak istimewa. Mungkin benar, aku sudah terlalu tenggelam dalam kepopuleran karena ketampananku.
“Kau mau kemana?” tanya Nana, mengagetkanku dari lamunan. Aku tersadar dan melihat sekitar. Ternyata aku sudah melewati pintu kelas. Nana sudah membelok di pintu tetapi aku justru berjalan lurus.
“Mau ke... kelas sebelah, sebentar. Kau masuklah dulu,” jawabku berusaha menutupi kekeliruanku.
Kenapa aku malu. Kenapa aku harus malu pada Nana kalau aku ketahuan melamun.
Sial! Ini bukan aku. Aku tidak pernah merasa malu tentang apapun pada siapapun, terlebih lagi perempuan.
Nana masuk kelas, aku berjalan beberapa langkah lagi kemudian berputar di tempat dan kembali ke kelas setelah kupastikan Nana tidak melihatku.
Aku masuk dan langsung duduk di kursiku, di samping Nana.
“Ada perlu apa ke kelas sebelah?” tanya Nana polos, tidak ada nada mengintrogasi. Hanya basa basi.
“Kupikir bukan urusanmu,” jawabku tenang.
Dia membelalak mendengar jawabanku, kemudian wajahnya mengerut dan mendengus kesal.
Aku tertawa padanya tetapi dia sudah membuka bukunya dan mulai membaca.
***
Nana menjadi lebih banyak diam daripada sebelum kepergianku. Aku tidak suka. Aku merasa ada sesuatu yang hilang darinya saat tidak banyak mendengar cerewetnya.