Aku bangun jam 06.00 pagi dan segera berlari ke kamar mandi. Saat aku ke meja makan, kulihat sarapan Lucy sudah habis. Dia sudah berdiri sambil meminum susunya dan membeku saat melihatku.
Cepat-cepat dia menenggak susunya sampai habis kemudian berjalan ke depanku sambil berkacak pinggang.
"Kau anak ber****ek! Mau apa kau pulang? Sudah berasil melupakan Nana?" tanyanya sinis.
Aku memberinya isyarat untuk diam, tetapi dia justru tertawa.
"Mereka sudah berangkat," katanya.
Aku bernafas dengan lega. "Kan sudah aku bilang, aku akan pulang setelah aku siap."
"Jadi kau sudah siap menjauhi Nana?"
Aku mengangkat bahu, tidak yakin dengan perasaanku sendiri. Dia mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum sinis lagi padaku.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia memutar bola matanya.
"Pengecut," katanya dengan nada menantang, kemudian melewatiku dan turun ke garasi.
"Kau tidak berangkat bersamaku, Lu?!" teriakku.
"Tidak! Aku masih sayang dengan kedua kakiku." Dia balas berteriak.
Ha! Adik kecil ini benar-benar menjengkelkan. Dia tahu betul bagaimana membaca suasana hatiku.
Aku mencomot selembar roti dan sebuah pisang, meminum susuku dan segera berlari ke garasi.
Mobil mang Ujang yang mengantar Lucy sudah meluncur pergi. Tinggal bi Marni yang melepas keberangkatanku dengan peluk dan senyum hangat.
Saat aku masuk pintu kelas, sebuah teriakan meledak bagai petasan.
"Akhirnya kau muncul, Brother!" Abe menyambutku dengan tinju ringan di pundak. "Sial! Aku mencemaskanmu. Kupikir kau sudah mati diterkam harimau," kelakarnya.
Aku tersenyum dengan tampang dingin yang dulu selalu menghiasi wajahku.
Aku melempar tas ke atas meja dan duduk.
"Lex..." Sebuah suara lembut memanggilku. Aku menoleh dan langsung bersitatap dengan Nana. Dia menatap tegang, tidak berani tersenyum.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Nana.
Aku mengangkat bahu sedikit. "Seperti yang kau lihat," jawabku. Aku berusaha memasang senyum sopan, bukan senyum playboy tampan di wajahku, agar aku tidak memikatnya.
Nana menarik nafas panjang dengan sangat pelan, kemudian menunduk kembali pada bukunya.
Pak Anwar masuk untuk memulai pelajaran Matematika pagi ini. Beliau terkejut melihatku berada di kursiku.
"Alex," katanya. Matanya terpaku padaku.
"Saya, pak." jawabku dengan nada tenang seperti biasa.
"Tolong ke ruang guru dan temui bu Ranti di kantornya."
Aku mengambil nafas panjang untuk menenangkan diri, kemudian berjalan ke depan dengan gaya cool dan melambai ke arah setiap mata yang menatapku.
"Si playboy sudah kembali normal," dengus Mauren yang duduk di bangku paling depan.
Aku tersenyum padanya dan menarik dagunya sambil lewat. Dia menampar tanganku, tetapi pipinya merona karena malu. Selalu seperti itu. Setiap perempuan yang berada di dekatku seharusnya memerah dan jika berada terlalu lama di dekatku dia bisa terbakar oleh panas tubuhnya sendiri. Tetapi Nana berbeda. Lagi-lagi Nana, berbeda. Sial!
Aku keluar pintu dan membelok ke kanan, menaiki tangga demi tangga. Aku melihat Sasha di lapangan basket sedang berolahraga. Dia cemberut padaku. Aku mengedip memasang senyum playboyku padanya. Dan cewek di seisi lapangan basket berteriak histeris.
Mengerikan. Tetapi aku harus mengembalikan popularitasku jika aku ingin Nana menjauhiku. Aku harus meninggalkan kesan buruk padanya agar dia membenciku. Walau aku tahu, dibenci oleh Nana pastilah akan jauh lebih menyakitkan dari ini.
Aku terus berjalan sampai di depan pintu kantor bu Ranti. Aku mengetuk pintu yang tertutup rapat.
"Masuk," terdengar suara lembut bu Ranti dari dalam. Aku menarik handel pintu dan membukanya. Bu Ranti sedang duduk di belakang meja kerjanya sambil menatap ke pintu. Dia menatapku kaget selama beberapa detik kemudian bersandar.
"Duduk," perintahnya, menunjuk kursi di hadapannya dengan matanya.
"Aku pikir dengan beban tanggung jawab berat di pundakmu, kau akan berubah." Dia menegurku tanpa basa-basi.
"Silahkan ibu mengganti saya. Sebenarnya saya justru berharap saya di ganti," kataku tenang.
"Kau tahu kami tidak akan menggantimu."