"Aku memerlukan kalian," bisikku, menarik lengan Anton dan Abe dari sofa malas di basecamp. Mereka menoleh dan mengerutkan kening. Meski begitu, mereka tetap mengikutiku.
"Aku baru saja mengantar Nana pulang dari lomba dan tokonya berantakan. Seseorang menyerang tokonya," jelasku. Kami meluncur di atas aspal, melaju dengan kecepatan sedang.
Anton dan Abe mengejang di tempatnya.
"Apa yang terjadi?"
"Ibumu telah benar-benar pergi saat kami meninggalkan tokonya pagi tadi. Dan waktu jam istirahat, kami kabur dari sekolah untuk nongkrong di toko kuenya. Segalanya baik-baik saja hingga kami pergi di jam usai sekolah."
Anton dan Abe bersahutan.
"Ibunya mengatakan pada Nana itu perampokan. Tetapi pegawainya menceritakan padaku, pagi tadi ada seorang wanita yang marah-marah pada ibu Nana dan sorenya dua orang laki-laki menyerang tokonya. Dia mengatakan 'satu jam yang lalu' dari saat aku datang," jelasku.
"Kenapa kau tidak menghubungi kami?" desak Abe.
"Siapa mereka?" tanya Anton hampir bersamaan dengan Abe berbicara.
"Ibunya bilang tidak ingin memperpanjang urusan. Dia tidak ingin aku mencari pelaku penyerangan atau lapor polisi."
"Apa menurutmu itu orang suruhan ibumu?
Aku mengangguk. "Sangat mungkin. Apa kalian sempat mendengar apa yang dikatakan mama saat dia menemui ibu Nana? Kau di sana kan? Karena saat pegawainya datang, mama segera pergi."
Anton tampak ragu-ragu sejenak, kemudian menggeleng. Kepalanya menunduk menatap meja, setelah melirik Abe sekilas.
"Ibumu langsung keluar saat kami datang."
Aku mengerutkan dahi melihat ekspresi keduanya.
"Aku berada di seberang jalan saat kalian masuk ke dalam toko. Mama baru keluar sekitar lima menit lebih dari kalian masuk."
"Oh, sudahlah, Ton. Dia tahu itu akan lebih baik." Abe menyela.
Anton menghela nafas panjang. "Jadi, saat kami masuk dan berpura-pura ingin membeli kue, kami mendengar ibumu berteriak marah, menuduh ibu Nana dan ayahmu kembali menjalin hubungan. Ibu Nana mengelak, tetapi ibumu justru meledak marah. Dia mengancam akan menyakiti Nana jika ibunya masih terus berhubungan dengan ayahmu."
Aku menggeleng tidak percaya. Mama mengancam akan menyakiti Nana. Dia bahkan belum tahu aku mengenal Nana.
Aku merebahkan diri ke sandaran kursi, menyisir rambutku dengan putus asa. Aku tidak tahu lagi bagaimana mengatasi masalah ini dengan baik.
"Kupikir aku harus pergi. Lebih baik aku menjauhi Nana untuk keselamatannya," gumamku akhirnya, setelah terdiam cukup lama.
"Apa kau yakin?" tanya Abe, matanya menyelidik curiga.
"Tidak," jawabku jujur.
"Jadi?"