Hari ini hari ketiga aku tidak menemukan Nana di sekolah. Semenjak kejadian mengerikan di lapangan basket waktu itu.
Aku tidak berani ke tokonya, tidak juga menelponnya, atau mengirim pesan. Aku takut pada kenyataan yang akan ku dapat dari alasan menghilangnya Nana tepat setelah kejadian itu.
Hari ini seharusnya kami melakukan bimbingan Olimpiade, tetapi dia juga tidak hadir di sekolah. Ada apa dengannya. Apakah dia baik-baik saja. Apakah terjadi sesuatu padanya.
"Kau tahu kemana Nana?" tanyaku pada Anton dan Abe untuk yang kesekian kalinya. Dan untuk yang kesekian kalinya pula mereka menggeleng.
"Apa anak-anak lain tidak ada yang tahu kemana Nana pergi?" Aku bertanya lagi.
"Kenapa tidak kau tanya saja mereka satu persatu," jawab Abe keras.
Aku menendang bangkunya dari bawah meja, dia menyeringai jahil. Sialan!
Tanpa ke hadiran Nana di kelas, jam pelajaran terasa sangat membosankan. Apalagi aku harus mengikuti dua jam tambahan sepulang sekolah nanti. Itu pasti sangat menyebalkan. Mungkin begini yang Nana rasakan saat harus menjalani hari-hari tanpa ada aku di sampingnya.
Aku masuk ke dalam kelas bimbingan dan terkejut melihat Aluna duduk di bangku yang seharusnya diduduki Nana. Kenapa. Apakah Nana diganti. Aku sudah mengatakan pada bu Ranti untuk tidak mengganti Nana dan kenapa sekarang dia menggantikannya.
Aku mengurungkan diri memasuki kelas, berbalik dan berlari ke arah ruang guru. Aku harus berbicara dengan bu Ranti. Di depan ruangan bu Ranti aku berhenti dan mengetuk pintu.
"Masuk."
Aku membukanya perlahan dan melongok ke dalam. Bu Ranti sedang duduk di mejanya, tersenyum kepadaku. "Sudah kuduga kamu akan menemuiku," katanya tenang. Aku mengangguk, masuk dan menutup pintu di belakangku.
"Nana mengalami sedikit masalah sehingga harus absen untuk beberapa waktu. Dia meminta pengganti karena takut tidak sanggup membawa nama sekolah ke tingkat Internasional. Jadi kami harus memasang peserta cadangan untuk menggantikannya jika dia benar-benar tidak bisa mengikuti lomba nantinya," jelas bu Ranti sebelum aku mengajukan pertanyaan apapun.
"Apa yang terjadi padanya?" Tiba-tiba saja kepanikan merayap ke seluruh tubuhku. Nana tidak masuk sekolah sejak kejadian di lapangan basket denganku. Apakah dia sudah mengatakannya pada bu Ranti apa yang terjadi antara kami. Apakah dia akan pergi dariku untuk selamanya. Pergi dari sekolah ini. Bahkan dari kota ini.
Rasa takut tiba-tiba menjalar dari jantung ke seluruh tubuhku, mencengkeram otakku.
"Apa sesuatu terjadi padanya?" Aku mengulangi, bertanya pelan pada bu Ranti. Senyum menghilang dari wajah wanita anggun dengan alis tebal tanpa digambar itu.
"Aku tidak berhak menceritakannya padamu. Dia melarangku. Aku hanya bisa memberimu saran, pergilah ke rumahnya," katanya.
Aku menunduk memikirkan hal-hal terburuk yang mungkin terjadi. Apakah bu Ranti tahu. Apakah aku harus bertanya padanya, yang itu berarti jika bu Ranti tidak tahu, maka dia akan menjadi tahu sekarang.
Ah! Persetan. Aku akan menanyakannya.
"Apakah dia menceritakan sesuatu?" tanyaku.
Bu Ranti tidak merubah ekspresinya.
"Apakah kalian ada masalah?" Dia balas bertanya.
Aku mengangguk.
"Saya melakukan kesalahan fatal padanya," kataku jujur. Kepalaku menunduk menatap sepatuku.
"Duduklah, Alex." Bu Ranti menunjuk kursi di depannya. Aku berjalan mendekat dan duduk.
"Apakah kau memberitahunya?"
Aku menggeleng pelan.
Aku berfikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk membiarkan bu Ranti mengetahui semuanya. Aku akan menerima hukumannya walaupun dia akan mengenakan sanksi ketertiban padaku. Aku akan di skors selama satu minggu dan rapor EQ ku akan mendapat tinta merah. Tapi aku tidak peduli kalau itu berarti aku bisa mengetahui kemana Nana pergi.
"Nana... Dia... tidak sengaja mengatakan, secara tidak langsung, bahwa dia jatuh cinta pada saya. Saya tidak tahan mendengarnya. Itu terasa sangat menyakitkan bagi saya, dan... saya... saya tidak dapat menahan luapan emosi saya. Ada gejolak remaja bercampur emosi yang meluap dari dalam diri saya, membuat saya hampir lepas kendali. Dan saya... saya... mungkin telah melukainya karena saya mencengkeram kedua pipinya dengan sangat marah. Saya yakin Nana pasti terluka," bisikku dengan tergagap. Suaraku sangat pelan dan hampir tak terdengar. Bisa ku rasakan bu Ranti menggeser duduknya dan mendesah pelan.
"Apa Nana marah setelah kau melakukannya?" Dia bertanya. Anehnya suaranya masih sangat tenang. Aku menggeleng, masih menunduk tidak berani menatap mata pemilik hidung mancung dan bulu mata lentik itu.
Aku menggeleng. "Dia menangis. Dan saya meninggalkannya," jawabku.
Pengecut! Teriak hatiku. Ya. Aku memang seorang pengecut.
"Al." Bu Ranti memanggilku, memaksaku untuk mendongak. "Aku tahu, seharusnya aku melaporkanmu kepada pihak tata tertib. Tapi dalam kasus ini aku bisa memaklumi. Aku tahu. Aku bisa mengerti keadaanmu dan bagaimana kacaunya perasaanmu. Aku hanya ingin kau berjanji untuk lebih baik lagi dalam mengendalikan dirimu, karena kasus bullying seringkali terjadi karena rendahnya sistem pengendalian diri seseorang. Ibu tahu kau bengal, tetapi kau selalu tahu batasannya, kapan kau harus berhenti. Jadi Ibu harap dalam menghadapi Nana pun kau tahu batasan-batasannya. Nana perempuan. Dia juga memiliki perasaan dan dia juga berhak untuk memendam atau mengakui perasaannya. Jangan perlakukan dia sama seperti lawan-lawanmu di jalanan," jelas bu Ranti tegas.