My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #17

Juara

Lomba di mulai tiga puluh menit setelah seluruh peserta melakukan registrasi ulang. Kami berdoa bersama sebelum aku dan Nana memasuki ruangan.

Sesi pertama tes tulis. Kami diberikan soal sebanyak enam puluh soal. Empat puluh pilihan ganda, dua puluh penjabaran. Waktu yang kami miliki untuk menyelesaikan seluruh soal selama 120 menit.

Kami membagi soal menjadi dua. Nana mengerjakan nomor genap dan aku nomor ganjil. Pilihan ganda selesai dalam waktu kurang dari satu jam.

Untuk soal penjabaran, kami menyelesaikannya bersama. Aku langsung mengerjakan soal-soal hitungan, Nana memeriksa jawabanku hampir seketika saat aku mengerjakannya. Jika ada soal teori, aku langsung menyerahkannya pada Nana untuk menjawabnya. Itu keahliannya.

Sembilan puluh lima menit berlalu, kami telah selesai mengerjakan seluruh soal. Sisa waktu masih banyak, kami menggunakannya untuk memeriksa ulang seluruh jawaban.

"Masih ada 25 menit lagi. Kita cek ulang." Aku melihat jam di pergelangan tanganku.

Nana mengangguk setuju. "Tukar soal. Kau mengoreksi yang aku kerjakan, aku akan meneliti ulang yang kau kerjakan."

Setelah yakin seluruh jawaban benar, sesuai kemampuan kami, aku mengumpulkan lembar jawaban pada menit ke 110 dan dipersilahkan keluar oleh pengawas lomba.

"Hhh... Ku rasa jawaban-jawaban teoriku masih belum sempurna." Nana menghela nafas panjang, duduk di kursi beton di tepi koridor.

"Harusnya kau mulai belajar menghargai dirimu sendiri." Aku berkata datar, duduk di sebelahnya.

"Benar yang di katakan Alex. Kau sudah berusaha, Na. Kesempurnaan hanya milik Allah." Bu ranti mendekat, menyodorkan dua kaleng susu kepadaku dan Nana.

Aku menerima milikku, membukanya, lalu menyodorkannya pada Nana. Nana menatapku bingung. Aku meraih kaleng susu Nana yng bekum di buka, menukar dengan kaleng milikku. Nana tersenyum, meminumnya sedikit lalu kembali menggenggamnya.

"Kau tidak suka?" tanyaku,melihatnya hanya minun satu teguk.

"Suka. Ini susu kesukaanku."

Aku membuka tas, mengambil sedotan yang masih terbungkus plastik dari dalam tas ku. Aku membukanya, menancapkan ujung sedotan ke dalam lubang kaleng Nana.

Nana menataku, menyeringai.

"Aku selalu kesulitan munim di kemasan kaleng seperti ini. Belepotan," akunya.

Aku tidak menjawab, tetapi telunjukku membersihkan sisa susu di ujung bibirnya dengan colekan keras. Nana cemberut, ceoat melap bibirnya dengan punggung tangan seperti anak TK.

"Cinlok sepertinya, Bu Ranti." Pak Anwar memperhatikan kami dengan tataoan geli.

"Sama Nana? Bisa tuli telinga saya diomeli setiap hari, Pak." Aku menjawab sekenanya. Nana memelotot.

"Hati-hati, Al. Cinta biasanya datang bersama hari-hari penuh warna." Pak Anwar menggodaku.

Lihat selengkapnya