My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #15

Mengenal Rosa

Ini sore ke empat puluh aku mengantar Nana pulang. Besok aku dan Nana dibebaskan dari sekolah dan pelajaran tambahan, untuk menenangkan saraf kami. Karena lusa kami akan berangkat lomba.

"Bagaimana kalau besok kita belajar bersama untuk sekedar mengulang persiapan lusa." Aku mengajukan usul.

Aku sebenarnya hanya ingin bertemu Nana, bukan benar-benar ingin mengulang pelajaran. Seperti kata Anton, aku selalu saja mencari-cari alasan untuk bisa dekat dengan Nana.

"Baiklah. Tapi, bagaimana kalau kita belajar di toko ibuku saja. Aku lebih nyaman berada di dekat ibuku saat libur, jadi aku bisa membantunya."

Aku setuju. Di mana pun, asal bisa menatap wajah Nana membuat perasaanku lebuh baik meski rasa sakit semakin dalam menghujam.

Aku melambai pada Nana dan meluncur pulang.

Malam ini aku makan malam di rumah bersama Lucy, tidak pergi kemana-mana. Aku mengatakan padanya, besok dia diantar Mang Ujang ke sekolah karena aku diliburkan. Dia mengangguk walau dengan bibir mengerucut.

"Kau lomba besok?" tanyanya.

"Lusa. Tapi aku besok di liburkan. Aku akan pergi ke tempat Nana untuk mengulang pelajaran, untuk persiapan lusa," jelasku.

"Baiklah. Semoga sukses," katanya singkat. Matanya tetap fokus pada sepiring gulai kambing di depannya.

Esoknya, jam sepuluh pagi aku berangkat ke tempat Nana. Aku sampai di sana dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Ibu Nana menyambutku dengan senyum ramah. Dia wanita yang sangat cantik dan anggun. Pantas saja ayah dulu tergoda.

Nana keluar membawa nampan berisi kopi dan makanan ringan, kue-kue dari toko ibunya. Dan brownies itu, itu kue kesukaanku.

"Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini. Ini kan dagangan ibumu. Ibumu akan rugi kalau kau mencomotnya sebegitu banyak," kataku basa basi.

"Ya, memang seharusnya tidak. Dan kemudian ibuku akan membunuhku karena aku membiarkan tamuku gigit jari di toko kami yang penuh makanan," jawabnya.

Ibunya tertawa. "Tidak apa-apa, nak Alex. Ibu juga berterima kasih padamu karena kau sudah sangat sabar menghadapi Nana yang cerewet ini dan mau repot-repot mengantarnya pulang setiap sore."

"Jadi, ini ucapan terima kasih?" candaku.

Nana dan ibunya tertawa.

"Oh, ya. Apa kau sudah sehat, Nak Alex. Kau benar-benar anak yang rajin dan penuh semangat, ya. Baru keluar dari rumah sakit, sudah mengikuti bimbingan sampai sore setiap hari."

Aku menatap bingung. Saat melihat pada Nana, dia mengerut memperingatkan. Otakku bekerja cepat, mengerti bahwa ibunya sedang membicaraan saat-saat Nana pulang naik angkot sendirian.

"Oh, ya. Saya sudah lebih baik, Bu. Belum sepenuhnya sehat, tapi lebih baik." Aku berkata jujur. Aku memang belum benar-benar pulih dari rasa sakit yang dia dan ayahku sebabkan. Tapi jelas aku sudah jauh lebih baik dalam menerima rasa sakitku sekarang.

"Kalau begitu jangan terlalu lelah. Kau juga harus banyak beristirahat."

"Saya akan mengingatnya," kataku mengangguk.

"Baiklah. Belajarlah anak-anak. Aku tidak akan mengganggu kalian. Semoga sukses," katanya tersenyum dan berbalik memasuki bagian dalam toko.

Aku mengikuti Nana yang berjalan ke meja paling ujung, meja yang sama dengan yang kugunakan untuk merayunya satu bulan yang lalu. Dan itu membuatku mengingat betapa nyarisnya kami menjalin hubungan terlarang sebelum aku mengetahi fakta menyakitkan ini.

Nana menaruh nampan di atas meja dan duduk. Aku mengambil tempat persis di depannya. Tempat ini sempurna. Semburat cahaya yang jatuh ke atas meja membuat wajah Nana seolah diselimuti bayang-bayang tak tertembus. Seperti hatinya yang juga tak kan pernah bisa ku tembus dengan perasaan yang membuncah dalam diriku. Selarik cahaya yang menghalangi pandangan kami berdua, seolah melukiskan hubungan kami yang juga terhalang aliran darah. Aku ingin menggapai ke dalam lingkaran cahaya itu untuk meraihnya, tetapi aku takut jari-jariku tidak sanggup menahan rasa terbakar saat cahayanya memancarkan kehangatan.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Nana, entah sudah berapa lama dia memperhatikanku melamun.

Lihat selengkapnya