Aku kembali memasang tampang selebritisku setiap kali berjalan di sepanjang koridor. Aku kembali menjadi Alex yang dulu, idola sekolah. Laki-laki tampan, angkuh, songong, pemilik senyum mematikan yang selalu berhasil memikat setiap cewek di sekolah.
Seminggu berlalu begitu berat, tetapi aku masih mampu bertahan dengan kepongahanku yang dulu. Anton dan Abe, tentu saja selalu mendukungku agar tetap tegar.
Aku dan Nana masih bertegur sapa. Tapi aku tak pernah lagi membuatnya tertawa. Aku selalu bersikap sopan padanya. Seperti hari ini, usai menemui guru bimbingan konseling untuk membicarakan masa depanku setelah lulus SMA. Aku mengetuk pintu kelas dan masuk, saat Nana sedang mengerjakan soal di papan tulis. Dia melihatku, mata kami sempat bertemu selama satu detik. Aku tersenyum sopan dan langsung mengalihkan pandangan, berjalan ke bangkuku.
Nana selesai, berbalik dan berjalan di sepanjang lorong bangku untuk kembali ke tempatnya di sebelahku. Dia duduk, menatapku lama. Aku memasang tampang cuek yang dulu selalu kupakai, dan menatap lurus ke papan tulis.
Sial! Kenapa ini terasa sangat sulit.
Akhirnya Nana menyerah dan menatap ke papan tulis juga saat pak Anwar mulai berbicara.
Aku menghembuskan nafas panjang yang sempat tertahan selama Nana menatapku. Aku bersandar dan menjungkit kursiku ke belakang sampai menempel tembok. Aku sengaja melakukannya agar aku bisa melirik Nana. Dia membungkuk di mejanya, punggungnya membentuk lengkung sempurna. Sedikit rasa tenang menjalari hatiku saat aku bisa melihatnya.
Aku mengembalikan fokus tatapanku pada pak Anwar di depan kelas. Laki-laki tampan berwajah ramah itu sedang menerangkan soal trigonometri. Aku sudah menguasainya bahkan mungkin sejak aku masih bayi. Jadi aku menatap kosong ke papan tulis.
Bel berbunyi, mengejutkanku yang sudah hampir tertidur. Pak Anwar meninggalkan kelas dan aku sudah beranjak berdiri saat tangan lembut menyentuhku. Sebuah aliran listrik seperti menyengatku dari bagian yang disentuh Nana.
Aku menatap jari-jarinya, kemudian menyusuri pemilik tangan halus itu. Tatapanku jatuh pada mata gelapnya yang sangat dalam dan tidak dapat ku tebak. Dan itu seketika membuat perutku melilit dan dadaku terasa sakit.
Aku menarik tanganku, tersenyum dan pergi menjauh darinya. Aku sempat menangkap guratan kecewa di raut wajahnya. Itu sangat menyakitkan.
"Hi, Lexa. Apa kau mau ke kantin bersamaku?" Sasha menyambutku di depan pintu kelas. Matanya yang dengan bulu mata panjang dan lentik -yang aku yakin itu palsu- berkedip-kedip genit.
"Mmm... Sebenarnya aku akan ke kantin dengan beberapa teman se kelas. Aku berjanji untuk mentraktir mereka." Aku mendekatkan tubuhku padanya, menarik dasi lebih longgar sehingga dadaku sedikit terbuka. Trik ini selalu berhasil mengosongkan isi dompet Sasha.
"Tidak apa-apa. Kau boleh membawa teman-temanmu," katanya. Nafasnya pendek-pendek. Aku yakin dia butuh asupan oksigen secepatnya.
"Kau yakin?" Aku mengangkat sebelah alisku dan menyunggingkan senyum miring mematikan yang kumiliki. Sasha terkesiap dan mengangguk.
"Ya, aku yakin. Tidak masalah," katanya tergagap.
Aku segera melongok ke balik pintu, mengedipkan mata ke beberapa anak sambil memberi isyarat ada makan siang gratis. Mereka serentak berdiri dan mengikutiku.
Aku membiarkan Sasha menempel di sisi lenganku saat berjalan menuju kantin, dengan rombongan pengikut yang berbisik riuh di belakangku.
Mereka makan sepuasnya di kantin, sementara aku hanya minum jus. Aku memikirkan Nana. Dia pasti kecewa padaku. Aku berjanji untuk menemuinya di sekolah, tetapi sejak kepulanganku semingu yang lalu, aku mengacuhkannya. Tetapi aku harus. Aku harus membuat Nana menjauhiku. Dia tidak boleh terlibat perasaan apapun denganku.
Aku berdiri, tidak tahan lagi berada di tengah keramaian.
"Mau ke mana?" tanya Sasha, menahan lenganku.
"Toilet. Perutku mulas. Jus mangganya terlalu asam," jelasku datar.
"Aku bisa menemanimu ke ruang kesehatan." Dia ikut berdiri di sebelahku. Aku mengangkat sebelah alisku.
"Aku mau ke toilet. Kau mau menemaniku di toilet?" tanyaku sangsi, sedikit menyeringai. Semua anak yang mengerumuni meja terbahak.
"Kau di sini saja dulu. Aku akan kembali," janjiku. Anak-anak melirikku. Tentu saja mereka tahu, janjiku selalu palsu.
Sasha menghentakkan kakinya dan kembali duduk. "Baiklah. Jangan lama-lama," gerutunya.
"Tergantung seberapa banyak harta yang harus ku buang." Aku menyeringai sambil berbisik di telinganya. Dia memukul dadaku sambil mendorongku menjauh. Aku pergi dengan sukarela sementara dia menunggu dan akan membayar sendirian semua makanan anak-anak.
Aku tidak ke toilet, melainkan ke kelas. Kosong. Nana tidak ada di sana. Dan aku tahu pasti dia juga tidak berada di kantin.
Aku berjalan berkeliling, juga tidak menemukannya di kerumunan manapun. Aku melewati GOR berniat ke perpustakaan lewat jalan memutar, dan aku menemukannya sedang bermain basket. Sendirian.
Aku masuk. Nana menembak ring di seberang, tubuhnya membelakangi pintu. Aku berjalan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara, hingga aku berdiri di belakangnya. Saat menyadari aku di dekatnya, tangkapannya meleset. Aku menangkap bola yang meleset dari tangan Nana dan langsung menembak. Masuk.
"Sejak kapan kau di sini?" Dia bertanya dingin. Oh Tuhan, ini benar-benar menyakitkan.
"Apa enaknya bermain sendirian?" Aku tidak menjawabnya, melainkan balik bertanya.
Dia tertawa sinis.
"Oh, ya. Kau memang tidak pernah bermain sendirian. Pasti seru menembak gawang tanpa lawan, dengan disoraki para penggemar, ya kan," katanya mengejek. Sialan!
"Setidaknya aku tidak sendirian," jawabku kecut.