Aku terbangun karena mendengar suara teriakan teredam. Ternyata dari kamar mama. Aku perlahan bangun dan berjalan ke pintu kamarku. Ternyata saat Lucy keluar, dia tidak menutupnya dengan rapat. Aku membukanya dan merayap pelan ke arah kamar mama.
"Mungkin anak-anak yang membelinya. Aku tidak pernah pergi ke toko itu, Ma!" bentak ayah tertahan.
Membeli? Pasti mama melihat kue yang kami beli di toko Nana.
"Aku tidak percaya. Wanita ja***g itu harus diberi pelajaran. Dia sekarang mencari simpati dari anak-anakku. Dia akan menerima akibat dari perbuatannya."
"Nana satu sekolah dengan Al, Ma. Mereka mungkin bahkan satu kelas. Dan jika kau sempat mencari video Olimpiade Al, kau akan mengetahui jika mereka mewakili sekolah bersama-sama. Mereka mungkin berteman sekarang." Ayah menjelaskan.
"Oooh... Jadi kau mengaturnya begitu?" desis mama.
"Tentu saja tidak. Aku bahkan baru tahu Nana bersekolah di tempat yang sama dengan Al saat menonton video mereka. Dan mereka akan maju olimpiade ke tingkat Nasional. Kau tidak tahu bukan? Kau mana pernah memperhatikan prestasi anak-anakmu. Aku yakin kau bahkan lupa untuk mencari videonya." Ayah tidak kalah seru, mendesis-desis liar seperti ular.
"Oh ya. Dan sekarang kau mau mengatakan Al anak ku, pergi kemana-mana dengan anak haram itu, bahkan meraih prestasi bersama-sama. Bagus!" teriak mama murka.
Kakiku seperti lumpuh. Aku benci mama menyebut Nana anak haram.
"Aku peringatkan kau, Ma. Jika kau menyuruh orang untuk melakukan perusakan lagi di tokonya, aku tidak akan segan-segan untuk melaporkanmu!" ancam ayah.
"Jadi sekarang kau mulai membelanya."
"Aku tidak membelanya, Ma. Yang kau lakukan itu tindakan kriminal. Mereka sama sekali tidak mengganggu kehidupan kita. Jadi biarkan dia hidup tenang bersama putrinya."
"Atau putrimu!" pekik mama. "Ibunya telah menggodamu dan menghancurkan rumah tangga kita bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak mau anak haram itu menggoda anakku Al. Aku akan mengehentikannya bahkan sebelum dia sempat mendekati anakku!" suara mama terdengar mengancam.
"Mereka mewakili sekolah, Ma. Tolong bersikaplah sedikit rasional. Olimpiade bukan hanya soal mereka pergi berduaan. Kau jangan menghalangi prestasi anakmu hanya karena membenci pasangan lombanya. Pisahkan dendam pribadimu dengan urusan sekolah, Ma!"
"Masih banyak anak lain yang lebih pintar dari anak jal**g itu!"
"Ooh ya Tuhan, Mama... Ku pikir selama ini kau pintar. Tetapi rupanya kepintaran akademik saja tak bisa membuatmu bijak dalam urusan kehidupan. Apa kau pikir sekolah akan mencomot sembarang orang untuk urusan sekelas olimpiade nasional. Jangan bersikap bodoh hanya kar...."
Aku tidak tahan lagi. Aku harus pergi.
Aku menyeret kakiku dengan berat menjauhi kamar mama dan masuk ke kamarku. Aku berharap Lucy tidak terbangun dan mendengar semua ini. Aku meraih jaket kulit di belakang pintu dan melangkah keluar. Aku berusaha menghalau teriakan-teriakan teredam dari kamar mama agar aku tidak tergoda untuk mencari tahu lebih jauh.
Aku turun ke dapur, menuju garasi dan mengambil kunci mobil. Aku membukanya pelan-pelan supaya tidak membangunkan bi Mirah dan mang Ujang. Aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan apa pun atau bertemu siapa pun. Tetapi mereka akan kebingungan besok pagi, jika tahu mobilku dan aku tidak berada di tempat. Aku membeku di pintu garasi, bingung antara pamit dan tidak.
Akhirnya aku berjalan masuk, mendekati kamar mang Ujang dan bi Mirah. Aku mengetuk pintu perlahan dan mendengar jawaban dari mang Ujang. Pintu terbuka satu menit kemudian.
"Lho, Mas. Mau ke mana?" Mang Ujang bertanya bingung, melihatku dari atas ke bawah.
"Mau keluar dulu, Mang." jawabku, berbisik.
"Mas Alex mau kemana. Ini sudah malam." Bi Marni muncul di belakang mang Ujang, jilbabnya miring. Aku tersenyum padanya.
"Bibi tenang saja. Kan ada Anton sama Abe. Masa gak percaya sama Al, Bi."
"Iya, bibi percaya. Tapi pulangnya kapan. Ini sudah hampir pagi, Mas. Besok tidak sekolah?" Tanya bi Marni, raut wajahnya tampak sekali cemas.
"Tenang saja, Bi." Aku tersenyum menenangkannya.
"Ya sudah, hati-hati. Jangan ngebut di jalan," pesannya. Aku mengangguk dan berbalik. Mang Ujang mengikuti untuk menutup pintu garasi.
Aku meluncur di atas aspal, menjauh sebisaku dari rumah. Aku harus pergi. Aku harus pergi sejauh-jauhnya dari sini. Aku tidak tahu harus kemana, yang aku tahu aku harus menjauh semampuku demi keamanan Nana. Mama bukan hanya akan menyakitinya tetapi mungkin akan tega membunuhnya jika dia sampai tahu aku menyayangi Nana. Bahkan jika aku hanya menyayanginya sebagai adik pun, aku yakin mama tidak akan bisa menerimanya.
Aku terus menggeber gas sekencang kakiku mampu menekan pedal gas. Jalanan sepi dan lenggang. Aku masih mempunyai cukup udara segar di dalam otakku untuk berkonsentrasi pada jalanan, sehingga aku berani memacu mobilku pada kecepatan tinggi.
'Aku akan menghentikannya bahkan sebelum dia sempat mendekati anakku!'
Kata-kata mama terngiang kembali di kepalaku. Aku menurunkan kecepatan, merasa tidak aman dengan pikiranku. Wajah Nana menghalangi pandanganku dengan jalan. Aku tidak bisa menghalaunya.
Aku membanting setir ke kiri, berhenti di bahu jalan. Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah, menyandarkan siku di atas roda kemudi. Aku menunduk, berusaha memblokir bayangan Nana yang berenang-renang di mataku.
Bayangan Nana yang membelalak ketakutan di depan mama, atau Nana yang menangis kesakitan akibat siksaan mama, atau Nama yang memberontak dengan sia-sia di tangan orang suruhan mama.
Tidak! Tidaaaaakk!
"TIDAAAK!!!" Aku berteriak ngeri dan membuka mataku, menatap jalanan yang gelap dan kosong.
Aku harus pergi. Harus. Aku harus menjauh dari Nana agar mama tidak bisa menyakitinya.
Aku kembali menyalakan mesin, menengok ke belakang melalui spion dan segera memacu kendaraan kembali ke atas aspal. Aku terus berjalan dan berlari tanpa henti, keluar masuk jalur tol, hingga berkali-kali membaca gapura perbatasan memasuki kota lain. Aku sudah jauh di luar kota. Aku terus berjalan tanpa tujuan, membelok saat aku ingin dan terus berjalan mengikuti naluri.
Lebih dari lima jam perjalanan, bensinku berkedip. Untung saja bensinnya tidak terisi penuh saat aku berangkat tadi. Jika iya, mungkin aku entah akan berhenti di mana.
Aku baru saja keluar dari gerbang tol saat melihat plang pompa bensin 300 meter di depanku. Aku berbelok untuk mengisi ulang bahan bakar. Hari sudah menjelang pagi. Aku mampir ke kamar mandi untuk mencuci muka kemudian ke swalayan membeli segelas kopi panas.
Aku teringat ponselku saat sedang menikmati kopi sambil melepas penat. Aku mengambilnya di dashboard mobil, kemudian kembali duduk di kursi -yang memang disediakan bagi traveler sepertiku- di bagian luar swalayan. Aku membuka kunci dan akan mulai mengecek pesan saat ponselku berbunyi. Nama Anton berkedip di layar. Aku menekan tombol jawab dan menempelkannya di telinga.
"Ya, Ton." Sapaku.
"Gila! Kemana kau. Bi Marni meneleponku, katanya kau berpamitan padanya semalam untuk keluar denganku. Kau tidak mengangkat teleponnya. Aku dan Abe juga sudah meneleponku seribu kali, baru kau angkat." Dia menggerutu, tetapi aku tahu ada nada cemas di dalam suaranya.
"Tadi ponselku di mobil. Aku ke toilet, kemudian membeli minuman di swalayan."
"Dimana kau?"
"Jogja," jawabku tenang.
"Demi jenggot poni yang berwarna warni... Sedang apa kau di sana! Bi Marni menunggumu pulang, Bebi. Sudah waktunya sekolah," teriaknya.
"Aku semalam mendengar mama bertengkar lagi dengan ayah. Ayah tidak sengaja memberitahu mama, aku dan Nana mengikuti Olimpiade bersama-sama. Dia melihat video olimpiadeku di youtube. Dan kau tahu, aku harus pergi. Aku harus menjauhi Nana demi keselamatannya," jelasku tenang, sesekali menghirup kopi panas di genggamanku.
"Apa?!" Dia seperti orang tercekik. "Apa mamamu...." kalimatnya terhenti.
"Ya. Mama akan memburu Nana. Dia bilang Nana tidak akan pernah bisa merayuku seperti ibunya merayu ayahku." Aku menutup mataku, merasakan kembali kepedihan yang menyayat pada sisa-sisa serpihan jantungku. Dadaku terasa perih. Aku sampai harus membungkuk di meja untuk menahannya.
"Tapi, Al...." kalimat Anton tidak diselesaikannya lagi. Aku tahu dia tidak mampu memilih kata-kata yang tepat.
"Aku akan menjauhi Nana, biar mama tidak mengira Nana merayuku. Mama mungkin mengacuhkan Nana jika dia tidak menggangguku atau mereka."
"Kau jangan bodoh. Kalau kau pergi karena Nana, ibumu akan semakin murka. Dan kalau kau tidak di sini, siapa yang akan melindungi Nana."
"Aku tidak bisa melindunginya. Aku bukan malaikat pelindungnya. aku justru membawa ancaman baginya."
"Kenapa kau jadi sangat bodoh, Al. Hanya kau yang mengerti ibumu,"
"Mama akan semakin memburu Nana kalau tahu aku melindunginya."
"Setidaknya kau bisa mencegahnya melalui kami. Kau tidak harus berhadapan langsung dengan ibumu."
"Kalau begitu aku titip dia padamu dan Abe. Jaga dia. Lindungi dia dari mama. Dan jangan katakan apa pun tentangku padanya." Aku berkata pasrah.
Anton terdiam cukup lama.