Nana menatap kosong bendungan luas yang terbentang di hadapannya. Dia berdiri sendirian, mematung di tepi bendungan yang sepi pengunjung. Aku berjalan pelan, mendekatinya.
"Na...."
Tubuh Nana mengejang, punggungnya terlihat menegang.
"Mau apa kau kesini?" tanyanya dingin.
"Ayo. Kita harus pulang. Ibumu mencarimu."
"Tinggalkan aku. Aku bisa pulang sendiri."
"Tidak. Aku sudah berjanji pada ibumu untuk membawamu pulang."
"Kalau begitu kau harus mengingkarinya."
"Apa yang terjadi denganmu, Na?" Aku memaksa, berjalan semakin dekat.
"Tinggalkan aku!"
"Tidak. Katakan dulu apa yang terjadi."
"Apa benar yang aku dengar dari Carissa?" Nana berbalik, menatapku tajam.
Aku mengerutkan kening. "Memangnya apa yang kau dengar?"
"Karena itu kah kau menolak mengakui perasaanmu. Memilih menganggapku sahabat, daripada berhubungan dengan anak haram sepertiku?!" Nana berteriak histeris. Aku terkesiap kaget.
"Siapa yang mengatakannya padamu, Na?" tanyaku panik.
Nana tersenyum sinis. "Pergilah, Lex." Dia kembali berbalik memunggungiku. "Pergi dan tidak perlu memaksakan diri untuk bisa menerima anak kotor sepertiku."
"Tapi, Na...."
"Pergi!" jawab Nana tegas.
Aku menarik ponsel dari sakuku, mengetik beberapa pesan untuk Abe agar dia dan Anton pergi ke bendungan lama.
Aku kembali berjalan mendekat setelah mengantongi kembali ponselku.
"Na...."
"Pergi, kataku."
"Aku tidak akan pernah pergi tanpa membawamu."
"Tidak perlu berpura-pura peduli padaku."
"Aku sama sekali tidak sedang berpura-pura, Na! Kenapa kau keras kepala sekali!" aku berteriak, gagal menahan emosi yang sudah sejak tadi ku tahan saat berusaha mencari Nana yang tiba-tiba menghilang.
"Ya. Kau tahu aku keras kepala, jadi kenapa kau masih memaksa. Pergi saja, Lex. Tidak perlu memikirkan janjimu pada ibuku, biar aku yang mengurusnya nanti."
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang semakin meluap karena kekonyolan Nana.
"Na... Aku... Minta maaf kalau aku membentakmu. Tapi aku bingung denganmu. Apa maksudmu kau ini anak haram. Siapa yang mengatakannya padamu, Na?"
Diam. Lama. Aku mengatur nafas, menuang kesabaran ekstra, menunggu.
"Apa yang dikatakan Carissa padamu?"
Nana menggeleng.
Diam.
Menunggu.
"Baiklah, Na. Aku akan menjemput Carissa. Kau jangan kemana-mana." Aku sudah tidak bisa menahan rasa kesalku lagi pada Nana. Sebaiknya aku membawa bukti hidup yang akan bertanggung jawab mengenai semua kericuhan ini.
"Tidak!" Nana berteriak, berbalik tepat saat aku bersiap melangkah pergi.
"Jangan, Lex."
Aku mengangkat satu alis, menunggu Nana melanjutkan.
Nana menunduk.
"Sebenarnya bukan Carissa yang melakukannya. Tapi dia bilang sumber informasinya adalah Carissa."
"Apa yang terjadi?" Aku melunak, berjalan mendekati Nana. "Katakan padaku, maka aku tidak akan berbuat nekat."
Nana mendongak, menatapku ragu. "Apakah aku anak haram, Lex?"
Aku mengerutkan kening. "Kenapa kau bertanya padaku?"
"Karena... Karena menurut Carissa, dia mendengar dari ibunya dan ibunya mendengar dari ibumu."
Slap! Mama....
Wanita itu kembali berulah, sekarang mencoba mengusik Nana dengan berita yang bisa menjatuhkan mentalnya.
"Kalau mama kamu tahu, kamu pasti juga tahu, kan?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng ragu. Tidak ingin berbohong, tapi juga belum siap untuk membuka faktanya.
"Karena itu kah kau mencoba mengingkari perasaanmu?"
Aku membelalak. "Tidak, Na. Tidak. Sungguh."
Nana menggeleng, kembali menunduk. Dia kembali menatap ke atas danau, membelakangiku.
"Tidak apa-apa, Lex. Aku tidak keberatan. Aku tahu aku pasti sangat menjijikkan."
"Jangan katakan itu, Na!" desisku.
"Kenyataannya aku memang kotor."
"Tidak!"
"Jangan membohongi dirimu sendiri."
"Aku tidak pernah membohongi siapa pun, Na. Aku tidak pernah merasa kau kotor hanya karena kau tidak punya ayah."
"Jadi benar, aku memang anak haram?!"
Deg!
"Aku tidak pernah mengatakannya," geramku.
Nana menunduk, air matanya jatuh, menetes di atas batu di depan kakinya.
"Aku mohon, Na. Aku tidak suka melihatmu menangis." Aku mendekat, meraih dagunya agar aku bisa menatap langsung ke dalam matanya.
"Aku perempuan. Menangis adalah bentuk pertahanan diri bagi seorang wanita, Lex." katanya dengan suara berdengung karena hidungnya penuh ingus.
"Jadi maksudmu, kau menangis untuk mempertahankan diri?" tanyaku.
"Aku terluka, Lex. Aku terluka. Dan aku harus mampu mempertahankan diriku agar tetap bisa berdiri tegak."
"Apa kau sudah menanyakannya pada ibumu?"
Nana menggeleng.
"Lalu kenapa kau melukai dirimu seperti ini? Kabar itu bahkan belum pasti."
Nana kembali menggeleng. "Aku tidak kecewa karena siapa aku sebenarnya. Aku hanya kecewa karena ternyata itulah alasanmu tidak menginginkanku."
Aku menatapnya dengan putus asa, mematung dan membeku di tempatku. Matanya terlihat berkaca-kaca tetapi dia terus menatapku, tidak berpaling atau pun menunduk. Perlahan tanganku terangkat dan membelai pipinya. Aku menggeleng setengah hati kepadanya.
"Aku tidak pernah mengatakan itu, Na. Jangan membuat kesimpulan sendiri. Jangan menyiksamu dengan kesimpulan yang kau buat sendiri dan itu berdasarkan informasi yang belum jelas. Aku tidak suka melihatmu terluka. Itu menyakitkan, Na."