My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #29

Pemberangkatan

Tiga bulan masa penyembuhan untuk tangan Nana, bukan waktu yang singkat. Aku mengantar jemputnya setiap hari, bahkan setelah dia sembuh. Ibunya mengizinkanku, setelah aku berjanji akan menjaga Nana dan menyayanginya seperti aku menyayangi Lucy.

Tentu tidak semudah itu membuat ibu Nana percaya. Aku harus membuktikan banyak hal, bahwa aku benar-benar sanggup menganggap Nana sama dengan Lucy. Aku bahkan harus lebih sering membawa Lucy ke rumah dan tokonya untuk membuktikan kesungguhanku. Dan wanita itu akhirnya bisa mempercayaiku setelah aku berjuang selama lebih dari satu bulan, membawa Lucy kemana-mana saat aku bersama Nana.

Sudah satu bulan terakhir ini kami kembali mendapatkan bimbingan sore setiap hari, karena waktu Olimpiade kami semakin dekat. Itu membebaskanku dari Lucy. Dia tidak mungkin mengikutiku bimbingan dan meninggalkan kegiatan-kegiatan olah raganya yang padat. Biasanya sepulang bimbingan aku membawa Nana ke sekolah Lucy, dengan alasan sekalian jalan agar aku tidak bolak-balik untuk menjemputnya.

Nana telah pulih sebulan yang lalu. Dia sudah bisa menggunakan tangannya lagi untuk menulis, sehingga aku tidak perlu lagi menuliskan catatan-catatannya. Dia mengejar materi yang tertinggal dengan sangat cepat. Materi-materi bimbingan dilahapnya seperti orang kelaparan bahkan di antara kegiatan osis yang juga mulai padat.

Sore ini aku mengantarnya berbelanja keperluan yang akan kami bawa ke Jakarta untuk Olimpiade besok. Aku membawanya ke swalayan, karena dia tidak mau ke mall. Terlalu ramai dan luasnya membuat kakinya lelah, katanya. Dia benar-benar gadis rumahan.

Kami akan berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat, dan kami akan pergi ke bandara dari sekolah tanpa di dampingi orang tua. Bu Ranti mengaturnya demikian, karena sangat mengerikan mengetahui Nana dan ibunya harus bertemu dengan mama.

Bu Ranti memanggil mama dan ayah satu minggu yang lalu –yang muncul bi Marni dan mang Ujang– untuk memberitahukan rencana keberangkatan. Aku harus siap di sekolah pukul satu siang, hari Senin. Aku akan berangkat ke bandara bersama bu Ranti dan pak Anwar, pendamping Olimpiade kami. Mama dan ayah bisa melepasku di sekolah –yang mana sangat aku ragukan– untuk berangkat ke bandara bersama guru pendamping. Orang tua tidak diperkenankan mengantar hingga ke bandara.

Bi Mirah menyampaikan pesan bu Ranti pada mama dan ayah pada minggu sore, sepulang mereka golf dan arisan.

Aku menahan nafas, takut mama teringat soal siapa orang yang akan berjuang bersamaku. Aku bersiap dengan segala kejutannya, bahkan ibu Nana sudah kuperingatkan untuk menutup saja tokonya dan bersembunyi di rumah.

“Oh, Sayang. Mama besok sibuk sekali. Ada empat sesi pemotretan dalam waktu satu hari. Dan semua itu menggunakan rancangan terbaik mama. Kau tidak apa-apa kan kalau mama tidak mengantarmu ke sekolah.”

Ternyata mama melupakannya. Untunglah.

“Ayah juga besok ada meeting jam satu siang.” Gaya papa lebih meyakinkan daripada mama yang sama sekali tidak terlihat menyesal. Ayah seolah sedang melamun dan mempertimbangkan untuk membatalkan acara meeting, yang mana sama sekali tidak mungkin.

“Tidak apa-apa, Mama, Ayah. Aku bisa berangkat ke sekolah dengan mang Ujang,” jawabku santai. Mataku tertuju ke televisi.

“Oh, ya! Bi Marni. Bi Marni, besok bibi temani Al ke sekolah ya. Kalau Lulu sudah pulang, ajak dia mengantar Al sekalian.” Mama kembali menaruh tanggung jawab atas putranya, ke pundak bibi. Bi Marni mengangguk mengiyakan perintah majikannya, tetapi aku tahu dia mendesah kecewa.

Malam ini aku kembali mengecek isi koper dan seluruh barang bawaanku. Setelah aku yakin tidak ada yang tertinggal, aku tidur.

Mang Ujang dan bi Marni memelukku di gerbang sekolah saat aku turun dari mobil.

“Semoga menang ya, Mas. Jangan terlalu memikirkan mama sama ayah. Bagaimanapun kalau mas menang, mama sama ayah pasti bangga sama mas,” pesan bi Marni. Aku tahu dia hanya mencoba membesarkan hatiku. Aku mengangguk tenang.

“Aku ingin pergi denganmu dan menontonmu, tetapi mama tidak mau mengijinkan sekolahku,” gerutu Lucy saat memelukku. Kakinya menjejak-jejak tanah seperti kuda. Aku mengelus kepalanya dan mengecup keningnya.

“Doakan saja aku dari rumah. Dan jangan lupa nonton. Nonton sendiri saja. Jangan sama mama. Mama membenci Nana,” bisikku. Lucy mendongak menatapku heran.

Lihat selengkapnya