Aku terbangun saat sinar matahari menusuk mataku. Aku sudah memikirkan -selama aku memejamkan mata dan menggiring pikiranku untuk terlelap semalam- apa yang akan aku lakukan pada Ibu Nana. Aku telah memutuskan aku akan mengajak Lucy membeli brownies di sana, dan meminta Lucy mendukungku saat aku mengatakan pada ibu Nana, kami hanya berteman. Aku hanya berharap Lucy sudah pulang dan bersedia ku jemput sepulang sekolah nanti.
Aku segera mandi dan melongok ke meja makan, saat ku dapati meja makan kosong.
"Bi, apa Lucy tidak pulang?" tanyaku pada bi Marni.
"Non Lucy tidak pulang, Mas. Semalam dia menelpon, katanya dia menelpon mas tidak diangkat. Dia juga sudah mengirim pesan pada mas Al," jelas bi Marni.
Aku meraih ponsel di sakuku yang terabaikan sejak semalam dan mulai memeriksanya. Dua belas panggilan tak terjawab. Tujuh dari Lucy, tiga dari Anton, satu dari Abe dan satu lagi, Nana. Ada apa. Kenapa Nana meneleponku. Aku mengecek pesan dan menemukan satu pesan dari Lucy yang mengatakan dia bermalam di tempat temannya, dan satu pesan lagi dari Nana.
[Alex, kenapa kau tidak menerima teleponku. Apa kau marah padaku.]
[Aku ingin meminta maaf padamu soal tadi sore. Ibuku memang keras kepala dan aku tidak ingin melawannya. Maukah kau memaafkan aku?] Nana.
Sial! Aku bahkan tidak mendengar ponselku berbunyi semalam. Otakku terlalu lelah sehingga aku tertidur seperti orang mati. Aku akan menemuinya di sekolah nanti.
Aku tiba di sekolah terlalu pagi karena tidak mengantar Lucy. Nana belum datang. Aku berjalan sendirian ke kelas dan menemukan kelas yang kosong. Aku duduk merenung di bangkuku, memikirkan apa yang akan ku katakan pada Nana jika dia datang nanti. Belum selesai aku berfikir, Nana sudah muncul.
"Na. Maafkan aku. Aku terlalu lelah semalam dan aku tidak mendengar teleponmu. Aku baru membaca pesanmu pagi ini sebelum berangkat." Aku memberondongnya dengan penjelasan yang bahkan belum dimintanya. Nana mengangkat kedua alisnya, kemudian tertawa.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku tahu kau tidak membaca pesanku semalam. Kau pasti sudah tidur. Dan kau seperti anak kecil yang mengaku salah karena meninggalkan buku peernya di rumah." Dia terkikik geli.
Aku mendengus kesal padanya. Dia benar-benar gadis yang berbeda. Gadis-gadis lain pasti sudah akan bersungut-sungut marah saat temannya -apa aku tamannya, atau sahabatnya, atau pacarnya, ah entahlah- tidak mengangkat teleponnya.
Berbeda dengan Nana. Nana selalu santai dan melihat segala hal dari sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan anak-anak lain. Sepanjang pelajaran dia tetap tersenyum dan tertawa lebar seperti biasa. Dan itulah yang selalu berhasil membuat hatiku luluh lantak.
Aku membolos di jam pelajaran terakhir hari ini, untuk menjemput Lucy di sekolah. Aku sudah menelepon mang Ujang untuk tidak perlu menjemput Lucy.
Senyum lebar Lucy terpampang di wajah manisnya saat dia menaruh pantatnya di kursi di sampingku.
"Tumben kau menjemputku? Kau mulai membolos lagi?" Dia bertanya. Aku tersenyum kecut dan mengangguk.
"Bagus. Itu lebih seperti kakakku," katanya tergelak. Aku memelototinya.
"Aku hanya membolos jam pelajaran terakhir," protesku. Sekarang dia yang tergelak.
Aku membawa Lucy ke RosaNa Cake n Bakery, dia membelalak senang saat aku memarkir mobil.
"Asyiikk... Beli kue!" teriaknya sambil menatap toko itu dengan penuh minat. Aku turun dari mobil, dia mengikuti.
"Aku akan membelikanmu apa pun yang kau inginkan, tetapi aku ingin kau membantuku." Aku menahan tangannya di samping mobil, saat dia akan melangkah ke pintu toko. Dahinya mengernyit curiga.
"Sogokan?" Dia bertanya jengkel. Aku tidak menghiraukannya.
"Pemilik toko ini adalah ibu seorang temanku. Bisa dibilang dia sahabatku. Dia melarang kami berhubungan karena dia mengira kami berpacaran." Mata Nana membulat dan dia menyeringai lebar. Aku mendengus keras.
"Dia bukan pacarku." Aku memperingatkannya keras, mengabaikan senyum licik di bibirnya. "Karena itu, aku ingin kau berpura-pura kau mengenal Nana -putri pemilik toko ini- dan mendukungku saat aku mengatakan Nana adalah sahabatku, bukan pacarku," lanjutku.
"Apa kau menyukainya?" Dia bertanya dengan mata berbinar. Aku kembali mendengus.
"Tahan rentetan pertanyaanmu untuk nanti. Sekarang ikuti perintahku. Ingat. Namanya Nana." Aku menarik tangannya menuju pintu toko. Dia menyeringai lebar.
Kami memasuki pintu toko. Keberuntungan memihak padaku, ibu Nana sedang berada di balik counter bersama pegawainya. Dia mengernyit menatapku yang memasuki pintu toko dengan menggandeng tangan Lucy.