"Apa maksudmu?" tanya tanya ibu Nana. Wajahnya terlihat lebih tegang dari pada sebelumnya. Aku tahu dia bertanya hanya untuk memastikan. Jelas dia sudah tahu apa maksud dari kata-kataku.
"Saya tahu tentang hubungan Nana dengan saya," bisikku lirih.
Ibu Nana berjalan keluar, menoleh sedikit ke belakang dan menutup pintu.
"Kau tahu?" tanyanya.
"Ya. Saya tahu. Anton dan Abe juga tahu. Dan saya juga tahu kejadian di toko ibu bukanlah ulah perampok, tetapi ulah mama saya. Anton dan Abe berada di lokasi saat kejadian," jelasku yakin. Sudah waktunya kepura-puraan ini di hentikan.
Dia menempelkan telunjuk di bibirnya, menarikku menjauh dan berdiri di sisi kolam. Dia menatapku serius.
"Kau membenci Nana kan? Apa yang sedang kau rencanakan dengan mendekatinya? Apa kau berencana memikatnya dan membalaskan dendam ibumu pada kami?" Dia bertanya serius, wajahnya tampak cemas.
"Sebelum saya tahu siapa orang ketiga itu, ya. Saya membenci sosok wanita dan gadis kecilnya yang manja, yang menemui saya di mall saat usia saya 7 tahun." Aku berkata jujur.
Ibu Nana membeku, mungkin dia merasa tertampar dengan ucapanku yang tanpa saringan.
"Dan?" Dia bertanya ragu.
"Dan ketika saya tahu gadis kecil itu adalah Nana, kekecewaan yang saya rasakan lebih karena saya tidak bisa mencintai Nana dari pada karena siapa Nana sebenarnya. Karenanya saya sudah terlebih dulu jatuh cinta pada Nana sebelum saya mengetahui semuanya. Saat saya tahu Nana bukan untuk saya, saya perlu waktu untuk menerima kenyataan itu. Karenanya saya mencoba untuk menjauhi Nana, hanya untuk menepis rasa tertarik saya pada Nana. Tetapi saya tahu saya gagal. Saya gagal menjauhi Nana. Pikiran saya kacau dan bayangan Nana selalu menghantui hari-hari saya." Aku menceritakan segalanya dengan jujur. Kupikir itulah yang terbaik yang bisa aku lakukan.
Ibu Nana terdiam. Lama wanita itu menatapku, seolah sedang mempertimbangkan untuk mengusirku baik-baik atau menenggelamkanku di kolamnya yang jernih.
Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan.
"Siang itu, sebelum penyerangan Nana, saya dan Nana terlibat sesuatu. Nana, secara tidak langsung, mengatakan bahwa dia tertarik pada saya. Itu sangat menghancurkan saya. Saya tahu kami tidak boleh terlibat perasaan lebih dari sekedar kakak dan adik. Tetapi kata-kata Nana membuat keadaan semakin rumit. Saya sudah berusaha menjauhi Nana, menunjukkan bahwa saya terlalu buruk untuknya, dan tidak berusaha memikatnya. Saya sudah mengatakan pada Nana berkali-kali, saya bukan untuknya. Tetapi kenyataan berkata lain." Aku menelan ludah, meyakinkan diri sekali lagi bahwa kejujuran adalah segalanya meski itu sering kali menyakitkan.
"Dan di tengah kefrustrasi saya... saya... melakukan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa dimaafkan oleh Nana." Aku terdiam.
"Katakanlah, Nak." kata ibunya. Suaranya tercekat dan terdengar sangat tegang.
"Saya...." Aku membuang muka, menatap deretan anggrek yang di tancapkan pada batang pohon mati. "Saya melukai Nana dengan mencengkeram kedua pipinya," kataku pelan.
Ibu Nana terkesiap.
Aku menunduk. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak melakukannya dengan sadar. Saya hanya tidak bisa mengontrol emosi. Jujur saja saya tidak tahu apa saya marah atau hancur atau justru senang saat mendengar Nana tertarik pada saya. Dan kekacauan itu membuat saya hilang kendali," lanjutku. Aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tetap tenang. Suaraku serak dan kacau. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar tidak mampu menahan rasa sakitnya. Itu membutakan segalanya. Maafkan saya Bu, tolong. Saya tahu ibu marah. Ibu pasti marah karena saya melukai Nana." Aku mengoceh tidak jelas, memohon belas kasihan wanita di depanku.
Aku hampir menangis di kakinya, memohon padanya untuk diijinkan bertemu Nana. Aku sangat ingin menemui Nana. Rasa sakit yang teramat tajam kembali menghujam jantungku saat menyadari Nana memang terlarang untukku. Aku mengernyit menahan kepedihan yang ku rasakan. Aku tak sanggup lagi. Aku menggeleng sendiri menolak kepedihan yang terus menyiksaku, kemudian menunduk lesu.
"Saya tahu saya tidak pantas mendapatkannya. Saya memang seorang pengecut, bajingan, sama seperti ayah," lanjutku, setelah lama tidak mendapatkan jawaban. Aku menggeleng pelan antara kecewa dan tidak percaya semua kekacauan ini benar-benar menimpaku. "Saya hanya ingin bertemu Nana dan meminta maaf karena telah melukainya. Itu saja."
Aku bisa mendengar desah pelan dari ibunya, yang masih berdiri tegang di depanku.
Perlahan, sentuhan tangan lembut menyentuh lenganku.
"Aku sendiri sebenarnya terkejut saat Nana memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan takut pada penggemarmu. Itu sama sekali bukan Nana ku. Seorang Nana tidak akan menyerah begitu saja, terlebih saat dia menggenggam sebuah harapan yang sangat didambakannya. Apa yang terjadi sebenarnya?" Suara ibunya terdengar berat.
Perlahan aku mendongak, kembali menatapnya. Tatapannya masih tegang, tapi lebih lembut.
"Saya tahu Nana pasti sangat kecewa pada saya. Saya benar-benar seorang pengecut. Saya pria pengecut baj***an yang tidak tahu diri. Saya berlari meninggalkannya begitu saja setelah sadar saya telah menyakitinya. Saya pulang. Dan saya bahkan tidak menemuinya atau meneleponnya untuk meminta maaf. Saya tahu saya salah, tetapi saya tidak siap melihat luka di wajahnya karena kelakuan saya. Kemudian esok harinya Nana absen, hingga sekarang," jelasku sejujur jujurnya.
Ibu Nana menatapku diam selama beberapa saat, menilai kesungguhanku. Kemudian ekspresinya melembut, berubah dari tegang menjadi... Kasihan? Prihatin? Ah, entahlah.
"Nana meminta tidak seorang pun diberitahu tentang penyerangan ini. Dia tidak ingin masalah ini membesar dengan tebak-tebakan tentang siapa penyerangnya. Dan dia berpesan kepada kami semua, untuk tidak memberitahumu sama sekali. Yang ini tanpa alasan," jelasnya kemudian.
"Jika ibu mengijinkan, saya akan menjaga Nana seperti saya menjaga Lucy, adik saya. Saya tahu saya terlanjur tertarik pada Nana, tetapi jika saya diperbolehkan, saya akan mengubah cinta saya kepada Nana seperti saya mencintai Lucy." Aku mencoba peruntunganku sekali lagi, berharap keberuntungan berpihak padaku kali ini. Ibu Nana hanya menatapku, diam.
"Saya akan berpacaran dengan gadis lain, walau saya tidak mencintainya. Itu akan menyakiti Nana saya tahu. Tetapi itu juga akan membuat Nana perlahan menghapus perasaannya kepada saya. Saya akan mengobati lukanya dengan persahabatan. Ibu tidak ingin Nana mengetahui yang sebenarnya tentang saya, bukan?" Aku mencoba cara lain, mencari celah untuk bisa masuk.
Wanita itu masih menatapku diam, menilai kesungguhan di mataku. Kemudian dia menatap bunga-bunga gantung di pagarnya, menarik nafas panjang, sebelum berjalan pelan kembali ke rumah.
"Berjanjilah untuk menjaganya sebagai adikmu. Dia terlarang untukmu. Cinta kalian terlarang," katanya datar, membelakangiku, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Aku segera mengekor di belakangnya.
"Saya berjanji," jawabku cepat, sambil mengikutinya memasuki rumah.
Ruang tamunya tidak luas, tetapi memanjang ke belakang. Kami berjalan di sepanjang lorong, membelok di ujung masuk ke ruang tengah, kemudian berbelok lagi ke kanan, ke ruang lain. Ibunya menyibak tirai biru yang diikat ke samping. Pintu dibaliknya terbuka lebar. Aku yakin itu adalah kamar Nana.
Wanita itu masuk, aku mengikutinya. Kamar Nana luas, bercat biru muda. Terdapat sofa panjang berwarna krem di sisi samping kiri pintu. Di samping kiri sofa ada meja belajar kayu jati berwarna cokelat tua. Buku-buku tertata rapi di sana. Menoleh ke kanan, aku bisa melihat almari dinding besar, yang aku yakin itu lemari pakaian. Tembok di seberang pintu ditempati rak tinggi hampir sepanjang ruangan, yang berisi buku-buku seperti novel. Jendela besar terbuka lebar di sisi kiri ruangan, di samping meja belajar, tepat di atas ranjang queen size.
Nana sedang duduk di atas ranjang berseprei biru laut bergambar panda cokelat, bersandar pada kepala ranjang, tepat di bawah kisi-kisi jendela. Nampan makanan berada di atas pangkuannya. Anton dan Abe duduk di tepi ranjang. Mereka seketika berdiri dengan tegang saat melihat aku datang.
"Al...." kata Abe tegang. Jelas sekali tergambar di raut wajah mereka, mereka merasa bersalah. Nana membelalak kaget menatapku, kemudian menatap ibunya.
Aku tersenyum pada Anton dan Abe sambil mengangkat sebelah tangan.
"Tidak apa-apa. Aku tahu Nana melarang kalian mengatakannya. Kalian di maafkan," kataku.
Mereka menghembuskan nafas lega. Bahunya jatuh dari posisi tegang.
"Maafkan aku, brother." Abe mendekat dan memelukku. Aku balas memeluknya. Kemudian Anton melakukan hal yang sama. Aku mengalihkan perhatianku pada Nana, yang masih membeku di tempatnya.
"Kau baik, Na?" tanyaku. Dia mengangguk kaku.
Aku mendekati ranjang, Abe menjauh untuk memberi tempat padaku. Aku duduk di tepi ranjang, tepat di depan Nana. Nana menatapku heran.
Tentu saja dia heran. Dia pasti masih ingat saat terakhir bagaimana aku kabur meninggalkannya begitu saja sambil mengumpat marah. Dan sekarang aku bersikap sangat manis padanya, seolah tidak pernah terjadi apapun di antara kami.
Aku menatapnya, memiringkan kepalaku sedikit dan mengangkat alis untuk menggodanya. Dia mengerutkan kening, raut kejengkelan terpancar jelas di wajahnya.