Aku mengantar Nana ke toko kue ibunya sepulang lomba. Wajahnya begitu riang dan berbinar bahagia.
"Kau terlihat senang sekali, Na." tanyaku.
"Tentu saja. Ibuku akan bangga padaku. Memangnya kau tidak merasa senang?" Dia bertanya, matanya berbinar cerah dan aku senang sekali melihatnya.
"Tidak sesenang ini biasanya," jawabku. Dia mengangkat alisnya.
"Aku mewakili sekolah dalam Olimpiade tingkat Kota tahun lalu. Juga berhasil menyabet juara satu. Tetapi aku tidak merasa senang sama sekali."
"Kenapa?" Dia bertanya kaget.
"Tidak ada yang bisa ku banggakan. Tidak ada yang menyambutku dengan pelukan di rumah saat aku berhasil meraih prestasi. Hanya akan ada omelan saat aku berkelahi atau tawuran, kebut-kebutan, tetapi tidak akan ada pelukan jika aku berprestasi. Jadi untuk apa aku repot-repot. Lebih baik aku tawuran, dan pulang dengan omelan orang tuaku dari pada aku berprestasi tetapi pulang tanpa sambutan," jelasku.
Aku mengangkat sebelah bibirku, tertawa masam. Aku menertawakan diriku sendiri. Aku iri pada Nana, yang akan pulang membawa prestasi dan sudah ditunggu-tunggu ibunya dengan pelukan hangat. Walaupun Nana tidak pernah mengenal sosok ayah, tetapi dia memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Aku kembali tertawa pahit, menyesali betapa kacau kehidupan keluargaku. Dan saat aku mengingat penyebab semua kekacauan ini, rasa sakit itu kembali menjalari tubuhku.
Nana membelai lenganku, memberikan rasa hangat di setiap lukaku. Rasanya seperti dikompres anti nyeri. Aku memejam sejenak, mengatur nafas.
"Orang tuamu?" Nana bertanya ragu-ragu.
Aku membuka mata, kembali menarik nafas panjang dan membuangnya.
"Mereka sibuk dengan bisnis masing-masing. Hanya akan ada adikku yang menyambut keberhasilanku dengan pelukan bangga, dan ada Bi Marni dan Mang Ujang. Mereka akan memasak segala macam makanan untuk merayakannya, tetapi tetap saja hanya akan ada aku dan adikku di meja makan."
Aku terdengar semakin menyedihkan. Hidupku benar-benar seperti kopi tanpa gula. Aku menikmatinya, padahal hidupku benar-benar pahit dan hampir semua orang tidak akan mau menjalani hidup sepertiku.
Aku melirik Nana dan melihatnya menatapku dengan iba. Sial! Seharusnya aku membuat Nana bangga pada kehebatanku, bukannya justru membuatnya bersimpati pada kemalanganku. Aku benar-benar bodoh.
"Setidaknya kau masih punya adik. Buatlah dia bangga padamu dan jadilah contoh yang baik untuknya," katanya, tersenyum menghibur.
Aku meliriknya sekilas. Aku benci Nana melihatku dengan rasa belas kasihan. Itu membuatku semakin jijik dengan kehidupanku yang kacau, orang tuaku yang tidak peduli, dan rumah tangga yang hambar. Dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Ibunya. ibu Nana lah yang seharusnya bertanggungjawab atas hilangnya aura cinta di dalam keluargaku. Ibunyalah yang membuat semua cerita pilu ini harus terjadi hingga hari ini. Kebencian yang sempat mereda oleh kehangatan Nana, mulai menjalar, meresap di setiap aliran darahku dan membakar emosiku. Dilema itu muncul lagi, dan akan kembali menyiksaku.
"Maaf menceritakan ini padamu, Na. Kau boleh tertawa karena kehidupan keluargaku memang pantas untuk ditertawakan." Aku berkata dingin. Jemariku mencengkeram erat roda kemudi, berusaha mengendalikan diri dan tetap berkonsentrasi pada jalan.
"Aku tidak pernah menertawakanmu. Setiap manusia itu terlahir dengan kisahnya masing-masing, Lex. Dan Tuhan sudah mengatur siapa hidup dengan kisah yang seperti apa. Kalau pun kau memaksa untuk bertukar posisi denganku, apa kau pikir mudah hidup dan tumbuh tanpa seorang ayah sejak kecil. Ha!" Nana tertawa hambar di akhir kalimatnya.
Aku menatapnya. Wajahnya terlihat layu, aura bahagianya meredup.
Aku menggeleng. "Aku tidak pernah bilang begitu."
Nana menoleh menatapku. "Kenyataannya kau merasa hidupmu lah yang paling sengsara. Sudah kukatakan padamu, jangan melihat apapun hanya dari kulit luarnya saja. Yang terlihat tak selalu sama dengan yang terjadi. Semua hanya tergantung bagaimana cara seseorang mengemas isi di dalam hidupnya. Kehidupan bukan kue. Kue saja masih banyak yang menipu. Penampilan lezat ternyata rasanya hambar."
Aku tersenyum mendengarnya. Nana benar. Tentu tidak mudah hidup hanya berdua dengan ibunya apalagi di perantauan yang jauh dari orang tua dan kerabat.
"Dan ku ingatkan kau kalau kakimu saat ini menempel pada pedal gas. Jadi berhenti menatapku dan kembalikan matamu pada jalanan!" katanya ketus.
Aku terbahak. "Kau pikir saat menatapmu, aku melepas konsentrasiku dari jalan? Jangan melihat dari kulit luarnya saja, Na. Lihat, aku bahkan tahu kapan saatnya berbelok." Aku memutar kemudi, berbelok ke kiri.
Nana mencibir.
"Kalau aku hanya melihatmu dari kulit luarnya saja, aku pasti sudah enggan dekat-dekat denganmu karena reputasimu di sekolah begitu buruk!" gumamnya.
"Bagaimana?"
Dia menjawab dengan lirikan.
"Coba ulangi lagi."
Nana membuang muka ke jendela.
Aku tertawa. "Memangnya apa yang anak-anak gosipkan tentangku?"
Nana melirikku sekilas. "Mereka bilang kau anak songong, kurang ajar, suka tawuran, dan seorangĀ playboy."
"Dan kau percaya, kan?"
Dia menggeleng. "Tidak, selama aku tidak mengalaminya sendiri. Kupikir kau selama ini baik dan sopan kepadaku. Walaupun kau memang sangat angkuh dan seringkali berubah-ubah, yah kuakui itu menyebalkan. Tetapi tidak ada tanda-tanda kau anak bengal dan kurang ajar selama kau memperlakukanku. Kecuali kebiasaanmu merayuku, yang mungkin bisa membuatku percaya akan gelar playboymu," jelasnya.
Akhirnya aku bisa tertawa.
"Aku tidak pernah merayu gadis-gadis itu, Na." Protesku. "Mereka saja yang kegeeran. Padahal tidak pernah satu pun dari mereka kuanggap menarik."
"Aku tahu. Aku memperhatikan bahwa kau jarang sekali berkomunikasi dengan mereka. Tetapi gayamu yang sok cool dan senyum mematikan yang selalu kau pasang di wajahmu itu membuat mereka tergila-gila padamu." Sungutnya.
"Jadi... senyumku mematikan?" Aku memasang senyum miring mematikanku sambil meliriknya.
"Geeeee..." Dia mencibir dan membuang muka. Aku terbahak.
Beberapa menit kami hanya diam, menikmati lantunan musik dari playerku. Aku melirik Nana, dia bersenandung pelan. Tampaknya sangat menikmati perjalanan.
Aku menghela nafas panjang.
"Na..." Panggilku. Nana berhenti bernyanyi, menoleh menatapku dan menunggu.
"Ada apa?" tanyanya, setelah menunggu tapi aku tidak kunjung melanjutkan.
Aku menggeleng. "Tidak jadi."
Dia membelalak galak menatapku. Tiba-tiba saja aku merasakan sakit dan panas di lengan bagian dalamku. Aku menoleh cepat melihatnya, dan ku lihat ujung jari Nana menempel di sana menarik kulitku dalam jumlah kecil dan menjepitnya kuat.
"Ah... Na... Na sakit, Na." Aku mengerang dan berusaha melepaskan diri.
"Katakan!" ancamnya, melonggarkan sedikit cubitannya tetapi tidak melepasnya.