My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #28

Ayah Nana

Bersekolah dengan kaki dan tangan cidera, tentu bukan hal yang mudah. Tapi tidak bagi Nana. Pagi ini Nana datang ke sekolah setelah libur selama satu minggu untuk pemulihan.

"Hi, Na. Apa yang terjadi padamu?" Maria menyapa Nana saat aku membantunya berjalan memasuki area sekolah.

Nana tersenyum. "Terjatuh di tangga."

"Kenapa bisa?"

"Aku menghindari kucing, ternyata malah aku yang terjatuh." Nana memberikan alasan dengan sangat lancar,seolah memang itulah yang terjadi.

"Kau terjatuh di mana?"

"Perpustakaan."

"Perpustakaan sekolah?" Maria membelalak kaget.

Nana menggeleng. "Perpustakaan kota."

"Ooh, seharusnya kau bisa lebih berhati-hati," kata gadis mungil itu.

"Biar aku membantu Nana, Al. Kau bisa membawa mobilmu ke tempat parkir. Mobilmu di sana menghalangi jalan." Maria tersenyum malu-malu padaku, tangannya meraih lengan Nana yang satunya.

Aku menatap anak itu dengan curiga.

"Jangan khawatir. Maria selalu baik padaku. Dia bisa membantuku. Pergilah parkirkan mobilmu di tempat yang benar." Nana melepas tangannya dari kungkunganku, membelai lenganku lembut.

Aku mengangguk dengan berat hati, tapi tetap melepas keduanya pergi.

"Apa kalian berpacaran?" bisik Maria, yang masih bisa ku dengan dengan jelas.

Aku menoleh, mendapati Nana menggeleng pelan.

"Tapi kalian berdua selalu terlihat mesra."

Aku tidak bisa mendengar jawaban mereka, karena langkah kaki keduanya semakin menjauh.

Tidak ada pilihan lain selain berjalan ke mobilku dan membawanya ke tempat parkir, karena mulai banyak mobil orang tua yang berdatangan mengantar anak-anaknya.

Aku berjalan ke tempatku di antara lorong bangku. Bisa ku tangkap Nana kesulitan membuka tas dan mengeluarkan bukunya.

Azlam yang duduk di sisi kanan bangku kami, berdiri dan membantu Nana.

"Kau bisa duduk di tempatmu. Aku bisa membantunya," kataku dingin sambil melempar tas ke atas meja dan menarik tas Nana. Azlam menatapku kaget, kembali ke bangkunya tanpa bicara sepatah kata pun.

"Buku apa yang kau perlukan?" tanyaku.

Diam. Tak ada jawaban dari Nana. Aku menoleh dan mendapati Nana menatapku dingin.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak bisakah kau bersikap lebih baik. Azlam hanya berniat membantuku karena tahu aku kesulitan."

"Kau tidak memerlukannya!" balasku dingin, mulai mengaduk buku di dalam tas Nana, mencari novel kebanggaannya.

"Lalu bagaimana kalau kau menghilang?!" desis Nana sedikit terlalu keras.

Aku menatapnya, menggeleng kecil tapi tidak menjawab.

"Merekalah yang selalu menemaniku setiap kali kau menghilang. Kalau kau bersikap seperti itu, bagaimana kalau suatu saat kau menghilang lagi dan aku membutuhkan teman. Tidak akan ada yang mau berteman denganku."

Aku duduk, menatap wajah Nana lekat-lekat.

"Dengar, Na. Aku tidak akan pernah menghilang darimu lagi. Kau tidak membutuhkan siapa pun. Akan ada aku yang selalu menemani dan membantumu." Aku berbisik tegas.

"Siapa yang bisa menjamin kau tidak akan pergi lagi," sungutnya.

Aku menarik tangannya yang sehat, menempelkannya di dadaku. "Aku. Aku, Alex, berjanji padamu tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri lagi."

"Kau tidak baik untukku, ingat?"

"Aku selalu ingat dan aku tidak akan pernah melanggar batasanku."

Nana mendengus pelan, menarik tangannya dari dadaku.

"Semoga kau bisa memegang janjimu." Nana memutar tubuhnya kembali menghadap ke depan.

"Ambilkan buku paket kimia ku," lanjutnya menggerutu. "Sampai mana pelajarannya hari ini. Aah aku pasti terlewat sangat banyak." Dia melanjutkan bergumam pelan sambil membuka bukunya.

"Al! Anak-anak menunggumu di ruang OSIS. Kenapa kau belum ke sana." Abe meneriaki ku dari pintu. Aku menoleh.

Lihat selengkapnya